Friday, September 20, 2013

Press Release KUKB, 12 September 2013



KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA
(KUKB)
PRESS RELEASE
12 September 2013

Sehubungan dengan pemberian kompensasi dan permintaan maaf pemerintah Belanda kepada beberapa keluarga korban pembantaian di Rawagede dan korban kekejaman Westerling di Sulawesi Selatan serta di  Sulawesi Barat, kami sampaikan sebagai berikut:

1.    Hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan RI adalah 27.12.1949, yaitu ketika penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Ris dibubarkan pada 16 Agustus 1950 dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI.

2.    Pemerintah Belanda juga tidak mau bertanggungjawab atas kehancuran dan korban jiwa yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda,yang awalnya dibantu oleh tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia. Diperkirakan, korban tewas antara tahun 1945 – 1950 mencapai satu juta jiwa, sebagian terbesar adalah penduduk sipil yang dibantai tanpa proses hukum apapun.

3.    Sebagai konsekuensi logis dari pengakuan de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, maka rakyat Indonesia menuntut PAMPASAN PERANG kepada pemerintah Belanda, sebagaimana pemerintah Jepang dituntut oleh Negara-negara yang menjadi korban agresi militer Jepang antara 1942 – 1945. Pemerintah Jepang telah membayar pampasan perang kepada Indonesia.

4.    Pada bulan September 2009, Sembilan orang keluarga korban pembantaian di Rawagede difasilitasi oleh Yayasan KUKB yang berkedudukan di Belanda, mengajukan gugatan ke pengadilan sipil di Den Haag, Belanda. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda telah membantai 431 penduduk desa di Rawagede tanpa proses hukum. Pada 14 September 2011 pengadilan sipil di Belanda menjatuhkan vonis, di mana dinyatakan bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus memberikan kompensasi kepada para penggugat.

5.    Sebagai dasar pertimbangan (butir dua) dinyatakan, bahwa Indonesia sampai tahun 1949 adalah wilayah Belanda dengan nama Nederlands Indie. Hal ini sejalan dengan sikap pemerintah Belanda, yang menganggap bahwa Indonesia adalah wilayah Belanda sampai akhir tahun 1949. Dengan demikian, yang mengajukan gugatan adalah warga Belanda yang menggugat pemerintahnya.

6.    Oleh karena itu, ketika Duta Besar Belanda dalam acara peringatan di Monumen Rawagede pada 9 Desember 2011 menyampaikan permintaan maaf, maka dia tidak meminta maaf kepada rakyat Indonesia, melainkan kepada rakyat Belanda.  Demikian juga yang menerima kompensasi adalah warga Belanda, yang mendapat tindak kekerasan dari negaranya.

7.    Pemberian kompensasi yang hanya diberikan kepada 9 orang menjadi masalah besar di Rawagede, dan menimbulkan ketidak-adilan sosial. Keluarga korban yang lain mempertanyakan mengapa kompensasi hanya diberikan kepada 9 orang, padahal jumlah korban adalah 431 orang. Akhirnya para penerima kompensasi harus menyerahkan 50% untuk dibagikan kepada keluarga korban yang lain.

8.    Yayasan KUKB adalah kelanjutan dari KUKB Cabang Belanda, yang didirikan di Belanda oleh pimpinan KUKB Pusat pada 18 Desember 2005. KUKB Cabang Belanda ditugaskan untuk mencari pengacara yang mewakili KUKB menuntut pemerintah Belanda untuk:
          I.    Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
        II.    Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

9.    Pengakuan de jure terhadap proklamasi 17 Agustus 1945 adalah masalah Kedulatan negara dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Tuntutan pampasan perang adalah untuk memberikan keadilan kepada seluruh keluarga korban agresi militer Belanda.

10. Langkah Yayasan KUKB yang berkedudukan di Belanda telah menyimpang dari garis perjuangan KUKB Pusat yang berkedudukan di Jakarta. KUKB Pusat telah menegaskan kepada Yayasan KUKB melalui perwakilannya yang ada di Jakarta, untuk tidak lagi mengajukan gugatan dengan menggunakan hukum Belanda. Berdasarkan yurisprudensi yang juga dianut oleh Belanda, gugatan untuk kasus serupa, dipastikan akan menang, sebagaimana terbukti untuk 10 janda korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Namun yang menjadi masalah yang sangat mendasar adalah, apabila para peggugat menggunakan hukum Belanda ini, maka dengan demikian para penggugat mengakui, bahwa mereka adalah warga Belanda dan mengakui bahwa Indonesia sampai tahun 1949 adalah wilayah Belanda. Hal ini sangat bertentangan dengan tuntutan utama KUKB Pusat.

11. Anggapan pemerintah Belada bahwa para korban Westerling adalah warga Belanda, merupakan penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia dan pelanggaran terhadap kedaulatan Negara Republik Indonesia, karena menyatakan bahwa rakyat Indonesia adalah warga Belanda.

12. Pemberian kompensasi hanya untuk beberapa orang janda saja, menimbulkan ketidak-adilan sosial, karena jumlah korban yang sangat besar. Selain itu, jumlah kompensasi untuk penderitaan sejak tahun 1946/1947 juga sangat kecil, karena apabila dihitung per-bulan, maka jumlahnya hanya sekitar Rp. 300 ribu. Tentu tidak sepadan untuk penderitaan selama lebih dari 67 tahun. 

13. KUKB Pusat telah menegaskan, bahwa KUKB Pusat tidak menuntut kompensasi untuk perorangan, karena setelah lebih dari 60 tahun sangat sulit untuk dapat dengan tepat membuktikan, siapa-siapa saja atau ahli warisnya yang berhak menerima kompensasi. KUKB menuntut pemerintah Belanda untuk mendirikan sarana dan prasarana pendidikan serta kesehatan, di tempat-tempat di mana tentara Belanda telah melakukan pembantaian massal. Dengan demikian, fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh seluruh keturunan korban di seluruh Indonesia, dan bukan hanya untuk seratus atau dua ratus orang saja. Selain itu,korban agresi militer Belanda juga bukan hanya di Jawa Barat dan Sulawesi saja, melainkan di seluruh Indonesia.

14. Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang berkedudukan di Jakarta, tetap pada tujuan semula, yaitu membela martabat bangsa dan memperjuangkan keadilan untuk seluruh keluarga korban agresi militer Belanda di seluruh Indonesia, bukan hanya di Jawa Barat atau Sulawesi saja, karena apabila hanya memperjuangkan kompensasi untuk seratus atau duaratus orang saja, padahal korban di seluruh Indonesia berjumlah ratusan ribu jiwa, akan menciptakan ketidak-adilan sosial bagi keluarga korban lain.

15. Oleh karena itu Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menolak pemberian kompensasi oleh pemerintah Belanda kepada “warganya” dan telah memecat Jeffry Pondaag dari keanggotaan KUKB, karena telah mengkhianati perjuangan mempertahankan kedaulatan  nergara dan membela martabat bangsa..

16. KUKB Pusat di Jakarta menyerukan kepada Yayasan KUKB di Belanda untuk tidak melanjutkan mengajukan gugatan dengan menggunakan hukum Belanda, karena ini merupakan pengkhianatan terhadap para pejuang yang gugur dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

17.  KUKB Pusat di Jakarta menyerukan kepada Yayasan KUKB di Belanda untuk kembali ke garis perjuangan, yaitu MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NEGARA, MEMBELA MARTABAT BANGSA dan MEMPERJUANGKAN KEADILAN untuk seluruh korban agresi Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.



KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA (KUKB)

    Ttd.

Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Umum






No comments: