RAWAGEDE:
Surat Terbuka kepada Menlu RI.
Pernyataan Menlu yang Menyesatkan
Jakarta,
17 Desember 2011
Kepada
Yth.
Dr.
RM Marty Natalegawa
Menteri
Luar Negeri Republik Indonesia
Di
Jakarta
Dengan
hormat.
Pada
peringatan peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 2011, Dubes
Belanda Tjeerd de Zwaan secara resmi
atas nama pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga
korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede
(sekarang bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947. (Lihat:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/rawagede-akhirnya-pemerintah-belanda.html)
Sehubungan
dengan hal ini, sebagaiman dikutip oleh TEMPO.CO,
Anda mengatakan: “peristiwa penting ini
juga menjadi pengakuan pemerintah Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia
berlangsung pada 1945. Belanda selama ini mengakui kedaulatan Indonesia pada 27
Desember 1949.”
(Lihat
http://www.tempo.co/read/news/2011/12/09/078370782/Marty-Sambut-Kedatangan-De-Zwaan-di-Rawagede)
Interpretasi
Anda terhadap langkah pemerintah Belanda ini tidak tepat, dan bahkan sangat
menyesatkan,
Pertama,
langkah pemerintah Belanda ini adalah sebagai pelaksanaan putusan pengadilan
sipil di Den Haag, Belanda, yang memutuskan bahwa pemerintah Belanda bersalah
atas pembantaian 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dan mengharuskan memberi
kompensasi kepada 8 janda korban dan satu orang korban selamat terakhir. Dengan
demikian, ini bukan tindakan sukarela dari pemerintah Belanda.
Namun
dalam putusan itu, pada butir dua, sebagai “FAKTA-FAKTA” (bahasa belanda: feiten) tertera:
2.
De feiten
2.1.
Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het
Koninkrijk der Nederlanden.
(Terjemahannya: 2. Fakta-fakta. 2.1. Indonesia sampai 1949 dengan
nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)
(Teks lengkap putusan pengadilan Belanda, lihat:
Dengan
demikian, juga bagi pengadilan di Belanda, Republik Indonesia baru ada pada 27
Desmber 1949. Oleh karena itu yang harus dibaca dari putusan ini adalah:
1. Tentara Belanda tahun
1947 telah membunuh WARGANYA SENDIRI, bukan warga Indonesia.
2. Meminta maaf kepada
MANTAN WARGANYA.
Pengadilan
Belanda, walaupun mengabulkan sebagian tuntutan warga Rawagede, namun masih
sejalan dengan sikap pemerintah Belanda, yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
adalah 17.8.1945.
Kedua,
dari berbagai pernyataan pemerintah Belanda sampai sekarang, tidak pernah
menyatakan MENGAKUI DE JURE (De JURE ACKNOWLEDGEMENT/ RECOGNITION),
melainkan MENERIMA (ACCEPT).
Pada
15 Agustus 2005 di Den Haag, dalam acara peringatan pembebasan para interniran
yang ditahan oleh Jepang di Indonesia antara tahun 1942 – 1945 Ben Bot
mengatakan dengan jelas, akan menerima 17.8.1945 sebagai de facto awal
kemerdekaan Republik Indonesia. (Lihat:
Sehari
kemudian, pada 16.8.2005 di Gedung Kemlu RI di Jl. Pejambon, Ben Bor mengatakan:
“…Through my presence
the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia
declared independence…” (Lihat:
Kemudian
pada 18.8.2005 dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta ketyika ditanya
mengapa dia hanya mengatakan ACCEPTANCE
(menerima), dan bukan ACKNOWLEGDEMENT
(Pengakuan) terhadap proklamasi 17.8.1945, dia mengatakan, bahwa pengakuan HANYA
DIBERIKAN SATU KALI, YAITU TAHUN 1949. (Saya memiliki rekaman wawancara
tersebut).
Demikian
juga jawabannya di parlemen Belanda pada 28 Juni 2006 terhadap petisi dari KUKB
yang dikirim tanggal 20 Mei 2005. (Lihat:
Tuntutan
KUKB disampaikan oleh Bert Koender ke sidang pleno parlemen Belanda, sesuai
janjinya ketika menerima pimpinan KUKB di parlemen Belanda pada 15 Desember
2005. (Lihat:
Pernyataan
Ben Bot ini seharusnya sangat mengejutkan bagi bangsa Indonesia, dan sekaligus
merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap HARKAT dan MARTABAT sebagai Negara
merdeka yang berdaulat, karena ini berarti bagi pemerintah Belanda, sampai 16
Agustus 2005, Republik Indonesia secara yuridis tidak eksis sama sekali, dan baru
sejak tanggal 16 Agustus 2005 diterima keberadaannya, namun tidak diakui
legalitasnya. Dengan kata lain, bagi pemerintah Belanda, Republik Indonesia
adalah ANAK HARAM!
Memang
tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui bahwa pemerintah Belanda sampai
detik ini tetap tidak mau mengakui de
jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi pemerintah
Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu
ketika “penyerahan wewenang” (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah
Belanda kepada pemerintah federal Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana
Republik Indonesia hanya satu negara dari 16 Negara Bagian RIS. Oleh karena RIS
dianggap sebagai kelanjutan dari Nederlands-Indië (India Belanda), maka RIS
harus membayar utang pemerintah India Belanda kepada induknya, yaitu pemerintah
Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (setara dengan 1,2 milyar US $).
(Lihat
de indonesische injectie: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/de-indonesische-injectie.html)
Sejarah
mencatat, Presiden RIS Sukarno pada 16 Agustus 1950 menyatakan dibubarkannya
RIS, dan pada 17 Agustus 1950, Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI, yang
proklamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945. Proklamasi kerdekaan ini dipandang
dari sudut manapun sah, baik dari hukum internasional (Konvensi Montevideo),
maupun dari segi hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (Lihat 18
butir konsep perdamaian dari Presiden Woodrow Wilson, Januari 1918, (lihat:
dan
Atlantic Charter/Piagam Atlantik yang
dicetuskan oleh Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston
Churchill pada 14 Agustus 1941 (Lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/atlantic-charter.html),
yang juga tercantum dalam Preambel PBB tahun 1945.
(Mengenai
Keabsahan Proklamasi 17.8.1945, lihat
Proklamasi
17.8.1945 bukan merupakan suatu revolusi, atau pemberontakan, dan periode
antara tahun 1945 – 1950 juga bukan perang kemerdekaan. (Lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/bukan-revolusi-bukan-pemberontakan.html)
Memang
kita ketahui dilemma yang dihadapi oleh pemerintah Belanda apabila mengakui de
jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Hal ini kami ketahui dari
anggota parlemen Belanda Angelien Eisjink yang membidangi masalah veteran
Belanda, ketika kami bertemu di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005,
kemudian dari Ad van Liempt, jurnalis senior di Hilversum. Mereka mengatakan,
apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17
Agustus 1945, maka akibatnya adalah:
1. Yang Belanda namakan “aksi polisional” tak lain adalah AGRESI MILITER TERHADAP SATU NEGARA MERDEKA DAN BERDAULAT.
2. Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda a.l. di Rawagede, Sulawesi Selatan, Kranggan, dll., bukanlah pembunuhan terhadap warganya sendiri, seperti putusan pengadilan di Den Haag pada 14 September 2011, melainkan adalah KEJAHATAN PERANG dan KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN.
3. Republik Indonesia berhak menuntut PAMPASAN PERANG, seperti yang dilakukan terhadap agresi militer Jepang.
4. Indonesia dapat menuntut pengembalian uang sebesar sekitar 1 milyar US $, yang telah dibayar kepada pemerintah Belanda dari tahun 1950 – 1956, sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Waktu itu Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India Belanda (Nederlands-Indië) diharuskan membayar utang pemerintah Nederlands-Indië kepada pemerintah induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda yang dilancarkan tahun 1947 dan tahun 1948 terhadap Republik Indonesia. Hal ini memang sangat aneh, karena untuk kemerdekaannya RIS harus membayar kepada Belanda, dan bukan sebaliknya. (Lihat ‘De Indonesische Injectie’: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/de-indonesische-injectie.html). Ketika Suriname merdeka dari Belanda, Suriname memperoleh kompensasi sebesar 2 milyar US $! Sampai tahun 1956 telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, dan kemudian RI membatalkan secara sepihak persetujuan KMB.
1. Yang Belanda namakan “aksi polisional” tak lain adalah AGRESI MILITER TERHADAP SATU NEGARA MERDEKA DAN BERDAULAT.
2. Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda a.l. di Rawagede, Sulawesi Selatan, Kranggan, dll., bukanlah pembunuhan terhadap warganya sendiri, seperti putusan pengadilan di Den Haag pada 14 September 2011, melainkan adalah KEJAHATAN PERANG dan KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN.
3. Republik Indonesia berhak menuntut PAMPASAN PERANG, seperti yang dilakukan terhadap agresi militer Jepang.
4. Indonesia dapat menuntut pengembalian uang sebesar sekitar 1 milyar US $, yang telah dibayar kepada pemerintah Belanda dari tahun 1950 – 1956, sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Waktu itu Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India Belanda (Nederlands-Indië) diharuskan membayar utang pemerintah Nederlands-Indië kepada pemerintah induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda yang dilancarkan tahun 1947 dan tahun 1948 terhadap Republik Indonesia. Hal ini memang sangat aneh, karena untuk kemerdekaannya RIS harus membayar kepada Belanda, dan bukan sebaliknya. (Lihat ‘De Indonesische Injectie’: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/de-indonesische-injectie.html). Ketika Suriname merdeka dari Belanda, Suriname memperoleh kompensasi sebesar 2 milyar US $! Sampai tahun 1956 telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, dan kemudian RI membatalkan secara sepihak persetujuan KMB.
Sangat
disayangkan, bahwa walaupun mengetahui bahwa pemerintah Belanda tetap tidak mau
mengakui de jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 17.8.1945, namun pemerintah Indonesia membiarkan sikap ini.
Dalam
kesempatan ini, kami meminta Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik
Indonesia, untuk menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengenai masalah ini,
yaitu mengapa pemerintah Indonesia tetap MEMBIARKAN pemerintah Belanda dengan
sikapnya ini.
Kami
sangat menghargai upaya pemerintah Indonesia memperjuangkan hak-hak Palestina
untuk diakui sebagai Negara, namun sangatlah aneh apabila pemerintah Indonesia
mengabaikan untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia terhadap
Negara yang pernah menjajah Bumi Nusantara, yang di beberapa daerah berlangsung
selama lebih dari tiga ratus tahun. Juga tidak membantu memperjuangkan hak-hak
korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara
tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Kami
juga masih menantikan jawaban surat kami tertanggal 28 Oktober 2011 yang
ditujukan kepada Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, mengenai
permohonan untuk bertemu. Surat tersebut kami sampaikan langsung kepada
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Abdurrahman M. Fachir pada 28
Oktober 2011.
Atas
perhatian yang diberikan, kami sampaikan terima kasih.
Hormat
kami,
Ttd.
Batara
R. Hutagalung
Ketua
Umum KNPMBI/ Ketua KUKB