Menelusuri Akar Permasalahan Antara Republik Indonesia
Dengan Kerajaan Belanda
PERANG INDONESIA VS BELANDA
BELUM BERAKHIR
Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)
Perang Asimetris (Asymmetric Warfare) juga disebut sebagai Konflik Asimetris (Asymmetric Conflict). Salahsatu instrumen yang digunakan dalam konflik ini adalah Perang Neokortikal (Neocortical Warfare).
Mengenai Neocortical warfare, Richard Szafranski
menulis a.l.:
“The target of all human conflict, the
battleground of all conflict resolution, is the human mind. In reframing all conflict as one form of warfare or
another, neocortical warfare rejects the notion that warfare is an aberration.
It accepts that conflict will never
end and that we must invest resources to win its endless engagements.”
(Terjemahannya: Target dari semua konflik manusia, medan pertempuran dari semua resolusi konflik, adalah pikiran manusia. Dalam membingkai ulang semua konflik sebagai satu bentuk peperangan atau lainnya, peperangan neokortikal menolak gagasan bahwa peperangan adalah penyimpangan. Ia menerima bahwa konflik tidak akan pernah berakhir dan bahwa kita harus menginvestasikan segala sumber daya untuk memenangkan keterlibatannya yang tanpa akhir).
Pengantar
Hingga sekarang, saat artikel ini ditulis bulan Mei 2021, pemerintah Kerajaan Belanda tetap tidak mau mengakui de Jure kemedekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Untuk pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “memindahkan” kedaulatan dari pemerintah Nederlands Indie (India Belanda ke pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS terdiri dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom. Republik Indonesia merupakan satu dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom tersebut. 15 Negara Bagian dan Daerah Otonom kemudian bergabung dengan Republik Indonesia.
Pada 16 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Republik Indonesia terdaftar sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan September 1950 sebagai Republik Indonesia (RI), bukan sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) yang sudah dibubarkan pada 16 Agustus 1950.
Pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda Ben Bot (waktu itu) di Jakarta menyampaikan secara lisan, bahwa mulai saat itu (tahun 2005) pemerintah Belanda menerima proklamasi kemerdekaan Indonesia secara moral dan politis. Sehari sebelum ke Indonesia, tanggal 15 Agustus 2005 di Belanda, dia mengatakan, bahwa dia akan menyampaikan ke Jakarta, bahwa pemerintah Belanda akan menerima de facto proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Artinya, setelah 60 tahun berdirinya Republik Indonesia, pemerintah Belanda menerima de facto keberadaan Republik Indonesia, namun tetap tidak mau mengakui de jure.
Memang untuk pemerintah Belanda sangat dilematis.
Apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka dengan demikian, pemerintah Belanda terpaksa mengakui, bahwa yang dinamakan “aksi polisional” tahun 1947 dan 1948 adalah agresi militer terhadap negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Akibatnya sangat fatal untuk Belanda, yaitu:
1. Pemerintah Belanda harus membayar pampasan perang (war reparation), seperrti yang telah dilakukan oleh pemerintah Jepang kepada Republik Indonesia.
2. Tentara Belanda menjadi penjahat perang (war criminals). Oleh karena itu yang paling gigih menentang pengakuan de jure adalah para veteran Belanda yang pernah ikut dalam agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949.
Naum di lain pihak, dengan tidak mengakui de jura Republik Indonesia, pemerintah Belanda telah melanggar etika dan norma internasional, yaitu apabila dua negara menjalin hubungan diplomatik, keduanya harus saling mengakui dan menghargai. Dengan sikap ini, pemerintah Belanda merendahkan negara Republik Indonesia yang dianggap tidak setara, juga melecehkan martabat bangsa Indonesia.
Alasan pemerintah Belanda melancarkan “aksi polisional” adalah untuk membasmi perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Dengan tetap tidak mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, berarti untuk pemerintah Bellanda, para pejuang Indonesia yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.
Sampai saat ini, kalangan konservatif dan sebagian veteran Belanda masih menyimpan dendam terhadap Republik Indonesia. Dengan pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, hilang sumber kekayaan Belanda yang selama ratusan tahun menikmati kekayaan hasil penjajahan dan perampokan kekayaan Nusantara.
Tentara Belanda yang dibantu tiga divisi tentara Inggris, dua divisi tentara Australia, pasukan KNIL dan pasukan bangsa Cina Pao (Po) An Tui, tidak berhasil mengalahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mendapat dukungan pernuh dari rakyat Indonesia.
Latar Belakang Sejarah
Kalangan intelijen dari Angkatan ’45 sering mengingatkan, bahwa perang antara Republik Indonesia melawan Kerajaan Belanda dan sekutunya dalam Perang Dunia II, ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command), belum berakhir. Perang secara militer memang telah berakhir dengan terselenggaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Namun kalangan konservatif dan sebagian veteran Belanda masih terus melancarkan gerakan bawah tanah untuk menjatuhkan pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil KMB. Setelah RIS dibubarkan bulan Agustus 1950, mereka tetap melakukan berbagai upaya untuk memecah-belah NKRI, a.l. melalui pemberontakan RMS, Pemberontakan Andi Azis, mantan tentara KNIL, dll. Menurut sumber dari Belanda, Kudeta APRA tanggal 23 Januari 1950 adalah konspirasi Pangeran Bernard suami dari Ratu Belanda Juliana, Sultan Hamid II dari Pontianak dan Raymond PP Westerling. Sultan Hamid II pernah menjadi ajudan Ratu Juliana, dengan pangkat Mayor Jenderal. Westerling pernah menjadi staf dari Pangeran Bernard. Pangkalnya adalah keinginan Pangeran Bernard menjadi “Wakil Raja/Raja Muda” (Viceroy) di Indonesia, seperti Lord Mountbatten, Lord Minto dll., yang pernah menjadi Viceroy Kerajaan Inggris di India. Sultan Hamid II ditangkap dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Dengan bantuan petinggi-petinggi militer Belanda yang ada di Indonesia, Westerling diselamatkan ke Singapura.
Kelompok konservatif Belanda dan para mantan perwira KNIL juga melakukan gerakan bawah tanah melawan Republik Indonesia, dan bersekutu dengan pribumi serta para mantan pasukan Cina Pao (Po) An Tui. Bangsa Cina sejak ratusan tahun menjadi mitra Belanda dalam segala bidang di masa kolonialisme, termasuk dalam perdagangan budak dan perdagangan candu (opium). Kelompok ini melakukan subversi dan gerakan-gerakan untuk men-destabilisasi Republik Indonesia, baik di bidang ekonomi, politik, militer , sosial, dll. Gerakan-gerakan bawah tanah ini a.l.
Ø Jaringan Van der Plas (Van der Plas Connection). Charles Olke van der Plas adalah Gubernur Jawa Timur di masa pemerintahan Nederlands-Indië, (India Belanda). Dia fasih berbahasa Arab, seperti Snouck Huurgronje. Van der Plas Connection pertama kali dibentuk bulan Januari 1942, untuk melakukan gerakan bawah tanah melawan pendudukan tentara Jepang. Personalianya adalah pribumi dan bangsa Cina yang pro Belanda. Aktivitas jaringan ini juga dilanjutkan setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945.
Ø Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC), yaitu Corp Relawan Bawah Tanah di mana Sultan Hamid II terlibat lagi, setelah dibebaskan dari penjara karena peristiwa Kudeta APRA. Dia ditangkap lagi tahun 1962. Tahun 1966 dia dibebaskan setelah peristiwa G30S, atas intervensi Belanda,
Ø De Nederlands Indische Guerilla Organisatie (NIGO), yaitu Organisasi Gerilya India-Belanda. Pimpinan NIGO adalah Leon Jungschläger dan Henry Schmidt. Jungschläger adalah mantan Kepala NEFIS (Netherlands Forces Intelligence Service - Dinas Intelijen Militer Belanda), sedangkan Schmidt adalah mantan perwira KNIL. Awal Januari 1954 mereka berdua ditangkap. Tanggal 19 April Jungschläger meninggal karena pendarahan di otak ketika masih dalam tahanan. Bulan September 1954 Schmidt dimajukan ke pengadilan di Jakarta dan kemudian dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Seperti biasanya, di Belanda peristiwa NIGO diputar-balik dan Indonesia dituduh telah merekayasa kasus ini atas perintah Presiden Sukarno. Di media-media di Belanda, sidang Henry Schmidt diberitakan sebagai “Negara Belanda diadili di Indonesia.” Hal ini tentu lebih memanaskan suasana di Belanda. Hubungan antara Indonesia dengan Belanda memang sudah panas, sehubungan dengan masalah Irian Barat, Kudeta APRA Westerling yang gagal, pemberontakan RMS di mana Belanda dituding sebagai dalang di belakang layar, dan hasil KMB yang sangat tidak memuaskan pihak Indonesia, terutama kalangan TNI, dan nasionalis pendukung NKRI, yang menolak bentuk negara federal ciptaan Belanda.
Semua gerakan bawah tanah orang-orang Belanda dan kaki-tangannya di Indonesia berhasil diungkap oleh intelijen Republik Indonesia.
Tahun 1956 pemerintah Indonesia secara sepihak membatalkan seluruh hasil KMB dan mulai melancarkan konfrontasi terhadap Belanda dalam rangka merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Mulai tahun 1957, pemerintah Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah atau milik swasta Belanda.
Di tahun 1960-an, orang Belanda yang paling menonjol dalam menjatuhkan Sukarno adalah Pater Josephus (Joop) Gerardus Beek, seorang pendeta Katholik dari Ordo Yesuit, yang sangat anti komunis. Dia juga agen CIA (Central Intelligence Agency), dinas intelijen Amerika Serikat. Kegiatan Pater Beek yang terkenal adalah Kasebul (Kaderisasi Sebulan), untuk merekrut pemuda-pemuda di Indonesia, terutama dari kalangan muda bangsa Cina beragama Kristen Katholik. Anak-anak didik Pater Beek a.l. Harry Tjan Tjoen Hok (Harry Tjan Silalahi), Liem Bian Kie (Yusuf Wanandi), Liem Bian Khoen (Sofyan Wanandi), Tan Yueh Ming (Marwoto “Mingky” Hadi Soesastro). Mereka kemudian tergabung dalam lembaga CSIS (Centre for Strategic and International Studies) yang didirikan tahun 1971. Tan Yueh Ming yang cukup lama menjadi Direktur Eksekutif CSIS, mempunyai kedekatan dengan CIA dan RAND Corporation (Research and Development Corporation), lembaga Think Tank (wadah pemikir) di USA. Pater Beek kemudian menjadi penasihat Presiden Suharto dan CSIS menjadi Think Tank yang sangat berperan bukan hanya di masa pemerintahan Orde Baru, melainkan juga di era reformasi, setelah jatuhnya penguasa Orde Baru..
Direktur Eksekutif CSIS, Mari Elka Pangestu di era Presiden Susilo B. Yudhoyono menjadi Menteri Perdagangan (2004 – 2011) dan kemudian menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011 – 2014). Ayahnya Mari E. Pangestu adalah Pang Lay Kim, pengusaha yang ikut membiayai CSIS dan juga duduk di Dewan Direktur CSIS. Di era Presiden Joko Widodo, Yusuf Wanandi (Liem Bian Khoen) menjadi Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla tahun 2014 - 2019. Direktur Eksekutif CSIS, Rizal Sukma, menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris merangkap Irlandia tahun 2016 – 2020.
Di bidang media, kelompok Kristen Katholik ini juga memiliki corong, yaitu Harian Kompas, untuk menandingi corong Partai Komunis Indonesia (PKI), yaitu Harian Rakyat, yang didirikan oleh Siauw Giok Tjhan, yang juga pendiri dan Ketua BAPERKI (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Pemimpin redaksi dari Harian Rakyat adalah Njoto, Wakil Ketua II CC PKI. Harian Kompas didirikan oleh Auwyong Peng Koen (kemudian mengganti namanya menjadi Peter Kanisius Oyong), dan Jakobus Utama (Jacob Oetama) pada bulan Juni 1965. Konon dananya juga dari Belanda, berkat bantuan dari Pater Beek. Sejak semula, kelompok Kristen Katholik ini dekat dengan TNI Angkatan Darat dan politisi dari Parttai Katholik, a.l. Frans Xaverius Seda.
Pater Beek juga mempunyai jaringan internasional yang melibatkan tokoh-tokoh Katholik dari Ordo Yesuit, a.l. Bartholomew “Bob” Augustine Santamaria, politisi Australia yang waktu itu sangat berpengaruh. Santamaria adalah pendiri Democratic Labor Party (Partai Buruh Demokrat) di Australia dan juga berhubungan erat dengan dinas intelijen Australia. Orang Inggris yang juga sangat berperan dalam menggulingkan Sukarno adalah George Frank Norman Reddaway, seorang diplomat yang juga seorang spesialis dari dinas intelijen militer Inggris MI-6 (Military Intelligence Section 6). Tugas Norman Reddaway dengan berbekal dana tunai yang besar adalah, dengan segala cara menyingkirkan Sukarno. Dari hal-hal tersebut di atas, terlihat peran besar dari kalangan intelijen Belanda, Inggris, Amerika dan Australia, yaitu sekutu yang tergabung dalam ABDACOM yang dibentuk oleh tentara Sekutu bulan Januari 1942 dalam rangka menghadapi agresi militer Jepang.
Dengan begesernya haluan politik pemerintah Republik Indonesia yang sejak tahun 1965 dikenal sebagai negara anti komunis dan dekat dengan NATO, termasuk Belanda, samasekali tidak terdengar lagi berita-berita mengenai sepak terjang para intel asing di Indonesia. Juga tidak diketahui apakah masih ada file-file/dokumen-dokumen mengenai peran intel asing di Republik Indonesia, terutama intel Belanda.
Selain gerakan-gerakan bawah tanah, pemerintah Belanda dan sekutunya di Perang Dunia II tidak henti-hentinya menyerang Indonesia di segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dll., untuk menggulingkan Presiden Sukarno, yang sangat dibenci oleh Belanda. Tahun 1966 tingkat inflasi di Indonesia mencapai 650%. Setelah Presiden Sukarno digulingkan tahun 1967, sampai berakhirnya “Perang Dingin” (Cold war) antara blok Komunis dan blok anti Komunis tahun 1991, serangan-serangan terhadap Indonesia yang waktu itu juga anti komunis, “diistirahatkan” dan mulai dihidupkan lagi tahun 1991.
Indonesia “Di Bawah Kendali Belanda/NATO”
Setelah berhasil menyingkirkan Sukarno, “musuh utama” Belanda/NATO (North Atlantic Treaty Organization), Belanda dan negara - negara NATO membentuk konsorsium internasional untuk “membantu” memulihkan perekonomian Indonesia, yang telah mereka ikut hancurkan dalam rangka menyingkirkan Sukarno dan kekuatan komunis/anti barat di Indonesia. Tahun 1967 didirikan konsorsium yang dinamakan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Anggota IGGI adalah Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Belgia, Jerman, Italia, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta OECD. Pertemuan pertama IGGI dilakukan pada 20 Februari 1967 di Amsterdam, Belanda.
. Ketua IGGI adalah pemerintah Belanda. Ini satu-satunya konsorsium keuangan internasional yang melibatkan Bank dunia, namun tidak dipimpin oleh Bank Dunia, melainkan oleh pemerintah dari satu negara. Dengan utang yang cukup besar yang ditinggalkan oleh Orde Lama pada waktu itu, dan diperlukannya dana besar untuk memulihkan perekonomian yang hancur serta untuk pembangunan, membuat Indonesia untuk waktu yang sangat lama, lebih dari 30 tahun, sangat bergantung pada pinjaman dana dari IGGI. Hal ini membuat Indonesia menjadi negara yang diatur oleh negara-negara donor, terutama oleh Belanda, sebagai Ketua IGGI. Demikian juga dengan alutsista Indonesia, yang sebagian terbesar berasal dari negara-negarayang tergabung dalam pakta pertahanan NATO, terutama Amerika Serikat. Pinjaman dana yang sangat besar ini kemudian terbukti adalah jebakan utang (debt trap) yang membuat Indonesia didikte untuk menuruti kemauan negara-negara donor, terutama Amerika dan Belanda. Ketergantungan alutsista militer Indonesia dari negara-negara NATO juga berakibat fatal. Tahun 1991, setelah terjadi insiden Santa Cruz dan kemudian embargo senjata yang dilakukan oleh negara-negara NATO terhadap Indonesia, membuat kekuatan militer Indonesia waktu itu menjadi sangat lemah, karena tidak adanya lagi pasokan suku cadang untuk alutsista yang rusak atau tidak berfungsi.
“Bantuan” yang sebagian besar adalah pinjaman, justru sangat menguntungkan perusahaan-perusahaan negara-negara yang memberikan pinjaman. Barang-barang yang dibutuhkan oleh Indonesia, harus dibeli dari negara-negara pemberi pinjaman. Juga diangkut oleh kapal-kapal dari perusahaan-perusahaan di negara mereka. Banyak barang yang dibeli, sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia. Kementerian-kementerian “dipaksakan” untuk mengajukan pinjaman, yang sebenarnya tidak diperlukan oleh kementerian tersebut, misalnya Kementerian Kehutanan. Di tahun 1980-an, setelah ekonomi Indonesia membaik, Dana Reboisasi di Kementerian Kehutanan sangat berlimpah, sehingga sebenarnya Kementerian Kehutanan tidak memerlukan pinjaman dari luar. Bahkan Dana Reboisasi dimanfaatkan sebagai pinjaman oleh keluarga dan kroni Presiden Suharto. Jumlah pinjaman yang “dipinjam” dari Kementerian Kehutanan mencapai ratusan milyar Rupiah. Jumlah yang sangat besar pada akhir tahun 1980-an/awal tahun 1990-an.
Di era ini, korupsi sangat marak dan sebenarnya diketahui oleh negara-negara dan lembaga-lembaga donor, namun sengaja dibiarkan. Dengan para pemimpin yang korup, Indonesia lebih mudah dikendalikan dan didikte. Hal-hal tersebut di atas telah diberitakan tahun 1970-an di berbagai media internasional, a.l. mingguan Jerman Barat ternama, Der Spiegel. Tahun 2004 terbit buku yang ditulis oleh John Perkins dengan judul “Confessions of an Economic Hitman.” Dalam buku ini Perkins mengungkap, bahwa dia adalah salahseorang yang ditugaskan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk membujuk pejabat-pejabat di negara-negara peminjam dana, termasuk Indonesia, agar mengajukan pinjaman dana untuk membangun infrastruktur yang sebenarnya bukan merupakan prioritas pada waktu itu.
Di awal pemerintahan Suharto, ada dua kelompok yang sangat menonjol perannya, yaitu tim ekonomi lulusan Universitas California di kota Berkeley, Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Wijoyo Nitisastro. Tahun 1970 seorang penulis Amerika David Ransom, menulis artikel di majalah Ramparts, di mana dia menyatakan kelompok lulusan Univesitas California, Berrkeley sebagai “The Berkeley Mafia” (Mafia Berkeley). Nama “Mafia” merujuk pada organisasi kriminal di Italia yang sangat terkenal. David Ransom menghubungkan tim ekonomi yang dipimpin oleh Wijoyo Nitisastro sebagai proyek CIA, dinas intelijen Amerika Serikat, untuk menggulingkan Sukarno dan melenyapkan pengaruh komunis dari Indonesia. Sejak itu, istilah “The Berkeley Mafia” menjadi sangat populer.
Kelompok kedua adalah CSIS di mana pimpinannya adalah “anak-anak didik” Pater Beek, orang Belanda yang juga agen CIA. Di era orde baru, kedua kelompok inilah yang menentukan arah politik dan kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi Indonesia. Sangat jelas terlihat bahwa kedua kelompok ini mengutamakan kepentingan negara-negara donor, terutama negara-nagar yang tergabung dalam NATO, dan para pengusaha yang menjadi sponsor CSIS. Di era Suharto ini para pengusaha tersebut menjadi konglomerat-konglomerat raksasa yang menguasai perekonomian Indonesia. Dengan dana yang sangat besar, tentu tidak sulit mempengaruhi politik dan seluruh sendi kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia. Namun di balik itu semua, pusat kendali kedua kelompok tersebut ada di Belanda dan di Amerika Serikat. Kedua negara tersebut tergabung dalam pakta pertahanan NATO.
Intervensi negara-negara donor, terutama Belanda, tidak terbatas pada bidang politik dan ekonomi, melainkan juga di bidang sosial, budaya dan kesejarahan. Tahun 1972 telah selesai dibuat film dengan judul “Romusha,” yang mengisahkan kekejaman zaman pendudukan tentara Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda, yang kini menjadi Republik Indonesia. Atas intervensi dari pemerintah Jepang, film tesebut dilarang ditayangkan dengan alasan dapat menggangu hubungan baik dengan Jepang. Pemerintah Jepang mengganti biaya produksi film tersebut. Film kedua yang dilarang diputar di Indonesia atas intervensi pemerintah Jepang adalah “The Emperors’s Naked Army Marsches On” (Yuki Yukite Shingun). Film yang disutradarai oleh Kazuo Hara dan direlease tahun 1987 ditayangkan di Jepang dan di seluruh dunia, kecuali di Indonesia. Kazuo Hara mengikuti perjalanan Kenzo Okuzaki, seorantg veteran tentara Jepang yang waktu itu berusia 62 tahun, yang ingin mengetahui penyebab kematian beberapa prajurit Jepang di Papua, setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu bulan Agustus tahun 1945 . Kenzo Okuzaki mengungkap kanibalisme tentara Jepang selama di internir di Papua. Karena kekurangan makan, mereka membunuh pribumi di Papua dan memakan dagingnya. Film ini mendapat penghargaan dari beberapa negara, a.l. di Jerman, Belanda dan di Jepang sendiri.
Di masa orde baru, dalam penulisan sejarah di buku-buku sekolah di Indonesia, sangat sedikit ditulis mengenai kekejaman-kekejaman di masa kolonialisme Belanda sampai tahun 1942, dan di masa agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Demikian juga kekejaman – kekejaman di masa pendudukan tentara Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda antara tahun 1942 – 1945, sangat minim ditulis.
Pada 25 April 1974 terjadi revolusi di Portugal, yang juga dinamakan “revolusi bunga anyelier,” di mana diktator Marcello Caetano digulingkan. Kemudian Portugal memberi kemerdekaan kepada semua jajahannya, termasuk Timor Timur. Selama penjajahan Portugal, di era Perang Dingin gerakan-gerakan kemerdekaan di jajahan Portugal, termasuk Timor Timur, mendapat dukungan dari Uni Soviet. Setelah diberi kemerdekaan, tersiar berita bahwa Uni Soviet akan membangun pangkalan militer di Timor Timur. Di era Perang Dingin, hal ini tentu sangat mengejutkan Blok NATO yang anti komunis, terutama Australia, karena Timor Timur terletak tepat di depan Australia.
Pada 6 Desember 1975 Presiden Amerika Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger menemui Presiden Suharto di Jakarta. Tanggal 7 Desember 1975, Sehari setelah mereka kembali ke Amerika, Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI) menerjunkan pasukan di Timor Timur. Langkah ini tentu mendapat kecaman dari banyak negara, kecuali negara-negara yang tergabung dalam NATO, termasuk Belanda. kunjungan Presiden Amerika Gerald Ford dan Menlunya Henry Kissinger sehari sebelum dilancarkannya serangan Indonesia terhadap Timor-Timur, merupakan sinyal/isyarat kepada dunia internasional, terutama kepada negara-negara Blok Barat, bahwa Amerika Serikat “memberi lampu hijau” untuk serangan tersebut.
Dilaporkan oleh berbagai media internasional, bahwa selama masa pendudukan oleh Indonesia, terjadi sangat banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Indonesia di Timor Timur. Namun selama Perang Dingin berlangsung, negara-negara NATO tidak pernah mengecam pemerintah Indonesia. Bahkan pemerintah Belanda berusaha meredam suara-suara organisasi-organisasi di Belanda yang mengecam pemerintah Indonesia. Bantuan dana dan senjata terus mengalir ke Indonesia. Bahkan menurut Jan Pronk, Menteri Kerjasama Belanda yang pernah menjadi Ketua IGGI, Indonesia mendapat bantuan dana lebih dari yang diminta.
Setelah peristiwa penembakan di Santa Cruz, Dili, Timor Timur pada 12 November 1991, Belanda termasuk yang paling ngotot ingin melakukan penyelidikan mengenai tewasnya sekitar 200 orang rakyat TimTim dalam insiden tersebut. Pihak Indonesia menolak keinginan Belanda. Jan Pronk yang waktu itu adalah Ketua IGGI mengancam, bahwa IGGI tidak akan mengucurkan pinjaman dana untuk Indonesia, sebelum mengizinkan Belanda melakukan penyelidikan di TimTim. Ancaman ini membuat Presiden Suharto marah, dan memerintahkan pembubaran IGGI. Pada bulan Maret 1992 IGGI resmi dibubarkan.
Negara-negara donor lain yang mempunyai kepentingan ekonomi di Indonesia masih akan melanjutkan pinjaman dana untuk Indonesia. Pada bulan Juli 1992 didirikan konsorsium keuangan baru yang dinamakan Consultative Group on Indonesia (CGI). Angota-anggota CGI adalah bekas anggota IGGI, kecuali Belanda. Langkah ini juga sekaligus mengurangi tekanan dari Belanda terhadap Indonesia. Tahun 1997/1998 terjadi krisis ekonomi/moneter (krismon) yang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Utang Indonesia yang sangat besar memberi kekuatan kepada lembaga keuangan IMF (International Monetary Fund) untuk menekan pemerintah Indonesia agar menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi sesuai dengan yang diinginkan oleh negara-negara donor.
IMF adalah “saudara kembar” dari World Bank (Bank Dunia), yang sama-sama dibentuk dalam Bretton Woods Conference bulan Juli 1944 di New Hampshire, Amerika Serikat. Krisis ini juga salahsatu penyebab lengsernya penguasa orde baru, yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Pada tahun 2007, para pakar ekonomi Indonesia menilai, bahwa Indonesia tidak lagi membutuhkan pinjaman dana dari negara lain. Tahun 2007 CGI dibubarkan oleh Presiden Susilo B. Yudhoyono.
Indonesia di Era Perang Asimetris
Sejak berakhirnya Perang Dingin tahun 1991, dunia memasuki era Perang Asimetris (Asymmetric warfare), di mana serangan-serangan tidak hanya ditujukan ke sasaran-sasaran militer, melainkan ke seluruh sendi kehidupan masyarakat di negara yang menjadi target. Tujuannya tetap sama, yaitu menghancurkan negara yang telah ditarget. Perang Asimetris awalnya dikenal untuk melawan terorisme yang dilancarkan oleh negara-negara yang dari segi militer dan persenjataannya lebih lemah. Perang Asimetris juga disebut sebagai “Konflik Asimetris” (Asymmetric conflict). Memang tidak ada definisi yang baku mengenai Perang Asimetris. Di berbagai negara, definisi mengenai Perang Asimetris berbeda-beda. Namun pada dasarnya, Perang Asimetris dikenal juga sebagai “Perang Nir-Militer/Non-Militer.”
Strategi dan taktik yang digunakan adalah cara-cara lama yang telah terbukti ampuh, yaitu politik divide et impera atau politik adu-domba untuk kemudian menguasai; Psychological warfare (Perang Psikologis); Information Warfare (Perang informasi), yang sebenarnya merupakan perang menyebarluaskan disinformasi untuk mengacaukan opini publik di negara target; Neocortical warfare (Perang untuk mempengaruhi pikiran/persepsi/otak). Hal-hal ini termasuk untuk mempengaruhi opini dunia internasional terhadap negara yang menjadi target.
Seperti telah ditulis di atas, setelah Perang Dingin berakhir, negara-negara Blok Barat/NATO mulai menyerang Indonesia dengan berbagai isu pelanggaran HAM. Yang paling gencar ditonjolkan waktu itu adalah pelanggaran-pelanggaran HAM di Timor Timur.
Motiv Belanda: Dendam Sejarah
Untuk setiap tindakan baik individu, kelompok manusia maupun negara, selalu ada motiv atau latar belakang dan tujuannya. Latar belakang tindakan Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia adalah “dendam sejarah.” Dalam sejarah Belanda, kurun waktu antara tahun 1942 – 1962 adalah fase yang paling menyakitkan untuk bengsa Belanda.
Jepang melancarkan agresi militernya mulai tanggal 7 Desember 1941, dengan menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Setelah itu, Jepang menyerang negara-negara di seluruh Asia Timur dan Asia tenggara, yang waktu itu sebagian besar adalah jajahan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Satu-persatu negara-negara tersebut dikalahkan oleh tentara Jepang, dan terakhir, pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mulai menyerbu Pulau Jawa. Pada 9 Maret 1942 (ada sumber yang menulis tanggal 8 Maret 1942), pemerintah Nederlands Indië (India Belanda) menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. Semua orang Eropa (kecuali dari Swiss yang netral dalam Perang Dunia II)) Amerika dan Australia, baik militer maupun sipil, dikurung dalam kamp-kamp interniran.
Kekalahan terhadap Jepang ini sangat menyakitkan dan juga memalukan, karena citra yang dibangun oleh bangsa-bangsa Eropa terhadap pribumi jajahannya selama ratusan tahun adalah, ras kulit putih tidak terkalahkan. Kekalahan ras kulit putih di Asia sebenarnya terjadi pertama kali tahun 1905, di mana Rusia dikalahkan oleh Jepang. Dalam perang memperebutkan hegemoni atas Korea dan Manchuria, timbul perang tahun 1904 yang dimenangkan oleh Jepang tahun 1905. Orang-orang Belanda yang beberapa bulan sebelumnya adalah tuan di wilyaha jajahannya, dengan kehidupan mewah di atas penderitaan puluhahn juta pribumi jajahannya, harus menjalani kehidupan yang penuh sengsara selama tinggal di kamp-kamp interniran Jepang. Mereka mengalami siksaan dan kelaparan. Penderitaan yang berlangsung selama 3,5 tahun baru berakhir bulan Agustus 1945.
Namun kegembiraan bangsa Belanda hanya berlangsung selama beberapa hari. Setelah Jepang menyatakan menyerah kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945, orang-orang Belanda mendengar, bahwa bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaan dan mendirikan negara Republik Indonesia. Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 tersiar di Belanda, timbul kepanikan di kalangan konservativ terutama para pengusaha dan orang-orang kaya yang memiliki perkebunan, pertambangan dll. di Indonesia. Mereka masih memimpikan akan kembali ke bekas jajahannya dan kembali berkuasa. Di Belanda muncul slogan “Indië verloren, rampspoed geboren,” artinya, “kehilangan India, timbul bencana.” Untuk Belanda, wilayah jajahan dan penduduknya di Asia tenggara, hanya dinamakan sebagai ‘India’ (Indië). Belanda yang hancur, baik infra struktur, maupun perekonomiannya serta angkatan perangnya, tentu memerlukan dana besar untuk membangun kembali.
Di abad 19, kontribusi dari wilayah jajahannya, Nederlands Indië (India Belanda) untuk APBN Belanda mencapai 12%. Di abad 20, sampai pecah Perang Dunia II tanggal 1 September 1939, kontribusi dari Nederlands Indië untuk APBN Belanda masih sekitar 10%. Akibat perang di Eropa yang berlangsung sampai bulan Mei 1945, Dengan lepasnya wilayah jajahan yang selama ratusan tahun membuat negara sekecil Belanda menjadi salahsatu negara terkaya di dunia, bukan hanya kontribusi untuk APBN, melainkan juga kekayaan yang dimiliki orang-orang Belanda di Indonesia, seperti perkebunan, pertambangan, dll., hilang dalam sekejap dengan kemerdekaan Indonesia.
Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia (sampai sekarang, tahun 2021) dan masih tetap menganggap bahwa Indonesia adalah “provinsi seberang laut” Belanda. Dengan bantuan sekutunya di Perang Dunia II ABACOM, Belanda berhasil masuk ke Republik Indonesia mulai bulan September 1945. Dalam perjanjian Civil Affairs Agreement (CAA) yang ditandatangani di Chequers, Inggris, pada 24 Agustus 1945 antara pemerintah Inggris dan pemerintah Belanda, Inggris menyatakan kesediaannya membantu Belanda memperoleh kembali bekas jajahannya, dengan kekuatan militer. Inggris mengerahkan tiga Divisi, yaitu British Indian Divisions di bawah komando Letjen Philip Christison, dibantu oleh Australia yang mengerahkan dua divisi di bawah komando Letjen Leslie “Ming the merciless” Morshead. Amerika Serikat membantu dengan perlengkapan militer (persenjataan dan seragam tentara) dan melatih para wajib militer Belanda. Berkat bantuan tentara Australia, Belanda berhasil menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dari mulai Kalimantan, Bali sampai ke Papua. Belanda kemudian membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Tiga divisi tentara Inggris membantu Belanda di Sumatera dan Jawa. Belanda kemudain melancarkan agresi militer I dan II terhadap Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera tahun 1947 dan 1948. Sejarah mencatat, bahwa dengan kekuatan militer yang sangat besar, Belanda tidak berhasil mengalahkan TNI dan menghapus Republik Indonesia dari peta politik dunia. Sampai diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB), Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia tetap eksis. Ini artinya dengan satu kalimat, Belanda gagal menguasai mengalahkan dan Indonesia.
Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, antara tanggal 23 Agustus – 2 November 1949 yang difasilitasi oleh PBB, Belanda masih dapat menikmati kemenangan, terutama keuntungan finansial. Negara yang akan dibentuk, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS), dinyatakan sebagai kelanjutan dari Nederlands-Indië (India Belanda), sehingga harus membayar utang pemerintah Nederlands Indie kepada pemerintah Induk, yaitu pemerintah Belanda, sebesar 4,5 milyar gulden. Waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $. Di dalam utang tersebut termasuk biaya untuk dua agresi militer yang dilancarkan Belanda terhadap Republik Indonesia, tahun 1947 dan 1948.
RIS terdiri dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom, di mana Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta, merupakan satu dari 16 Negara Bagian tersebut. Pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia adalah Asaat Datuk Mudo, yang sebelumnya adalah Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun usia RIS tidak panjang. Setelah RIS berdiri, satu persatu negara-negara bagian dan daerah otonom dibubarkan oleh rakyatnya atau membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia. Bulan April tahun 1950 hanya tersisa 3 negara Bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Ketiga negara bagian tesebut sepakat untuk membubarkan RIS, dan menegakkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan Pasal 1 UUD RI tahun 1945. Pada 16 Agustus 1950 Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran RIS, dan pada 17 Agustus 1950 Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945.
Dalam perundingan di KMB, masalah Irian Barat (sekarang Provinsi Papua dan Papua Barat) ditunda dan akan diserahkan kepada Republik Indonesia satu tahun setelah KMB. Nanum setelah lebih dari satu tahun, Belanda tetap ingin menguasai Provinsi Irian Barat. Indonesia mulai mengambil langkah-langkah untuk merebut Irian Barat dari kekuasaan Belanda, yang adalah anggota Pakta pertahanan NATO, yang anti komunis. Oleh karena itu, poilitik luar negeri Indonesia berubah, dan Indonesia mendapat bantuan dari lawan NATO, yaitu Uni Soviet. Indonesia mendapat bantuan, terutama alutsista dari Uni Soviet, termasuk memperoleh satu Kapal Perang yang dinamakan KRI IRIAN. Konfrontasi terhadap Belanda dimulai. Hubungan Indonesia dengan Belanda yang sudah panas, semakin memanas.
Melalui UU No. 13 Bulan Mei Tahun 1956, Pemerintah Indonesia membatalkan secara sepihak seluruh hasil KMB, dan menghentikan sisa cicilan sebesar sekitar 500 juta Gulden yang harus dibayar ke Belanda sebagai hasil keputusan KMB. Tahun 1957 Indonesia menasionalisasi semua perusahaan-perusahaan Belanda, baik milik negara maupun milik swasta Belanda. Puncak konflik Indonesia dengan Belanda terjadi pada 17 Agustus 1960, di mana Republik Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda, dan mengusir semua warga negara Belanda dari Indonesia. Langkah pemerintah indonesia ini sangat menyakitkan untuk pemerintah dan rakyat Belanda, terutama mereka yang terusir dari Indonesia. Tindakan pemerintah Indonesia juga sangat mempermalukan Belanda di dunia internasional, karena untuk pertama kalinya seluruh warga mantan penjajah diusir dari bekas jajahannya. Untuk menampung sekitar 150.000 orang Belanda dari Indonesia dalam waktu singkat, tentu sangat memberatkan perekonomian dan kehidupan sosial di Belanda. Orang-orang yang lahir di wilayah jajahan Belanda, Nederlands-Indië, apalagi yang ibunya adalah pribumi, dipandang rendah di Belanda.
Emosi bangsa Belanda semakin meluap, dan kemarahan terhadap bangsa Indonesia semakin besar. Hal-hal tersebut di atas menyebabkan luka yang sangat dalam pada bangsa Belanda, karena beberapa tahun sebelumnya, mereka adalah tuan, warga kelas satu di Nederlands-Indië, dan pribumi adalah warga kelas tiga yang disetarakkan dengan anjing. Kemudian mereka, bekas tuan, diusir seperti anjing.
Indonesia mulai melakukan penyerangan terhadap Belanda di Irian Barat tahun 1961. Dalam pertempuran laut di Laut Aru pada 15 Januari 1962, Laksamana Madya Yosaphat Sudarso gugur. Yos Sudarso berusia 36 tahun. Melihat eskalasi konflik antara Indonesia dengan Belanda, PBB ikut turun tangan. Amerika Serikat, yang walaupun sekutu Belanda dalam NATO, dalam sengketa masalah Irian Barat, Amerika Serikat lebih cenderung berpihak ke Indonesia, karena ada kepentingan Amerika Serikat di Irian Barat, yaitu tambang tembaga dan emas. Dalam sengketa memperebutkan Irian Barat, Belanda mengalami kekalahan lagi. Pada 15 Agustus 1962, dalam perjanjian New York yang difasilitasi oleh PBB, Belanda harus menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia paling lambat 1 Oktober 1962. Dengan demikian, dalam “Perang Diplomasi” dan konflik bersenjata antara Republik Indonesia melawan Kerajaan Belanda antara tahun 1956 – 1962, dimenangkan oleh Indonesia. Demikian rangkaian kekalahan-kekalahan Belanda antara tahun 1942 – 1962.
Peristiwa-peristiwa tersebut melekat dalam ingatan kolektiv bangsa Belanda. Inilah latar belakang sosial psikologis, mengapa Belanda menyimpan dendam yang sangat besar terhadap bangsa Indonesia. Mereka seolah-olah lupa semua tindakan kejam dan biadab yang mereka lakukan terhadap pribumi jajahan mereka selama ratusan tahun.
Di masa penjajahan, berlaku Undang-Undang Perbudakan di wilayah jajahan Belanda selama lebih dari 200 tahun, di mana pribumi diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Kemudian setelah UU Perbudakan dihapus, pemerintah kolonial membagi penduduk di Nederlands-Indië menjadi tiga golongan strata sosial dan hukum, yaitu kelas satu adalah bangsa-bangsa Eropa, kelas dua adalah bangsa-bangsa timur asing (Vreemde Oosterlingen) yaitu bangsa Cina dan bangsa Arab, sedangkan pribumi, pemiliki negeri, menjadi warga kelas tiga. Sampai tanggal 9 Maret 1942, di depan gedung-gedung, hotel-hotel mewah, tempat pemandian umum, dll., terpasang plakat dengan tulisan “Verboden voor Honden en Inlander,” yang artinya “Terlarang untuk anjing dan pribumi.”
“Pembalasan Dendam” Belanda
Berakhirnya Perang Dingin tahun 1991 “membuka pintu” untuk Belanda melampiaskan dendam lamanya terhadap Indonesia. Pada 11 Februari 1991 di Belanda didirikan organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang dinamakan Unrepresented Nations and Peoples Organisation (UNPO). Anggota-anggotanya adalah bangsa-bangsa yang tidak terwakili di PBB. Pada dasarnya, para anggotanya adalah gerakan-gerakan separatis di negara masing-masing, yang sebenarnya banyak yang dibentuk atau didukung oleh negara-negara bekas penjajah. Tujuan dari UNPO adalah membantu para anggotanya mencapai kemerdekaan. Dengan kata lain, tujuan UNPO adalah memecah-belah negara-negara bekas jajahan mereka, termasuk Indonesia.
Yang terdaftar sebagai anggota UNPO tahun 1991 a.l. Republik Maluku Selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua merdeka (OPM). Timor Timur menyusul menjadi anggota UNPO bulan Januari 1993. Namun justru yang berhasil dipisahkan dari NKRI adalah Timor Timur. Pemisahan Timor Timur diawali dengan pembentukan opini dunia, bahwa Negara Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat di TimTim. Pada bulan November 1991 terjadi insiden Santa Cruz di Dili, TimTim, di mana sekitar 200 penduduk TimTim tewas tertembak oleh ABRI. Peristiwa ini berbau kental suatu rekayasa. Segera seteleh peristiwa tersebut, negara-negara yang tergabung dengan pakta pertahanan NATO (North Atlantic Treaty Organization), terutama Amerika Serikat, melakukan embargo senjata terhadap Indonesia. Hal ini tentu menjadi masalah yang sangat besar untuk Indonesia, terutama dalam memasok suku cadang untuk alutsista, karena pada waktu itu sebagian terbesar alutsista Indonesia berasal dari negara-negara NATO. Amerika Serikat baru mencabut embargo senjata tahun 2005.
Di Belanda, Australia dan Inggris perstiwa G30S tahun 1965 di Indonesia, setiap tahun menjelang tanggal 30 September, mereka yang “memanaskannya.” Puncaknya adalah “Tribunal Internasional 1965” yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda tanggal 13 – 15 November 2015, yang dimotori oleh tokoh-tokoh Indonesia, yaitu Prof. DR. Todung M. Lubis dan Nursyahbani Katjasungkana, SH., mantan anggota DPR RI. Sebagai “Jaksa Penuntut Utama” dalam sidang Tribunal Internasional tersebut, Prof. Todung Lubis mendakwa Negara Indonesia sebagai Negara pelanggar HAM. “Pengadilan Tribunal internasional” menjatuhkan vonis yang lebih berat dari dakwaan “Jaksa” yaitu, Negara Indonesia telah melakukan genosida terhadap anggota PKI tahun 1965. Vonis ini kemudian disampaikan ke Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, sebagai rekomendasi. Sebenarnya vonis ini aneh, karena definisi genosida yang dinyatakan oleh PBB tahun 1945 adalah etnis cleansing, pembersihan atau pembantaian etnis, dan tidak berlaku untuk anggota partai politik. Namun “para hakim” memang sudah dengan tujuan menghakimi Negara Indonesia, menjatuhkan vonis pelanggaran HAM tertinggi yang berlaku di Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court - ICC) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Sejak resmi beroperasi pada 1 Juli 2002, selama 10 tahun pertama biaya ICC ditanggung oleh pemerintah Belanda.
Definisi mengenai genosida yang ditetapkan oleh PBB dalam konvensi PBB tahun 1948 adalah:
“Tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, ras atau agama.”
Tidak ada kata-kata mengenai pembunuhan terhadap anggota partai politik. Hal ini menunjukkan, bahwa penggagas “Tribunal Internasional 1965” bermaksud memojokkan Negara Indonesia dengan dijatuhkannya vonis bahwa negara Indonesia telah melakukan kejahatan tertinggi yang ditetapkan oleh ICC. Berarti ini setingkat dengan kejahatan yang dilakukan oleh Jerman terhadap etnis Yahudi selama Perang Dunia II. Ironisnya, tokoh-tokoh Indonesia sendiri yang mendakwa negara Republik Indonesia di “Tribunal” tersebut. Yang luar biasa di sini adalah, yang didakwa bukan pelaku-pelaku dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau institusi TNI, melainkan NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Berarti seluruh rakyat Indonesia yang didakwa oleh Prof. Todung M. Lubis telah melakukan genosida.
Pada 26 Desember 2004 terjadi bencana alam Tsunami yang menerjang Aceh dan menewaskan sekitar 200.000 penduduk Aceh.. Setelah kejadian ini, dilakukan pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pimpinan GAM di Helsinki, Finlandia. Pada 15 Agustus 2005 tercapai kesepakatan antara pemerintah RI dengan GAM, di mana GAM menghentikan gerakan untuk memisahkan diri dari NKRI, dan ikut dalam membangun kembali Aceh. Setelah kesepakatan Helsinki, GAM resmi keluar dari UNPO tahun 2005.
Namun kemudian Belanda merekrut generasi ketiga Aceh yang ada di Eropa. Generasi pertama adalah generasi Hassan Tiro, generasi kedua adalah generasi Irwandi Yusuf, yang kemudian menjadi Gubernur Aceh setelah perjanjian Helsinki. Generasi ketiga ini membentuk organisasi baru yang dinamakan Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF), atau Front Nasional Pembebasan Aceh Sumatera. ASNFL resmi menjadi anggota UNPO tahun 2015. Sangat ironis, karena selama perang untuk menaklukkan Aceh dari tahun 1873 – 1904, selama lebih dari 30 tahun, tentara Belanda membantai lebih dari 100.000 rakyat Aceh. Sekarang Belanda seolah-olah peduli dengan HAM di Aceh dan membantu gerakan separatis Aceh untuk melepaskan diri dari NKRI.
Sampai tahun 2008, hampir setiap tahun parlemen Belanda mengutus delegasi untuk melakukan “kunjungan kerja” ke Indonesia. Mereka memantau perkembangan pelaksanaan HAM di Aceh, Maluku dan Papua. Bahkan pemerintah Belanda mengirim “Duta Besar HAM” Belanda, Kees van Baar bulan Mei 2017 ke Papua Barat. Di Papua dia menanyakan kepada rakyat masalah-masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Indonesia, dan menyampaikannya ke Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Langkah ini merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Republik Indonesia dan jelas melakukan intervensi terhadap politik dalam negeri Indonesia. Hal ini juga sangat ironis, karena Belanda yang selama ratusan tahun adalah pelanggar HAM terbesar sepanjang masa, yaitu sebagai penjajah, memperjual-belikan manusia sebagai budak, pedagang narkoba (candu), melakukan genosida, dll., kini memiliki “Duta Besar HAM” untuk menilai HAM di negara bekas jajahannya.
Saat ini, Papua Barat menjadi focus Belanda, Australia dan Inggris untuk dipisahkan dari NKRI, dengan pola seperti ketika memisahkan Timor Timur, yaitu diawali dengan berbagai lontaran isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Indonesia di Papua Barat. Yang dikuatirkan adalah terjadinya rekayasa seperti yang dilakukan di Dili, Timor Timur, yaitu dengan insiden Santa Cruz tanggal 12 November 1991, yang menewaskan sekitar 200 orang penduduk TimTim. Apabila mereka berhasil merekayasa peristiwa seperti insiden Santa Cruz dengan mengorbankan rakyat Papua Barat, dapat dipastikan, bahwa dunia internasional akan sangat mengecam Indonesia seperti yang terjadi setelah insiden Santa Cruz. Selanjutan menekan pemerintah Indonesia untuk melepaskan Provinsi Papua dan Papua Barat dari NKRI.
Di zaman penjajahan Belanda sampai tahun 1942, Pemerintah kolonial memegang monopoli perdagangan narkoba (candu). Dalam pelaksanaannya, pemerintah kolonial bekerjasama dengan para pedagang bangsa Cina. Orang-orang bangsa Cina mendapat izin resmi membuka rumah-rumah madat. Dengan cara ini, penjajah merusak mental para pribumi yang menjadi pecandu. Sejak beberapa tahun belakangan terungkap, bahwa Belanda dan Cina adalah pemasok terbesar narkoba ke Indonesia. Setiap tahun, dari Belanda didatangkan jutaan butir pil ekstasi, sedangkan Cina pemasok sabu-sabu terbesar ke Indonesia, yang jumlahnya mencapai ratusan ton. Kerjasama penjajah dengan bangsa Cina di Asia tenggara telah berlangsung sejak tahun 1619.
Sejarah Adalah Sumber Informasi Dari Akar Berbagai Permasalahan Kekinian
Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons.
Demikian motto Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC ke 4 dan ke 6, “Bapak” penjajahan Belanda di Asia Tenggara:
Artinya: Jangan putus asa, jangan beri ampun musuhmu, karena Tuhan bersama kita.
Selama ratusan tahun, dalam menjalankan praktek-praktek kolonialismenya di Asia Tenggara, Belanda berpegang pada motto dari Jan Pieterszonn Coen (JPC) seperti tertulis di atas. Dengan kegigihannya dan kekejamannya, setelah sekitar 300 tahun, Belanda berhasil menguasai hampir seluruh wilayah di Asia Tenggara. Hanya di Timor Belanda berbagi dengan Portugal, dan di Kalimantan Belanda berbagi dengan Inggris. Di Papua, Belanda dan Inggris “membagi pulau tersebut menjadi dua bagian, yaitu separuh pulau untuk Belanda, dan separuhnya lagi untuk Inggris.
Sampai sekarang, oleh sebagian rakyat Belanda, terutama yang duduk di pemerintahan, era VOC diagungkan sebagai “zaman keemasan” (“de gouden eeuw”) dan JPC masih sangat dipuja. Namun setelah mengetahui kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan oleh JPC, terutama genosida di Kepulauan Banda bulan Mei 1621, sangat banyak generasi muda di Belanda menolak keberadaan patung JPC di Hoorn, kota kelahirannya. Hal ini juga menunjukkan, bahwa generasi muda Belanda baru sekarang mengetahui rincian peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa kolonialisme Belanda, baik di Asia Tenggara maupun di Afrika dan Amerika Tengah/Selatan. Juga mengenai perdagangan budak yang dilakukan oleh Belanda selama lebih dari 250 tahun.
Kalangan konservativ dan veteran Belanda masih tetap ngotot untuk “membalas dendam sejarah” akibat hilangnya kekayaan mereka dan telah dipermalukan oleh Indonesia dengan pengusiran seluruh warga Belanda dari Indonesia di tahun 1960-an. Dendam yang membara ini yang menjadi motivasi kelompok ini untuk tetap melanjutkan upaya menghancurkan Republik Indonesia, termasuk dengan metode dan pola lama, yaitu politik Divide et impoera. Dari pengalaman di masa penjajahan mereka melihat, ketika di Asia Tenggara kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan belum/tidak bersatu, maka dapat dengan mudah satu-persatu dikalahkan dan dikuasai. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Belanda, Inggris dan Australia untuk memojokkan Indonesia di dunia internasional dengan isu pelanggaran HAM dan untuk memecah-belah NKRI, dilakukan secara Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM).
Melihat hal-hal yang diuraikan di atas, seperti yang ditulis oleh Richard Szafranski dalam menghadapi Perang Neokortikal, Indonesia “harus menginvestasikan segala sumber daya untuk memenangkan konflik tanpa akhir ini.” Salah satu yang harus dilakukan adalah membekali gerasi muda, terutama yang akan menjadi pimpinan dan pengambil keputusan (decission maker), dengan pengetahuan sejarah yang sebanrnya, bukan sejarah hasil rekayasa, manipulasi, bahkan pemalsuan sejarah. Ini dalam rangka menggunakan SEJARAH SEBAGAI SENJATA” untuk memenangkan perang/konflik antara Republik Indonesia melawan Kerajaan Belanda dan sekutu serta antek-anteknya..
Jakarta, Mei 2021
********
No comments:
Post a Comment