Saturday, April 29, 2006

23 JANUARI 1950: "KUDETA" APRA WESTERLING

23 JANUARI 1950: "KUDETA" APRA WESTERLING

Pembantaian Westerling II

 


Catatan Batara R. Hutagalung,

Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

 

 

Pengantar

 

Masih sangat banyak peristiwa yang terjadi di masa pendudukan tentara Jepang di bekas wilayah jajahan Belanda antara tahun 1942 – 1945, dan di Indonesia, di masa perang mempertahankan kemerdekaan melawan agresi militer Belanda dan sekutu serta antek-antek/kaki-tangannya antara tahun 1945 – 1949, yang tidak ada di buku-buku sejarah di Indonesia. Kalaupun ada, kebanyakan tidak lengkap, hanya merupakan penggalan dari berbagai peristiwa atau hasil rekayasa, manipulasi, pemalsuan penulisan sejarah, bahkan pemalsuan sejarah, yaitu mengarang cerita mengenai peristiwa yang sebenarnya tidak ada atau tidak pernah terjadi.

 

Demikian juga peristiwa-peristiwa yang sehubungan dengan perang non militer antara Indonesia melawan Belanda sejak berakhirnya perang secara militer tahun 1949 sampai sekarang. Setelah berakhirnya  Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2 November 1949 diketahui, bahwa Belanda harus angkat kaki dari Indonesia dan akan dibentuk negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS). Sejak itu, beberapa kalangan orang Belanda, baik di Belanda maupun yang berada di Indonesia, merancang berbagai kegiatan dan mendirikan organisasi-organisasi bawah tanah untuk melakukan berbagai kegiatan subversif, memprovokasi kerusuhan, konflik horisontal di kalangan rakyat Indonesia, bahkan pemberontakan dan “kudeta” terhadap pemerintah Republik Indonesia Serikat. Tujuannya tetap sama seperti tahun 1945, yaitu menghancurkan dan kemudian menguasai bekas jajahannya, yang selama ratusan tahun telah memberi kekayaan dan kesejahteraan untuk bangsa Belanda.

 

Ini kelihatannya pola yang selalu dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia, yaitu melanggar persetujuan internasional dan melancarkan agresi militer terhadap Republik Indonesia. Belanda melanggar Perjanjian Linggajati bulan November 1946 yang difasilitasi oleh Inggris, dengan melancarkan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947. Kemudian Belanda melanggar perjanjian Renville bulan Januari 1948 yang difasilitasi oleh PBB, dengan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Pelanggaran perjanjian internasional ketiga, yaitu KMB yang juga difasilitasi oleh PBB, dengan melakukan percobaan kudeta terhadap pemerintah RIS, namun ternyata gagal total.

 

Banyak peristiwa yang ditulis tidak lengkap, dikarenakan  kurangnya sumber-sumber dan referensi atau rahasia di balik peristiwa-peristiwa tersebut belum terungkap. Yang sudah terungkap antara lain adalah alasan-alasan Belanda menyetujui diadakannya perundingan-perundingan Linggajati dan Renville, pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September tahun 1948 yang adalah bagian dari manuver militer Belanda dalam rangka melancarkan agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948, dan yang terakhir adalah terungkapnya dalang di balik yang disebut sebagai “Kudeta” APRA (Angkatan Pperang Ratu Adil)  Westerling tanggal 23 januari 1950.

 

Pada waktu itu, tahun 1950, sebenarnya cukup banyak pimpinan militer dan sipil Belanda yang mengetahui atau mendengar mengenai rumor, siapa sebenarnya yang menggerakkan Westerling. Bahkan seorang staf di Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jakarta, Arthur “Arturo” Campbell, yang adalah agen CIA (Central Intelligence Agency), dinas rahasia Amerika Serikat,  juga mengetahui rencana kudeta terfsebut. Arturo Cambell sebenarnya telah memberi informasi kepada petinggi-petinggi Belanda di Indonesia, namun tidak ditanggapi secara serius.

 

Dalang di balik kudeta APRA Westerling yang gagal, baru terungkap dengan jelas tahun 2009 di Belanda. Pada  30 November 2009. media online di Belanda, NU.nl menurunkan berita mengenai peluncuran buku dengan judul “ZKH, hoog spel aan het hof van Zijne Koninklijke Hoogheid.” Terjemahannya adalah “ZKH, Permainan Tinggi di Istana Yang Mulia.” ZKH adalah singkatan dari Zijne Koninklijke Hoogheid. Artinya Yang Mulia, sebutan untuk raja atau ratu. Penulis buku adalah Jort Kelder, seorang wartawan dan sejarawan Harry Veenendaal.

 

Judul bukunya sangat bombastis dan mengejutkan, yaitu “Pangeran Bernhard Ingin Melakukan Kudeta di Indonesia.” Buku ini mengungkap keterlibatan Pangeran Bernhard, suami ratu Belanda Juliana dalam perencanaan kudeta tersebut. Dalam buku itu ditulis, bahwa Bernhard terlibat sangat dalam. Juga orang-orang dekat Bernhard ikut terlibat. Kelihatannya nama “Ratu Adil” dari APRA ini merujuk pada lingkungan kerajaan Belanda.

 

Hal ini juga yang menerangkan, mengapa Westerling oleh pengadilan di Belanda tahun 1954 dibebaskan dari seluruh tuduhan atas “kudeta” APRA tanggal 23 januari 1950, di mana pasukannya membunuh 94 anggota TNI di kota Bandung, termasuk Letkol Adolf Gustav Lembong. Putusan pengadilan ini tentu sangat aneh, karena banyak anak buah Westerling yang terlibat dala “kudeta” gagal tersebut dijatuhi hukuman penjara, walaupun sangat ringan, tetapi komandan pemberi perintah pembunuhan yang seharusnya dijatuhi hukuman berat, justru dibebaskan dari segala tuduhan.

 

Dengan diungkapnya dalang di balik “kudeta” Westerling yang gagal, peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 tersebut seharusnya dinamakan “Kudeta APRA Pangeran Bernhard Dari Belanda.”

 

 

Latar Belakang

 

Setelah melaksanakan tugas di Sulawesi Selatan, pada akhir bulan Februari 1947 Letnan Westerling dan pasukannya, Depot Speciaale Troepen - DST (Depot Pasukan Khusus) ditarik kembali ke Jawa. Selama menjalankan tugas di Sulawesi Selatan (kemudain setelah pemekaran Provinsi, wilayah utara menjadi Provinsi Sulawesi Barat), Westerling dan anak buahnya telah melakukan pembantaian terhadap rakyat Indonesia. Sebagian terbesar adalah laki-laki, penduduk sipil, non combatant. Pihak Indonesia menyatakan, bahwa korban Wesrterling dan anak buahnya mencapai 40.000 jiwa. Pemerintah Belanda dalam laporan resminya yang dikeluarkan bulan Juni tahun 1969, De Excessennota, menyatakan, bahwa korban tewas di Sulawesi Selatan antara 2000 – 3000 orang. Pembantaian terhadap penduduk di Sulawesi Selatan sebenarnya harus dikategorikan sebagai genosida (genocide), yaitu pembersihan atau pembantaian etnis (ethnic cleansing), terutama di Sulawesi Barat, di mana semua korbannya dari etnis Mandar.

 

Tangsi militer DST semula di Kalibata, Jakarta Selatan. Kemudian, dilakukan penambahan jumlah perwira dan prajurit DST, yang diambil dari pasukan KNIL. Pada 5 Januari 1948 nama DST diubah menjadi Korps Speciaale Troepen – KST (Korp Pasukan Khusus). Westerling menjadi komandan KST, dan pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten.

 

Setelah Persetujuan Renville pada bulan Januari 1948, masih tetap ingin menghancurkan Republik Indonesia dan tentara Nasional Indonesia (TNI). Belanda mendatangkan tambahan pasukan dari Belanda, sehingga jumlah keseluruahn tentara yang didatangkan dari Belanda mencapai 160.000 orang. Selain itu Belanda juga memperkuat pasukan KNIL hingga mencapai 65.000 orang. Juga Belanda memperkuat pasukan bangsa Cina yang ada di Indonesia, Po (Belanda menyebutnya Pao) An Tui, hingga mencapai 50.000 orang di seluruh wilayah yang dikuasai Belanda di Jawa dan Sumatra. Pasukan Po An Tui dibentuk, dibiayai dan dilatih oleh tentara Belanda.

 

Untuk persenjataan Po An Tui, Panglima tentara Belanda Letjen Simon Spoor, menugaskan Westerling untuk membeli senjata dan amunisi di pasar gelap di Singapura. Di Singapura, Westerling dibantu oleh sahabatnya orang Cina, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan tahun 1945.  Sekembalinya dari Singapura, Westerling tidak menyerahkan semua senjata yang dibeli di Singapura kepada Letjen Spoor, melainkan sebagian diberikan kepada SM Kartosuwiryo pemimpin Darul Islam, untuk pasukan TII (Tentara Islam Indonesia). Westerling membohongi Letjen Spoor dengan mengatakan bahwa sebagian senjata tersebut disita oleh otoritas Inggris di Singapura.

 

Setelah Persetujuan Renville, pasukan elit KST ditugaskan untuk melakukan patroli di Jawa Barat. Namun sama seperti yang dilakukan di Sulawesi Selatan, banyak anak buah Westerling yang melakukan pembunuhan sewenang-wenang, tanpa proses hukum, terhadap penduduk di Jawa Barat, terutama para pemuda. Perbuatan ini telah menimbulkan protes di kalangan tentara KL (Koninklijke Leger) yang didatangkan dari Belanda. Tentara KL ini hampir semua adalah para  pemuda wajib militer dan sukarelawan Belanda.


Pada 17 April 1948, Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya, membuat laporan kepada atasannya, Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen di mana Schill mengadukan ulah pasukan elit KST yang dilakukan pada 13 dan 16 April 1948. Di dua tempat di daerah Tasikmalaya dan Ciamis, pasukan KST telah membantai 10 orang penduduk tanpa alasan yang jelas, dan kemudian mayat mereka dibiarkan tergeletak di tengah jalan.


Pengaduan ini mengakibatkan dilakukannya penyelidikan terhadap pasukan khusus pimpinan Westerling. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata banyak kasus-kasus pelanggaran disiplin militer yang kemudian mencuat ke permukaan. Di samping pembunuhan sewenang-wenang, juga terjadi kemerosotan disiplin dan moral di tubuh pasukan elit KST. Kritik tajam mulai berdatangan dan pers Belanda menuding Westerling telah menggunakan metode Gestapo (Geheime Staatspolizei), polisi rahasia Nazi-Jerman yang terkenal kekejamannya semasa Hitler berkuasa. Hal-hal tersebut membuat para petinggi tentara Belanda menjadi gerah.


Walaupun Letjen Spoor sendiri sangat menyenangi Westerling, namun untuk menghindari pengusutan lebih lanjut serta kemungkinan tuntutan ke pangadilan militer, Spoor memilih untuk menon-aktifkan Westerling. Pada 16 November 1948, setelah duasetengah tahun memimpin pasukan khusus Depot Speciaale Troepen (DST) kemudian Korps Speciaale Troepen (KST), Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran. Penggantinya sebagai komandan KST adalah Letnan Kolonel KNIL W.C.A. van Beek. Setelah pemecatan atas dirinya, Westerling menikahi pacarnya, Yvonne Fournier, dan menjadi pengusaha di Pacet (Puncak), Jawa Barat.

 

Raymond Pierre Paul Westerling

 
 


 Pangeran Bernhard von Lippe Biesterfeld


Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda, NEFIS (Netherlands East Indies Forces Intelligence Service), menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia dan kabarnya, dia telah  mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST.


Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00, dua hari sebelum “pemindahan kedaulatan” (soevereniteitsoverdracht) secara resmi dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah pemindahan kedaulatan kepada RIS dia (Westerling) melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumors, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya pemindahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "pemindahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut. Bahwa van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling adalah suatu kesalahan besar, karena kurang dari satu bulan kemudian terbukti, bahwa Westerling melaksanakan niat jahatnya yang membawa malapetaka baru bagi bangsa Indonesia terutama untuk TNI/Divisi Siliwangi.


Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalam waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.


Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), adalah Nederlandse Hooge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Pemerrintah RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld agar menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.


Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pemerintah RIS telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), Lovink telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Hal ini tentu merupakan suatu ironi, karena Hatta sendiri serta banyak pemimpin bangsa Indonesia pernah menjadi korban Exorbitante rechten. Exorbitante rechten ini adalah hukum di masa kolonialisme Belanda, yang memberi hak kepada Gubernur Jenderal untuk menangkap dan membuang para tokoh-tokoh pribumi yang menentang pemerintah kolonial di wilayah jajahan Belanda ke tempat-tempat atau pulau-pulau terpencil atau mendeportasi ke Belanda.


Sementara itu, pada 10 Januari 1950 Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Sultan Hamid II pernah menjadi ajudan ratu Belanda, juliana. Dia menyandang pangkat Mayor Jenderal tituler KNIL. Dalam autobiografinya Mémoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.




Sultan Hamid II dengan seragam Mayor Jenderal Tituler KNIL


Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS, Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit Regiment Speciaale Troepen (RST) yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Pasukan elit RST merupakan gabungan dari pasukan baret merah 1e Para Compagnie (pasukan terjun payung) dan pasukan baret hijau Korps Speciaale Troepen (KST). Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

 

 

“Kudeta APRA” 23 Januari 1950


Namun upaya mengevakuasi pasukan RST terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya." Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung. " Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa "compagnie Erik" yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.


Pukul 8.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya, dan pada pukul 9.00 Kolonel Sadikin mendatangi Engles. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah melakukan desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Maluku telah melakukan desersi.


Di kota Bandung, secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap orang yang berseragam TNI yang mereka jumpai di jalan. Hari itu, 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Adolf Gustav Lembong. Sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.

 


 Letkol TNI Adolf Gustav Lembong

 

Letkol Lembong sebenarnya pada waktu itu berdinas di Mabes TNI, yang masih berkedudukan di Yogya, Ibukota sementara. Lembong ditugaskan untuk membentuk Pusat Pendidikan Militer di Bandung. Pada hari itu, 23 Januari 1950, bersama ajudannya, Kapten Kailolo, bermaksud menemui Panglima Divisi Siliwangi. Namun keduanya berpapasan dengan gerombolan APRAnya Westerling, dan keduanya langsung ditembak mati.

 

Bandung, 23 Januari 1950 

 











 

Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Mereka juga merencanakan untuk membunuh beberapa Menteri Kabinet RIS, s.l. Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan Hamngkubuwono IX. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang diharapkan oleh Westerling dan Sultan Hamid II.


Setelah puas melakukan pembantaian terhadap TNI tak bersenjata di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, di mana pada 24 Januari 1950 dia bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes untuk memberikan laporan. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.

 

Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi dengan para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.


Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda). belakangan diketahui, bahwa “tangan hitam” di Belanda adalah Pangeran Bernhard, suami ratu Belanda.

 

 

Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling

 

Setelah kegagalan "kudeta" yang sangat memalukan Belanda, pemerintah Belanda memutuskan untuk secepat mungkin mengevakuasi pasukan RST. Pada sidang kabinet tanggal 6 Februari dipertimbangkan, untuk memindahkan pasukan RST ke Papua Barat, karena membawa mereka ke Belanda akan menimbulkan sejumlah masalah lagi. Pada 15 Februari 1950 Menteri Götzen memberi persetujuannya kepada Hirschfeld untuk mengirim pasukan RST yang setia kepada Belanda ke Belanda, dan pada hari itu juga gelombang pertama yang terdiri dari 240 anggota RSTdibawa ke kapal Sibajak di pelabuhan Tanjung Priok. Komandan RST Letkol Borghouts terbang ke Belanda untuk mempersiapkan segala sesuatunya.


Disediakan tempat penampungan di kamp Prinsenbosch dekat Chaam, 15 km di sebelah tenggara kota Breda. Pada 17 Maret 1950 gelombang pertama pasukan RST tiba di tempat penampungan, dengan pemberitaan besar di media massa. Pada 27 Maret dan 23 Mei 1950 tiba dua rombongan pasukan RST berikutnya. Keseluruhan pasukan RST bersama keluarga mereka yang ditampung di Prinsenbosch sekitar 600 orang. Sekitar 400 orang telah didemobilisasi di Jakarta, dan di Batujajar sekitar 200 orang pasukan RST.

 

Sedangkan 124 orang pasukan RST yang terlibat dalam aksi Westerling dan Sultan Hamid II, ditahan di pulau Onrust menunggu sidang pengadilan militer. Jumlah tentara Belanda yang ditahan untuk disidangkan jelas sangat kecil, dibandingkan dengan yang tercatat telah ikut dalam aksi kudeta Westerling, yaitu lebih dari 300 orang.


Demikianlah akhir yang memalukan bagi pasukan elit Regiment Speciaale Troepen (RST) yang pernah menjadi kebanggaan Belanda, karena "berjasa" menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, pada agresi militer Belanda kedua tanggal 19 Desember 1948.


Namun bagi Westerling dan anak buahnya yang tertangkap, ceriteranya belum berhenti di sini. Westerling sendiri masih membuat pusing pimpinan Belanda, baik sipil mau pun militer di Jakarta. Dia merencanakan untuk lari ke Singapura, di mana dia dapat memperoleh bantuan dari teman-temannya orang Cina. Westerling kemudian menghubungi relasinya di Staf Umum Tentara Belanda di Jakarta.


Sejak kegagalan tanggal 23 Januari, Westerling bersembunyi di Jakarta, dan mendatangkan isteri dan anak-anaknya ke Jakarta. Dia selalu berpindah-pindah tempat, antara lain di Kebon Sirih 62 a, pada keluarga de Nijs.


Pada 8 Februari 1950 isteri Westerling menemui Mayor Jenderal Dirk R.A. van Langen, yang kini menjabat sebagai Kepala Staf, di rumah kediamannya. Isteri Westerling menyampaikan kepada van Langen mengenai situasi yang dihadapi oleh suaminya. Hari itu juga van Langen menghubungi Jenderal Buurman van Vreeden, Hirschfeld dan Mr. W.H. Andreae Fockema, Sekretaris Negara Kabinet Belanda yang juga sedang berada di Jakarta. Pokok pembicaraan adalah masalah penyelamatan Westerling, yang di mata banyak orang Belanda adalah seorang pahlawan. Dipertimbangkan antara lain untuk membawa Westerling ke Papua Barat. Namun sehari setelah itu, pada 9 Februari Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda berhasil menangkap Westerling, pihak Republik akan mengajukan tuntutan agar Westerling diserahkan kepada pihak Indonesia. Hirschfeld melihat bahwa mereka tidak mungkin menolong Westerling karena apabila hal ini terungkap, akan sangat memalukan Pemerintah Belanda. Oleh karena itu ia menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda untuk mengurungkan rencana menyelamatkan Weterling.


Namun tanpa sepengetahuan Hirschfeld, pada 10 Februari Mayor Jenderal van Langen memerintahkan Kepala Intelijen Staf Umum, Mayor F. van der Veen untuk menghubungi Westerling dan menyusun perencanaan untuk pelariannya dari Indonesia. Dengan bantuan Letkol Borghouts -pengganti Westerling sebagai komandan pasukan elit KST- pada 16 Februari di mess perwira tempat kediaman Ajudan KL H.J. van Bessem di Kebon Sirih 66 berlangsung pertemuan dengan Westerling, di mana Westerling saat itu bersembunyi. Borghouts melaporkan pertemuan tersebut kepada Letkol KNIL Pereira, perwira pada Staf Umum, yang kemudian meneruskan hasil pertemuan ini kepada Mayor Jenderal van Langen.


Westerling pindah tempat persembunyian lagi dan menumpang selama beberapa hari di tempat Sersan Mayor KNIL L.A. Savalle, yang kemudian melaporkan kepada Mayor van der Veen. Van der Veen sendiri kemudian melapor kepada Jenderal van Langen dan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima tertinggi Tentara Belanda. Dan selanjutnya, Van Vreeden sendiri yang menyampaikan perkembangan ini kepada Sekretaris Negara Andreae Fockema. Dengan demikian, kecuali Hirschfeld, Komisaris Tinggi Belanda, seluruh jajaran tertinggi Belanda yang ada di Jakarta –baik militer maupun sipil- mengetahui dan ikut terlibat dalam konspirasi menyembunyikan Westerling dan rencana pelariannya dari Indonesia. Andreae Fockema menyatakan, bahwa dia akan mengambil alih seluruh tanggungjawab.


Pada 17 Februari Letkol Borghouts dan Mayor van der Veen ditugaskan untuk menyusun rencana evakuasi. Disiapkan rencana untuk membawa Westerling keluar Indonesia dengan pesawat Catalina milik Marineluchtvaartdienst - MLD (Dinas Penerbangan Angkatan Laut) yang berada di bawah wewenang Vice Admiral J.W. Kist. Rencana ini disetujui oleh van Langen dan hari itu juga Westerling diberitahu mengenai rencana ini. Van der Veen membicarakan rincian lebih lanjut dengan van Langen mengenai kebutuhan uang, perahu karet dan paspor palsu. Pada 18 Februari van Langen menyampaikan hal ini kepada Jenderal van Vreeden.

Van der Veen menghubungi Kapten (Laut) P. Vroon, Kepala MLD dan menyampaikan rencana tersebut. Vroon menyampaikan kepada Admiral Kist, bahwa ada permintaan dari pihak KNIL untuk menggunakan Catalina untuk suatu tugas khusus. Kist memberi persetujuannya, walau pun saat itu dia tidak diberi tahu penggunaan sesungguhnya. Jenderal van Langen dalam suratnya kepada Admiral Kist hanya menjelaskan, bahwa diperlukan satu pesawat Catalina untuk kunjungan seorang perwira tinggi ke kepulauan Riau. Tak sepatah kata pun mengenai Westerling.

Kerja selanjutnya sangat mudah. Membeli dolar senilai f 10.000,- di pasar gelap; mencari perahu karet; membuat paspor palsu di kantor Komisaris Tinggi (tanpa laporan resmi). Nama yang tertera dalam paspor adalah Willem Ruitenbeek, lahir di Manila.


Pada hari Rabu tanggal 22 Februari, satu bulan setelah "kudeta" yang gagal, Westerling yang mengenakan seragam Sersan KNIL, dijemput oleh van der Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan MLD di pelabuhan Tanjung Priok. Westerling hanya membawa dua tas yang kelihatan berat. Van der Veen menduga isinya adalah perhiasan. Pesawat Catalina hanya singgah sebentar di Tanjung Pinang dan kemudian melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Mereka tiba di perairan Singapura menjelang petang hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai Singapura pesawat mendarat di laut dan perahu karet diturunkan.
Dalam bukunya De Eenling, Westerling memaparkan, bahwa perahu karetnya ternyata bocor dan kemasukan air. Beruntung dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap ikan Cina yang membawanya ke Singapura. Setibanya di Singapura, dia segera menghubungi temanCinanya Chia Piet Kay, yang pernah membantu ketika membeli persenjataan untuk Pao An Tui. Dia segera membuat perencanaan untuk kembali ke Indonesia.

Namun pada 26 Februari 1950 ketika berada di tempat Chia Piet Kay, Westerling digerebeg dan ditangkap oleh polisi Inggris kemudian dijebloskan ke penjara Changi. Rupanya, pada 20 Februari ketika Westerling masih di Jakarta, Laming, seorang wartawan dari Reuters, mengirim telegram ke London dan memberitakan bahwa Westerling dalam perjalanan menuju Singapura, untuk kemudian akan melanjutkan ke Eropa. Pada 24 Februari Agence Presse, Kantor Berita Perancis yang pertama kali memberitakan bahwa Westerling telah dibawa oleh militer Belanda dengan pesawat Catalina dari MLD ke Singapura. Setelah itu pemberitaan mengenai pelarian Westerling ke Singapura muncul di majalah mingguan Amerika, Life. Pemberitaan di media massa internasional tentu sangat memukul dan memalukan, bukan hanya untuk  pimpinan sipil dan militer Belanda di Indonesia, melainkan juga memalukan Belanda di Eropa.


Kabinet RIS membanjiri Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan. Hirschfeld sendiri semula tidak mempercayai berita media massa tersebut, sedangkan Jenderal Buurman van Vreeden dan Jenderal van Langen mula-mula menyangkal bahwa mereka mengetahui mengenai bantuan pimpinan militer Belanda kepada Westerling untuk melarikan diri dari Indonesia ke Singapura. Keesokan harinya, tanggal 25 Februari Hirschfeld baru menyadari, bahwa semua pemberitaan di media itu betul. Dia sangat gusar, karena  ternyata hanya dia dan Admiral Kist yang tidak diberitahu oleh van Vreeden, van Langen dan Fockema mengenai adanya konspirasi Belanda untuk menyelamatkan Westerling dari penagkapan oleh pihak Indonesia.


Fockema segera menyatakan bahwa dialah yang bertanggung- jawab dan menyampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat, bahwa Hirschfeld sama sekali tidak mengetahui mengenai hal ini. Menurut sinyalemen Moor, sejak skandal yang sangat memalukan Pemerintah Belanda tersebut terbongkar, hubungan antara Hirschfeld dengan pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia mencapai titik nol.

 

 

Para Pelaku Kudeta Ditangkap dan Dijatuhi Hukuman Penjara, Kecuali Westerling

 

Pada 5 April 1950 atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata, Sultan Hamid II ditangkap di Hotel Des Indes atas tuduhan terlibat dalam "kudeta" Westerling bulan Januari 1950. Hamid didakwa merencanakan penangkapan menteri-menteri Kabinet RIS, bahkan memerintahkan pembunuhan terhadap Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiarjo dan Kepala Staf Angkatan Perang RIS (APRIS) Kolonel Tahi Bonar Simatupang. Pada 8 April 1953 Hamid ditajuhi hukuman penjara selama 10 tahun, dipotong masa tahanan 3 tahun. dia dibebsakan tahun 1958. Namun Hamid tidak berhenti melakukan gerakan-gerakan bawah tanah bersama orang-orang Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia, tahun 1962 Hamid ditangkap lagi karena terlibat dalam organisasi bawah tanah orang-orang Belanda, yaitu Vrijwillige Ondergrondsche Corps (Korp Gerilya Bawah Tanah). Setelah Presiden Sukarno digulingkan, tahun 1967 atas intervensi pemerintah Belanda, Hamid dibebaskan.


Berbeda dengan nasib Sultan Hamid II yang diadili di pengadilan RIS, para tentara Belanda yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap anggota TNI yang tidak bersenjata, bukan dalam perang, disidangkan di Mahkamah Militer Belanda yang masih ada di Indonesia.

Pada 7, 8, 10 dan 11 Juli 1950 dilakukan sidang Mahkamah Militer Belanda terhadap 124 anggota pasukan RST yang ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Pada 12 Juli dijatuhkan keputusan yang menyatakan semua bersalah. Namun sebagian besar hanya dikenakan hukuman yang ringan, yaitu 10 bulan potong tahanan, beberapa orang dijatuhi hukuman 11 atau 12 bulan, satu orang kena hukuman 6 bulan dan hanya Titaley diganjar 1 tahun 8 bulan. Tidak ada yang mengajukan banding. Hukuman yang sangat ringan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Belanda terhadap tentara Belanda yang telah membantai 94 anggota TNI, termasuk Letkol Adolf Gustav Lembong, menunjukkan, bahwa Belanda tidak pernah menilai tinggi nyawa orang Indonesia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II di Eropa, tentara Jerman yang terbukti membunuh orang atau tawanan yang tidak berdaya dijatuhi hukuman yang sangat berat, dan bahkan para perwira tentara Jerman yang memerintahkan pembunuhan, dijatuhi hukuman mati.


Sementara itu, setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi Inggris di Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim Evans memutuskan, bahwa Westerling sebagai warganegara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia. Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7 Agustus telah memutuskan, bahwa setibanya di Belanda, Westerling akan segera ditahan. Pada 21 Agustus, Westerling meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang pendukung Westerling.


Westerling sendiri ternyata tidak langsung dibawa ke Belanda di mana dia akan segera ditahan, namun –dengan izin van der Gaag- dia turun di Brussel, Belgia. Dia segera dikunjungi oleh wakil-wakil orang Maluku dari Den Haag, yang telah mendirikan Stichting Door de Eeuwen Trouw - DDET (Yayasan Setia Sepanjang Masa). Mereka merencanakan untuk kembali ke Maluku untuk menggerakkan pemberontakan di sana. Di Belanda sendiri, walaupun dia tidak ada di Belanda, Westerling menjadi orang yang paling disanjung.


Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Keberadaannya tidak dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April Westerling ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren.

Mendengar berita penangkapan Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada 13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Konon dia mengancam, bahwa apabila dia dihukum penjara, dia akan membuka rahasia, bahwa sesungguhnya rencana kudetanya adalah gagasan dari Pangeran Bernhard von Biesterfeld, suami Ratu Belanda Juliana. Pangeran Bernhard, pria kelahiran Jerman, berambisi menjadi “Raja Muda” di Indonesia, seperti Lord Mountbatten, Lord Minto, yang adalah Raja-Raja Muda (Viceroy) mewakili kerajaan Inggris untuk India di masa penjajahan Inggris di India.

(Lihat: Pangeran Bernhard Ingin Merebut Melakukan Kudeta di Indonesia:

https://batarahutagalung.blogspot.com/2009/12/pangeran-bernhard-ingin-merebut.html )

 

 

“Happy End” Untuk Westerling

 

Puncak pelecehan Belanda terhadap bangsa Indonesia terlihat pada keputusan Mahkamah Agung Belanda pada 31 Oktober 1952, yang menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda sehingga tidak akan diekstradisi ke Indonesia.


Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara dalam berbagai pertemuan, yang selalu dipadati pemujanya. Dalam satu pertemuan dia ditanya, mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab:

"Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan."

 

Beberapa hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia memprotes kepada kabinet Belanda atas penghinaan tersebut.


Pada 17 Desember 1954 Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di Amsterdam di mana disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan tidak terdapat alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4 Januari 1955 Westerling menerima pernyataan tersebut secara tertulis. Ini adalah putusan pengadilan di Belanda sangat tidak masuk akal. Puluhan prajurit Belanda yang terlibat dalam pembunuhan 90 orang anggota TNI dari Divisi Siliwangi yang pada waktu itu tidak bersenjata, dijatuhi hukuman penjara, walaupun sangat ringan. Komandan yang memberi perintah, samasekali tidak dihukum.

 

Setelah puluhan tahun berlalu, terkuak di Belanda, latar belakang mengapa Westerling dibebaskan dari segala tuntutan, yaitu karena kalau dia dihukum, akan menyeret Pangeran Bernhard, suami Ratu Belanda Juliana.


Dengan demikian, bagi orang Belanda pembantaian ribuan rakyat di Selawesi Selatan tidak dinilai sebagai pelanggaran HAM. Demikian juga "kudeta' APRA pimpinan Westerling tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran atau upaya pemberontakan terhadap satu negara yang berdaulat. Demikianlah pandangan orang Belanda mengenai Hak Asasi Manusia, yang merupakan peninggalan dari zaman kolonialisme, di mana pribumi di wilayah jajahan Belanda, selama ratusan tahun tidak dipandang sebagai manusia, melainkan sebagai “komoditi dagang.” Yaitu diperjuan-belikan sebagai budak ... di negeri sendiri.


Westerling kemudian menulis dua buku, yaitu autobiografinya Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku Memoires diterjemahkan ke bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika. Bukunya Westerling ini konon juga menjadi panduan untuk tentara Amerika Serikat dalam perang di Vietnam Selatan menghadapi Vietcong.


Kemudian bagaimana dengan nasib tentara KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger)?

 

Setelah dideklarasikan berdirinya “Republik Maluku Selatan” *RMS) pada 25 April 1950, pemerintah Belanda sangat disibukkan dengan mengevakuasi sekitar 4.000 tentara KNIL asal Maluku dan keluarganya ke Belanda. sebelumnya, sekitar 1.000 orang tentara KNIL asal Maluku telah melakukan desersi dan bergabung dengan RMS. Mantan tentara KNIL, sersan Dantje Jacob Samson diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang RMS.

 

Sebagai hasil KMB, mantan tentara KNIL yang ingin masuk Angkatan Perang RIS (APRIS), diterima dengan pangkat yang sama. Namun sebelum KNIL dibubarkan, pangkat mereka dinaikkan dua tingkat. Sekitar 23.000 orang mantan tentara KNIL diterima di APRIS.

 

Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, KNIL dinyatakan dibubarkan.


Westerling meninggal dengan tenang tahun 1987 di usia 68 tahun.

 

 

Sumber:

Dari berbagai sumber Indonesia dan Belanda.

 

 

********


6 comments:

Anonymous said...

Hallo Batara,
saya membaca di milis apresiasi sastr mengenia artikel mu republik fran lang di mandor. Sebagai orang Pontianak, saya baru tahu mengenai sejarah ini secara komplit. terima kasih atas pencerahannya. saya hanay tahu bahwa banyak orang2 cina kalbar merupakan keturunan suku hakka. Dan hal ini salah satu point yang membuat saya tertarik untuk menginap di rumah hakka waktu ke xiamen.
Oh yah, karena baca artike kamu, saya mengunjungi blog kamu dan saya termukan bbrp artikel tentang sejarah batak. Menarik sekali! Saat ini saya sedang tertarik dengan kebudayaan batak dan makananannya. Apakah kamu memiliki daftar buku or literatur batak?
Baru2 ini teman saya memberi informasi bahwa ada pengarang jerman yang menulis tentang danau sidhoni di samosir. Saya "takjub". saya aja yang orang batak gak pernah dengar tentang danau ini, lho koq ada orang asing yang menulis bukunya.
Saya ikut milis antropolohi batak, hanya sayang, milisnya gak aktif. Mungkin kamu tertarik untuk membuat satu milis diskusi tentang batak.
salam dan skali lagi terima kasih untuk info blognya.
Tiur

odysse halim said...

oh, begini toh cerita APRA. Kemarin saya sempat tanya2 ke teman, tetapi tidak bisa menjelaskan. ngomong2, saya ingin tanya. tahu alasan kenapa dinamai Ratu Adil? Apakah karena Belanda dipimpin seorang ratu waktu itu? maaf, ilmu sejarah saya payah, hehehe.

batarahutagalung said...

Memang waktu itu kepala negara Belanda adalah Ratu Juliana, ibunya Ratu Beatrix yang sekarang. Batara RH

Unknown said...

Yth, bpk Batara
Mhn kiranya sy bs dibantu kr2 kemana, untuk bs mendapatkan informasi lis daftar nama pasukan KNIL yg dikirim Belanda ke Indonesia atau yg ditarik pulang ke Belanda sekitar tahun 1946 - 1950, kami mencari Opah kami yg bernama YAN CANVIN VAN GRONINGEN (kapitein), dahulu kawin dg omah kami G. Yohana Wilhemina Tokaya (alhm), py anak lahir di st. Carolus, diberi nama Yosef Johanes Tokaya (63th), sekarang masih sehat tinggal di Depok, trmks. Salam hormat. (arief.noordi@yahoo.com) 081288866671

Unknown said...

Yth, bpk Batara
Mhn bs dibantu hrs kemana ? guna mencari list daftar nama tentara KNIL yg dikirim Belanda ke Indonesia atau yg ditarik ke Belanda sekitar tahun 1946 - 1950, kami ingin mencari Opah kami yg bernama YAN CANVIN VAN GRONINGEN (kapiten), dahulu kawin dg Omah kami G. YOHANA WILHEMINA TOKAYA (alm), lahir anak di rs. st. Carolus, bernama Yosef Johanes Tokaya (63 th), sekarang masih sehat tinggal di kota Depok. Trmks, salam hormat.... arief.noordi@yahoo.com, 081288866671

Unknown said...

tulisan anda benar2 memberikan saya inspirasi. bolehkah saya tahu referensi buku apa saja yang anda pakai. saya ingin sekali bisa membacanya. terima kasih