Monday, February 20, 2006

28 Oktober 1945: Pertempuran Heroik di Surabaya

  28 Oktober 1945

Pertempuran Heroik di Surabaya

 

Catatan Batara R. Hutagalung

Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)


Pendahuluan

Ada satu peristiwa heroik yang hingga kini  belum memndapat perhatian dari bangsa Indonesia, yaitu pertempuran dahsyat yang terjadi pada 28-30 Oktober 1945 di Surabaya, di mana para pemuda dari hampir seluruh daerah di Indonesia bertempur melawan tentara Inggris, untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang baru diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Pada 28 Oktober 1945 di Surabaya, rakyat Indonesia di Surabaya berhasil mengalahkan tentara Inggris, yang adalah salah satu pemenang Perang Dunia II. Pada waktu itu Indonesia belum memiliki Tentara Nasional, yang ada hanyalah Badan Keamanan Rakyat/Tentara Keamanan Rakyat (BKR/TKR) dan berbagai laskar serta pasukan pemuda/pelajar.

Pertempuran-pertempuran melawan tentara Sekutu/Inggris yang lebih dikenal sebagai Pertempuran Surabaya (Oktober/November 1945), Pertempuran “Medan Area” (Desember 1945), Palagan Ambarawa (12 – 15 Desember 1945) dan Bandung Lautan Api (Maret 1946), merupakan perjuangan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Serangkaian perlawanan dahsyat rakyat Indonesia di berbagai daerah, telah merubah jalannya sejarah, karena pertempuran-pertempuran yang dahsyat tersebut telah merubah pandangan tentara Inggris, bahwa Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan dengan kekuatan bersenjata. Inggris kemudian memaksa Belanda ke meja perundingan.

Sebenarnya, Tentara Sekutu -tiga British Indian Divisions- di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command, telah menyalahgunakan tugasnya dan berusaha membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya. Tiga Divisi Inggris tersebut dibantu oleh dua Divisi tentara Australia di bawah Letnan Jenderal Lesley "Ming the Merciless" Morsehead. Sesuai dengan perjanjian antara Inggris dan Belanda di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945, tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia, dan setelah “dibersihkan”, diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).


28 Oktober 1945. Pertempuran Heroik di Surabaya

Setelah proklamaasi kemerdekaan Republik Indonesia dicetuskan pada 17 Agustus 1945, Presiden Sukarno menyerukan agar di daerah-daerah, selain membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah, juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Di Surabaya dan sekitarnya pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dipelopori antara lain oleh K.R.M.H. Yonosewoyo, Sungkono, Surachman, Abdul Wahab, dr. Wiliater Hutagalung, R. Kadim Prawirodirjo, drg. Mustopo, dan lain-lain. Selain BKR, juga didirikan berbagai laskar dan pasukan pemuda, seperti TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar).

Perebutan senjata dari tentara Jepang di Surabaya dimulai sejak pertengahan September 1945. Melihat bahwa Jepang sangat mengalah kepada Belanda dan bahkan memberikan berbagai fasilitas serta pengawalan bagi pimpinan Belanda yang baru dilepaskan dari interniran, membuat kemarahan rakyat terhadap tentara Jepang makin berkobar. Kalangan pejuang Republik di Surabaya semakin kuat berprasangka, bahwa Jepang telah bekerjasama dengan Sekutu untuk memberikan peluang kepada Belanda kembali menjajah Indonesia.

Di Don Bosco, Sawahan, terdapat salah satu arsenal tentara Jepang terbesar di Asia Tenggara. Pertempuran untuk merebut senjata yang menimbulkan korban besar di kedua belah pihak, berakhir dengan menyerahnya tentara Jepang kepada pasukan Indonesia yang menyerbu. Jumlah senjata yang dapat direbut dari tentara Jepang demikian banyaknya, sehingga untuk membantu perjuangan di Jakarta dan Yogyakarta, pimpinan Indonesia di Surabaya dapat mengirim 4 gerbong senjata (sekitar 1000 pucuk senapan) ke Jakarta, dan dua gerbong senjata ke Yogyakarta.

Penyerbuan dan perebutan senjata yang sangat dramatis di Surabaya dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Oktober terhadap markas Kempeitai (Polisi Militer) dan markas Kaigun (Angkatan Laut) Jepang. Kempeitai dianggap sebagai simbol kekejaman tentara Jepang selama masa pendudukan. Mereka sangat ditakuti rakyat karena kekejamannya, sehingga pembalasan dendam terutama terhadap anggota Kempeitai juga tidak kalah kejamnya. Tentara Jepang yang tewas dalam perebutan senjata selama dua hari tersebut berjumlah 16 orang dan luka-luka 26 orang, serta beberapa tentara Jepang dilaporkan sebagai hilang. Di pihak Indonesia jatuh korban lebih banyak, yaitu 26 orang gugur, 50 orang luka-luka. Jumlah yang tewas dan luka-luka di kedua belah pihak menunjukkan betapa sengitnya pertempuran dua hari tersebut guna merebut senjata dari tentara Jepang.

Seluruh korban di pihak Jepang dalam perebutan senjata di Surabaya dan sekitarnya tercatat: 240 tewas, 18 orang hilang dan 36 orang luka-luka. Korban di pihak Indonesia sangat besar. Kurang diketahui dengan pasti jumlah korban tewas dan luka-luka. Beberapa sumber menyebutkan, diperkirakan sekitar 500 orang Indonesia tewas dalam perebutan senjata di Surabaya dan sekitarnya.

Penguasaan rakyat Indonesia atas persenjataan di pos-pos pertahanan Jepang di Surabaya sangat bervariasi. Selain perebutan, ada juga yang sukarela diserahkan oleh komandan tentara Jepang, dan ada juga ditemukan sejumlah besar senjata, amunisi, pakaian, obat-obatan, gula, beras, dll. yang rupanya ditimbun oleh tentara Jepang; mungkin dimaksudkan sebagai persediaan rahasia.

Dalam waktu kurang dari dua bulan, di Surabaya dan sekitarnya telah terbentuk lebih dari 60 satuan BKR dan Laskar, di mana jumlah rakyat bersenjata diperkirakan mencapai 30.000 orang. Hal tersebut dimungkinan, karena sebagian terbesar adalah mantan anggota Peta, Heiho, Gyugun, Keibodan, Seinendan, Hizbullah, yang memperoleh pendidikan dan pelatihan militer atau semi militer dari Jepang, yang semula dirancang untuk membantu Jepang dalam pertahanan dan keamanan di India Belanda. Jenis persenjataan yang dimiliki dari mulai senjata ringan, senjata setenagh berat sampai senjata berat, tank dan meriam kaliber besar.

Pada 1 September 1945, van Mook bersama van der Plas menemui Admiral Lord Louis Mountbatten di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk melaksanakan persetujuan Civil Affairs Agreement (CAA) antara Belanda dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5 (Divisi 5 ikut dalam pertempuran di El Alamein, Afrika Utara pada Juni–Juli 1942 dan kemudian 23 Oktober – 6 November 1942 di mana akhirnya tentara Inggris di bawah Jenderal Bernard Law Montgommery berhasil memukul mundur pasukan Jerman di bawah pimpinan perwira legendaris Marsekal Erwin Rommel ke Libya), yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya:

Headquarters, S.E. Asia Command 2 Sept. 1945.

From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C. Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.

You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.

(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.

Kalimat:
“...In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services...”
dan kalimat berikutnya:
“…the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion...”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”

Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. Melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).

Namun ternyata ada hidden agenda (agenda rahasia) yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda, sebagaimana tertera secara gamblang dalam surat perintah Mountbatten tertanggal 2 September 1945 kepada komandan-komandan Divisi, sehari setelah kunjungan van Mook di markas Besar Tentara Sekutu di Kandy, Sri Lanka.

Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat sekitar 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, mereka hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.

Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di India Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.

Mountbatten mendapat bantuan dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Lesley "Ming the Merciless" Morsehead. Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan dan Indonesia Timur lainnya. Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda.

Dengan demikian, Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum mampu untuk bertempur. Kemudian, atas desakan pihak Belanda, Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta kepulauan lain di bagian timur Indonesia -kecuali Bali dan Lombok- kepada tentara Australia.

Setelah “membersihkan” wilayah Indonesia Timur dari kekuatan bersenjatan pendukung Republik Indonesia, pada 13 Juli 1946 Australia secara resmi “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia Timur kepada Belanda. Belanda tidak membuang waktu, dan tanggal 15 – 22 Juli digelar “Konferensi Malino”, dekat Makassar, yang menjadi cikal bakal pembentukan Negara Indonesia Timur.

Pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 yang berkekuatan sekitar 5.000 tentara, mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Mereka segera masuk ke dalam kota dan mendirikan pos pertahanan di 8 tempat. Awalnya, mereka ingin segera melucuti semua persenjataan yang telah dikuasai rakyat, namun karena mendapat tentangan yang sangat keras dari pimpinan Indonesia di Surabaya, akhirnya mereka mengalah. Tanggal 26 Oktober 1945 dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan komandan Brigade 49, Brigadir Mallaby, yang isinya a.l.:

1. Yang dilucuti senjata-senjatanya hanya tentara Jepang. (The disarmament shall be carried out only in the Japanese Forces).
2. Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian. (The Allied Forces will assist in the maintenace of law, order and peace).
3. Setelah semua tentara Jepang dilucuti, maka mereka akan diangkut melalui laut. (The Japanese Forces after being disarmed, shall be transported by sea).

Pada 27 Oktober pukul 11.00 pagi, sebuah pesawat Dakota langsung dari Jakarta, atas perintah Mayjen Hawthorn menyebarkan pamflet yang isinya adalah perintah, agar dalam waktu 2 x 24 jam, seluruh senjata yang dimiliki oleh rakyat Indonesia diserahkan kepada tentara Sekutu, dan barangsiapa setelah batas waktu tersebut, terlihat membawa senjata, akan ditembak di tempat. Ini jelas bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya, yang telah disetujui oleh komandan tertinggi tentara Inggris di Surabaya, Brigadir Jenderal Mallaby. Walaupun dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan adanya pamflet terserbut, namun dia mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta dan segera memerintahkan pasukannya untuk mulai melucuti persenjataan yang dimiliki rakyat Indonesia di Surabaya.

Karena rakyat Indonesia di Surabaya menilai bahwa pihak Inggris telah melanggar perjanjian yang ditandatangani sehari sebelumnya; maka pimpinan militer Indonesia di Surabaya memberikan perintah untuk menyerbu seluruh pos pertahanan Inggris.

Serangan total dilakukan tanggal 28 Oktober 1945, pukul 4.30 pagi. Delapan pos pertahanan Inggris diserbu oleh sekitar 30.000 rakyat bersenjata, dan masih ditambah sekitar 100.000 bonek -artinya benar-benar bermodal nekad- hanya dengan bersenjata bambu runcing, clurit, pedang, golok dsb.

Tercatat sekitar 60 pasukan/laskar yang ikut dalam penyerbuan terhadap tentara Inggris pada 28 Oktober 1945 tersebut. Hampir seluruh sukubangsa yang ada di Indonesia terwakili oleh para pemuda yang tergabung dalam berbagai pasukan/laskar, antara lainPasukan Pemuda Sulawesi (KRIS – Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pasukan Sadeli Bandung, Pasukan Magenda Bondowoso, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Sriwijaya (sebagian besar berasal dari Aceh dan Batak), Pasukan Sawunggaling, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, Pasukan TKR Laut, Pasukan BKR/TKR Morokrembangan, Pasukan BKR Kereta Api, Pemuda Ponorogo, Pasukan Jarot Subiantoro Pemuda Banten, Corps Pegadaian, Corps PTT, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan Narapidana Kalisosok (penjara), dan bahkan banyak pemuda-pemuda dari Papua, Maluku dan Pulau Rote.

Dengan demikian, bersatunya para pemuda Indonesia dalam perlawanan terhadap tentara Sekutu pada 28 Oktober 1945 merupakan perwujudan dari semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Peristiwa heroik ini terjadi tepat 17 tahun kemudian. Suatu kebetulan? Atau suatu predestinasi?

Setelah digempur total selama sehari-semalam, tentara Inggris yang tidak dipersiapkan untuk suatu pertempuran, mengibarkan bendera putih, minta berunding. Pada tahun 1975, seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith, dalam suratnya kepada J.G.A. Parrot menuliskan, bahwa Brigjen Mallaby menyadari, apabila pertempuran dilanjutkan, mereka akan disapu bersih (wiped out). Bahkan Kolonel A.J.F. Doulton, dalam bukunya menulis:

The heroic resistance of the British troop could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.”
(Perlawanan heroik dari tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada seorang yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).

Menyadari bahwa apabila pertempuran dilanjutkan hanya akan mengakibatkan kehancuran total Brigade 49, malam itu juga, tanggal 28 Oktober 1945, mereka menghubungi pimpinan Republik di Jakarta. Inggris tidak dapat segera mendatangkan bantuan pasukan, baik dari Brigade Bethell di Jawa Tengah –yang juga sedang menghadapi perlawanan rakyat Indonesia-, apalagi dari Malaya, yang akan memerlukan waktu beberapa hari, sedangkan keadaan Brigade 49 di Surabaya sudah sangat kritis. Tak ada jalan lain, selain meminta bantuan pimpinan Republik di Jakarta, untuk menyelamatkan nyawa ribuan tentara Inggris yang sudah terkepung di pos-pos pertahanan mereka di dalam kota Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan.

Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.

Di sini pertama kali Inggris menyebut Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia!

Perundingan dilanjutkan keesokan harinya dengan atasan Mallaby, Mayjen Hawthorn, yang datang ke Surabaya tanggal 30 Oktober. Dalam perundingan pada hari itu, dicapai kesepakatan antara Bung Karno dengan Panglima Divisi 23, Mayjen Hawthorn, yang isinya a.l.: mencabut perintah dalam pamflet tertanggal 27 Oktober, dan pengakuan terhadap keberadaan TKR dan polisi Indonesia.

Pada pertempuran yang berlangsung di Surabaya tanggal 28 dan 29 Oktober 1945, Inggris mencatat: 18 perwira dan 374 serdadu yang tewas, luka-luka dan hilang. Sedangkan di pihak Indonesia diperkirakan sekitar 6.000 orang yang tewas, luka-luka dan hilang.

Pada 30 Oktober 1945 dicapai kesepakatan antara Presiden Sukarno dengan Mayjen Hawthorn untuk diadakan gencatan senjata dan pengakuan Inggris terhadap TKR di Surabaya. Ketika dilakukan penyebarluasan hasil kesepakatan tersebut, di depan Gedung Internatio di Jembatan Merah terjadi tembak-menembak yang dimulai oleh tentara Inggris, di mana Brigadir Jenderal Mallaby tewas.

Pihak Inggris menyalahkan Indonesia atas terjadinya tembak-menembak, dan menuduh orang Indonesia membunuh Mallaby. Kedua tuduhan tersebut ternyata tidak benar, namun tentara Inggris tetap melaksanakan penghancuran kota Surabaya yang dimulai dengan pemboman besar-besaran tanggal 10 November 1945.

Inggris mengerahkan lebih dari 30.000 tentaranya yang dilengkapi dengan persenjataan mutakhir yang dimiliki tentara Inggris. Akibat agresi militer Inggris terbesar setelah Perang Dunia II usai, yang berlangsung selama sekitar 3 minggu, diperkirakan lebih dari 20.000 penduduk Surabaya tewas, termasuk perempuan dan anak-anak, serta hancurnya hampir separuh kota Surabaya.

Setelah pertempuran Surabaya Oktober/November 1945, pertempuran 'Medan Area' di Medan Oktober - Desember 1945, 'Palagan Ambarawa' Desember 1945 dan 'Bandung Lautan Api', Maret/April 1946, serta insiden-insiden bersenjata lain di Jawa dan Sumatera, Inggris menyadari bahwa Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan dengan kekuatan bersenjata. Oleh karena itu, Inggris mengakui de facto Republik Indonesia atas Sumatera, Jawa dan Madura. Inggris kemudian memaksa Belanda untuk melakukan perundingan dengan pimpinan Republik Indonesia, yang terlaksana di Linggajati. Setelah itu, Inggris menarik seluruh pasukannya dari Indonesia, namun meninggalkan seluruh persenjataan mereka kepada tentara Belanda!

Pada 10  November 1999, Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945, melakukan unjukrasa di Kedutaan Besar Inggris di Jk. M.H. Thamrin, Jakarta, menuntut pemerintah Inggris meminta maaf atas pemboman Surabaya Novemver 1945. Mengenai tuntutan ini, lihat:

Dalam Seminar di LEMHANNAS tanggal 27 Oktober 2000 yang diselenggarakan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November ’45 bersama LEMHANNAS, Richard Gozney, Duta Besar Inggris, atas nama Pemerintah dan Rakyat Inggris menyampaikan penyesalan atas pemboman yang dilakukan tentara Inggris di Surabaya, dan mengakui terus terang, bahwa pada waktu itu memang Inggris membantu Belanda untuk menguasai Indonesia kembali sebagai jajahan.

Pernyataan Duta besar Inggris Richard Gozney dalam seminar tersebut, lihat:

Disadur dari
Batara R. Hutagalung, “10 November 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”
Millenium Publisher, Jakarta, Oktober 2001, edisi pertama, xiv + 472 halaman.

Teks lengkap buku ini dapat dibaca di weblog:


====================================================

The Jakarta PostSunday, December 30, 2001Book Review"10 November '45, Mengapa Inggris Membom Surabaya?" ("10 November '45, Why Did Britain Bomb Surabaya?"); By Batara R. Hutagalung; Millenium Publisher, Jakarta;
(Oct. 2001), first edition, xiv + 472 pp; Rp 59,900,

This book analyzes the simultaneous sea, land and air campaign by British forces against the defenders of the East Java capital of Surabaya in November 1945.

To this day, it remains a bitter memory for older Indonesians.In the author's opinion, there are two main reasons why Britain, which did not hold colonial authority over Indonesia, launched the invasion.

First, there were psychological and emotional reasons at play, since Britain was victorious in World War II. Second, the British were bound by a treaty with the Dutch stemming from the conference at Yalta on Feb. 11, 1945, and the Postdam Declaration, which took place on July 26, 1945.

The objectives of the treaty were "to reestablish civilian rule, and return the colony to Dutch administration," as well as "to maintain the status quo which existed before the Japanese invasion".

They can be found in a letter dated Sept. 2, 1945 by the Allied Forces' Supreme Commander South East Asia Vice Admiral Lord Louis Mountbatten.

British assistance was also in line with the Civil Affairs Agreement between the Dutch and Britain in Chequers, Britain, on Aug. 24, 1945.

The author also outlines the violations committed by British troops. They include infringements upon the sovereignty of the fledgling nation of Indonesia, human rights abuses -- including crimes against humanity and forced displacement -- and war crimes.

Apart from its thorough dissection of this bloody chapter of Indonesian history, this book carries something else of equally important historical significance: an official apology from the British government.

It was expressed by British Ambassador to Indonesia Richard Gozney in the name of the British government during a seminar on the Battle of Surabaya in Jakarta in October 2000.It was a sympathetic act -- one which has yet to be offered by the Dutch who, as a colonial power, ruled Indonesia for centuries.-- Darul Aqsha


18 comments:

Cahayani Yogaswari said...

Izin copy yaa..buat bahan tugas:)

batarahutagalung said...

SilakanAnda copy yang Anda inginkan. Semoga bermanfaat. Maaf agak lambat menjawab. Salam, Batara R. Hutagalung

Indonesian Pearls said...

Boleh saya copy ya? Saya sedang mencoba menelusuri perjuangan ayah sy yang terlibat langsung pada pertempuran di Surabaya tersebut. Terima kasih banyak sebelumnya.

Indonesian Pearls said...

Mohon ijin untuk meng copynya. Saya sedang menelusuri perjuangan ayah saya yang terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Terima kasih sebelumnya.

Wass
Bambang Setiawan

Indonesian Pearls said...

Mohon ijin utk meng copy nya. Saya sedang menelusuri perjuangan alm ayah saya yang terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Terima ksih sebelumnya.

Wass
Bambang Setiawan

batarahutagalung said...

Saudara Bambang Setiawan,
Maaf baru sekarang memberi jawaban, karena kesibukan di kantor.
Silakan mengutip/copy semua tulisan yang anda butuhkan.
Mengenai pemboman Inggris diSurabaya, tulisan lengkap dapat dilihat di:
http://10november1945.blogspot.com
Salam,
Batara R. Hutagalung

efendy naibaho said...

yth pak batara

mohon ijin utk dishare di www.formatnews.com tks

efendy naibaho
pemimpin redaksi


0812 6419 1119

efendy naibaho said...

yth pak batara

mohon ijin utk dishare di www.formatnews.com tks

efendy naibaho
pemimpin redaksi


0812 6419 1119

batarahutagalung said...

Sdr. Efendy,
terima kasih atas perhatian anda.
Silakan dicopy tulisan tersebut.
Juga seandainya berminat dengan tulisan-tulisan lain, silakan dicopy.
Salam,

Batara RH

Unknown said...

mohon izin copas untuk bahan penulisan sejarah ya bang.. tulisan yang penting dan sarat akan pengetahuan sejarah..

Unknown said...

izin copy ya bang.. untuk bahan penulisan sejarah.. sungguh artikel yang sarat akan pengetahuan sejarah..!!

Auyusuke Minako said...

bagus ^^

batarahutagalung said...

@ ferdee soulhood.
Maaf baru jawab.
Silakan copy tulisan yang anda perlukan.
Salam,
Batara RH

stgrob3 said...

ijin copas and share gan

stgrob3 said...

mohon ijin copy and share

Unknown said...

artikelnya saya ijin ngopy ya

Unknown said...

artikelnya saya ijin ngopy

batarahutagalung said...

Silakan copy.
Salam