Monday, February 21, 2022

Permintaan Maaf Yang Merangkak Dari Belanda

 

Permintaan Maaf Yang Merangkak

Dari Belanda

 

 

Catatan Batara R. Hutagalung

Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

 


Pendahuluan

 

Pada 18 Februari 2022, media di Belanda memberitakan, bahwa pada hari Kamis 17 Februari 2022 Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf yang mendalam kepada rakyat Indonesia sebagai reaksi awal atas hasil penyelidikan mengenai kekerasan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

 

Permintaan maaf  Rutte ini sebenarnya sangat aneh, karena dalam kunjungan Raja Belanda Willem Alexander ke Indonesia, pada 13 Maret 2020 di Jakarta, dalam sambutannya di hadapan Presiden Joko Widodo, Willem Alexander menyampaikan permintaan maaf atas tindak kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

 

Yang disampaikan oleh Willem Alexander dan Mark Rutte mengenai kekerasan yang ekstrim yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1949, sebenarnya juga bukanlah hal baru. Berita mengenai pembantaian-pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap penduduk sipil, non combatant, di Indonesia sejak tahun 1946, telah diberitakan di media-media internasional, juga sudah diketahui dan direspon oleh Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

 

Pada 9 Desember 1947 tentara Belanda di bawah komando Mayor Alfons Wijnen membantai 431 penduduk desa di Rawagede, dekat Karawang, tanpa proses hukum apapun. Pembantaian ini jelas merupakan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Pembantaian tersebut terjadi satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas Kapal Perang AS Renville pada 8 Desember 1947. Dewan Keamanan PBB menyatakan, bahwa pembantaian itu “deliberate and ruthless” (dengan sengaja dan kejam).  

 

Demikian juga kejahatan-kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya dari pasukan elit Depot Speciaale Troepen (DST), pasukan Baret Hijau, telah diberitakan oleh media di Belanda dan di media internasional. Hal ini mengakibatkan Westerling dipecat dari dinas ketentaraan KNIL pertengahan tahun 1948. Namun Westerling tidak pernah dihukum atas kejahatan-kejahatannya, bahkan di Belanda dia disanjung sebagai pahlawan.

 

Dalam laporan hasil penelitian yang diberitakan beberapa hari yang lalu, dinyatakan, bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah struktural dan bukan pengecualian, seperti yang dilaporkan oleh pemerintah Belanda tahun 1969 yang dinamakan “De Excessennota” (Catatan Ekses). Tahun 2016, sejarawan Swiss-Belanda, Remy Limpach telah menerbitkan buku, di mana dia juga telah menulis, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Republik Indonesia merupakan tindakan yang struktural. Namun laporan kali ini dikemas, seolah-olah hal-hal tersebut baru diketahui dan diungkap.

 

Rutte berbohong apabila dia mengatakan, baru beberapa hari lalu mengetahui mengenai kekerasan-kekerasan ekstrim yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indoneia. Banyak orang Belanda yang pura-pura terkejut membaca hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah Belanda selama lima tahun, dari tahun 2016 – 2021 dengan anggaran 4,1 juta Euro (sekitar Rp. 66,2 milyar). Ini semua merupakan kebohongan kolektif yang struktural.

 

Tahun 1947 PBB telah menilai, bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah struktural, dengan sengaja dan kejam. namun baru diakui secara resmi oleh pemerintah Belanda tahun 2022, 75 tahun kemudian.

 

Tuntutan agar pemerintah Belanda meminta maaf kepada bangsa Indonesia juga bukan baru, melainkan sejak tahun 2002, tepat 20 tahun lalu. Proses permintaan maaf ini berlangsung selama belasan tahun dan bertahap. Dengan kata lain, permintaan maaf ini dilakukan secara merangkak dan setengah hati.

 

Tuntutan permintaan maaf ini merupakan butir kedua dari petisi yang disampaikan kepada pemerintah Belanda sejak tahun 2002. Tuntutan utama adalah, pemerintah Belanda harus mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

 

 

Menuntut Pemerintah Belanda

 

Pada 8 Maret 2002, putra-putri pejuang Indonesia bersama beberapa orang pejuang Angkatan ’45 mendirikan organisasi Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa (KNPMBI).

 

Di Belanda, sepanjang tahun 2002 dirayakan secara besar-besaran 400 tahun berdirinya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). VOC adalah suatu kongsi dagang, yang mendapat hak-hak istimewa dari penguasa Republik Belanda waktu itu, Staaten Generaal, seperti layaknya suatu negara. Kongsi dagang VOC ini yang mengawali kolonialisme Belanda di Asia Selatan dan Asia tenggara.

 

Pada puncak acara peringatan 400 tahun berdirinya VOC, yaitu tanggal 20 Maret 2002, KNPMBI melakukan demonstrasi ke Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, dan menyampaikan petisi yang isinya menuntut pemerintah Belanda untuk:

1.   Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pembunuhan massal dan berbagai pelanggaran HAM berat lain, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

2.   Menghapus seluruh utang Republik Indonesia kepada Belanda.

 

Demonstrasi ini diliput oleh satu media televisi Belanda, NOS (Nederlandse Omroep Stichting). Wartawati Belanda, Step Vaessen yang meliput acara tersebut, mengirim berita mengenai demonstrasi tersebut ke Belanda dan di Belanda acara demonstrasi tersebut ditayangkan pada hari itu juga, tanggal 20 Maret 2002. Jadi, pemerintah dan rakyat Belanda telah mengetahui mengenai tuntutan-tuntutan ini sejak tanggal 20 Maret 2002, yaitu 20 tahun lalu.

 

Mengenai tuntutan kepada pemerintah Belanda, juga telah disampaikan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda, untuk diketahui adanya. Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda pada waktu itu adalah Abdul Irsan SH. Setelah purna tugas tahun 2006, Beliau menjadi Wakil Ketua Dewan Penasihat Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).

 

 Bulan Juni 2002 di jakarta. Dari kiri:

Ketua Dewan Penasihat KNPMBI Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jonohatmojo, Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Abdul Irsan SH., Ketua KNPMBI Batara R. Hutagalung.

 

Pada 3 April 2002, Duta Besar Belanda waktu itu, Baron Schelto van Heemstra mengundang pimpinan KNPMBI ke Kedutaan Belanda. Dia mengusulkan penyeelenggaraan bersama seminar mengenai VOC. Seminar mengenai VOC terlaksana pada 3 dan 4 September 2002 bertempat di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Yang menjadi pembicara adalah 6 orang sejarawan Indonesia, dan 4 orang sejarawan yang datang dari Belanda. Belanda belum mau meminta maaf.

 

Karena lingkup kegiatan KNPMBI luas, dan tidak terbatas pada Belanda, maka untuk fokus pada permasalahan dengan Belanda, pada 5 Mei 2005 bertempat di Gedung Joang ’45 Jakarta, para aktivis KNPMBI mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Tanggal 20 Mei 2005, pimpinan KUKB ke Kedutaan Belanda dan menyampaikan tuntutan kepada pemerintah Belanda untuk:

1.   Mengakui De Jure Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

2.   Meminta maaf atas Penjajahan, Perbudakan dan Pelanggaran HAM Berat

 

 3 April 2002. Duduk di depan: Duta Besar Belanda Baron Sachelto van Heemstra dan Hj, Lukitaningsih Irsan Radjamin, Penasihat KUKB.

Berdiri di belakang dari kiri: Kol. TNI (Purn.) Goenanto Martodipoero, Ir. Nuli Salih Siregar, Dra. Irna HN Hadi Soewito, Ketua KUKB Batara Hutagalung, Staf Kedutaan Belanda.

 

Pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda (waktu itu)  Bernard Rudolf “Ben” Bot di Jakarfta menyampaikan secara lisan dua hal:

1.   Mulai saat itu pemerintah MENERIMA PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945 SECARA MORAL DAN POLITIS.

2.   Dalam aksi militer tahun 1947 banyak orang di kedua belah pihak (Belanda dan Indonesia) kehilangan nyawa atau luka2. Untuk itu saya menyampaikan rasa penyesalan yang mendalam (profound regret).

 

Di Indonesia, tidak ada yang memperhatikan formulasi kalimatnya, yaitu MENERIMA (ACCEPTANCE) proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis, dengan kata lain, hanya de facto, tetapi tidak MENGAKUI (RECOGNITION), secara yuridis, yaitu de jure.

Sehari sebelum berangkat ke Indonesia, tanggal 15 Agustus 2006 dalam suatu acara di Den Haag, Belanda, dia menyatakan akan ke Jakarta dan menyampaikan, bahwa pemerintah Belanda AKAN MENERIMA DE FACTO PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945.

 

Ucapan Menlu Ben Bot tersebut seharusnya sangat mengejutkan untuk pemerintah dan rakyat Indonesia, karena artinya, sampai 16 Agustus 2005, untuk pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945, tidak ada samasekali. Setelah 60 tahun, pemerintah Belanda berbesar hati dan berkenan menerima de facto, keberadaan negara Indonesia, namun tetap tidak diakui legalitasnya. Namun di Indonesia hanya beberapa orang saja yang berreaksi dan memberi tanggapan.

 

Mengenai permintaan maaf, Menlu Belanda Ben Bot menyesalkan jatuhnya korban di kedua belah pihak, jadi tidak khusus korban pembantaian di pihak Indonesia.

 

Pada 14 Desember 2005, ketua KUKB, Batara R. Hutagalung, didampingi oleh Ketua Dewan Penasihat KUKB, Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono (alm.) berangkat ke Belanda. Mulyo Wibisono dan Batara Hutagalung tiba di Amsterdam pada 15 Desember. Pada hari tiu juga, pimpinan KUKB didampingi oleh para pendukung KUKB di Belanda, ke parlemen Belanda di Den Haag. Delegasi KUKB diterima oleh Albert Gerad “Bert” Koenders, Ketua Fraksi Partai Buruh (PvdA) dan Angelina Maria Catharina “Angelien” Eijsink, juga dari PvdA, yang membidangi pertahanan dan veteran Belanda. PvdA pada waktu itu merupakan partai oposisi di Belanda.

 

Di parlemen Belanda. dari kiri: Ketua Dewan Penasihat KUKB Mulyo Wibisono, Ketua KUKB Batara Hutagalung, Bert Koenders, Angelien Eijsink

 

Kepada kedua anggota parlemen Belanda tersebut KUKB memaparkan  tuntutan kepada pemerintah Belanda, yaitu agar pemerintah Belanda:

1.   Mengakui de Jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,

2.   Meminta Maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan dan berbagai pelanggaran HAM Berat.

 

Dalam kesempatan tersebut, disampaikan secara rinci persitiwa pembantaian terhadap penduduk sipil di Rawagede. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa. semua penduduk sipil, non-kombatan. Bert Koenders berjanji akan membawa hal ini ke sidang pleno parlemen Belanda dan berjanji akan membantu desa Rawagede. Sejak tahun 2006, peristiwa pembantaian di desa Rawagede pada 9 Desmber 1947 menjadi agenda pembahasan di parlemen Belanda lebih dari lima kali. Tahun 2007 – 2010 Bert Koenders menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan, dan tahun 2014 – 2017 dia menjadi Menteri Luar Negeri Belanda.

 

Ketika menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan, Bert Koenders memenuhi janjinya. Tahun 2009 dia mengucurkan dana 850.000 Euro (sekitar Rp. 13,77 milyar) untuk pembangunan di desa Rawagede. Dana ditransfer melalui Kementerian Dalam Negeri RI.

 

Sejak tahun 2005, hampir setiap tahun KUKB melakukan demonstrasi di Kedutaan Belanda di Jakarta, dengan menghadirkan para janda dan korban selamat dari pembantaian di Rawagede. Dalam beberapa demonstrasi, juga dihadirkan keluarga korban pembantaian di daerah-daerah lain, termasuk korban Westerling di Sulawesi Selatan. Tuntutan yang disampaikan selalu dua butir tersebut, yaitu pemerintah Belanda harus mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia dan meminta maaf kepada bangsa Indonesia.

 

Pada pertengahan bulan Oktober 2008, delegasi parlemen Belanda melakukan “kunjungan kerja’ ke Indonesia, untuk memantau “pekembangan HAM” di Aceh, Papua dan Maluku. Ketua KUKB, Batara Hutagalung mengenal seorang anggota delegasi Belanda, Henricus “Harry” van Bommel anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis, dan mengundangnya untuk bertemu dengan beberapa orang janda korban pembantaian di Rawagede, dan seorang korban yang selamat.

 

Dari kiri: Ketua KUKB Batara Hutagalung, Harry van Bommel, Sa’ih, Ibu Wisah, Ibu Wanti, Joel Voordewind, Harm Evert Waalkens.

 

Pada 19 Oktober 2008 terlaksana pertemuan yang bersejarah, yaitu tiga anggota parlemen Belanda, Harry van Bommel dari Partai Sosialis, Joel Stephanus Voordewind dari Partai Uni-Christen dan Harm Evert Waalkens dari Partai Buruh dipertemukan dengan dua janda korban, Ibu Wisah dan Ibu Wanti, serta seorang korban selamat, Sa’ih. Semua sudah berusia di atas 80 tahun. Pertemuan berlangsung di Hotel JW Marriott Jakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh seorang wartawati yangmerupakan koresponden satu media di Belanda, dan diliput oleh TVRI.

 

Dalam kesempatan tersebut, Ketua KUKB Batara Hutagalung menyampaikan tuntutan kepada para anggota parlemen Belanda, agar dalam peringatan di Monumen Rawagede pada 9 Desember 2008, Duta Besar Belanda harus hadir. Setelah pertemuan berakhir, Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam datang ke ruang pertemuan dan masih sempat menyapa semua yang hadir.

 

Pada 18 November 2008, dalam sidang pleno di parlemen Belanda (Tweede Kamer), Harry van Bommel menyampaikan tuntutan Ketua KUKB Batara Hutagalung, agar pada peringatan di Monumen Rawagede Duta Besar Belanda harus hadir. Harry van Bommel menyampaikannya di sidang pleno yang disebut  sebagai “de Motie van Bommel” (Mosi van Bommel). Dilakukan voting atas mosi tersebut. Dalam voting, ada anggota dari partai-partai oposisi yang mendukung mosi dan ada yang menolak. Demikian juga dari partai-partai pendukung pemerintah, ada yang mendukung mosi dan ada yang menolak.

 

Hasil voting sangat mengejutkan namun menggembirakan untuk Indonesia. Dari 150 anggota parlemen Belanda, semua hadir, 76 orang menyatakan mendukung, dan 74 orang menolak tuntutan Ketua KUKB. Hanya berbeda dua suara, tidak ada yang abstain. Ketika ditanya oleh wartawan, van Bommel mengatakan, dia akan segera menyampaikan kabar gembira ini kepada orang yang mewakili para keluarga korban di Rawagede, yaitu Ketua KUKB, Batara Hutagalung. Mengenai voting ini diberitakan oleh media di Belanda.

 

Pada hari itu juga Harry van Bommel menelepon dari Belanda. karena adanya perbedfaan waktu 6 jam, maka Harry menelepon pukul 18.00 waktu Belanda. sedangkan di Jakarta telah pukul 24.00. Harry van Bommel menyampaikan hasil voting di parlemen Belanda kepada Ketua KUKB, Batara Hutagalung. Batara Hutagalung kemudian mengeluarkan Press Release yang disampaikan ke semua media yang ada di Indonesia, baik media nasional maupun media internasional., yang isinya adalah, berdasarkan keputusan parlemen Belanda, Duta Besar Belanda harus hadir pada peringatan pembantaian 431 penduduk desa Rawagede, di Monumen Rawagede pada 9 Desember 2008.

 

Tanggal 9 Desember 2008 merupakan lembaran baru dalam hubungan Indonesia - Belanda, yang sehubungan dengan lembaran hitam sejarah Belanda di Indonesia. Acara peringatan di Monumen Rawagede  ini dihadiri oleh sekitar 150 media nasional dan internasional, baik media cetak maupuin elektronik.

 

Sesuai dengan keputusan parlemen Belanda, Duta Besar Kerajaan Belanda Dr. Nikolaos van Dam hadir pada acara tanggal 9 Desember 2008 dan memberi sambutan. Ini merupakan pertama kalinya seorang perwakilan tertinggi Belanda di Indonesia hadir dalam peringatan pembantaian terhadap penduduk sipil di Indonesiayang dilakukan oleh tentara Belanda.

 

Di Monumen Rawagede 9 Desember 2008. 

Dubes Belanda Dr. Nikolaos van Dam dan Ketua KUKB Batara Huataglung.


Dalam sambutannya, selain menjelaskan bahwa kehadirannya adalah atas keputusan parlemen Belanda, dia menyampaikan PENYESALAN (REGRET) atas peristiwa yang dialami oleh penduduk desa Rawagede pada 9 Desember 1947. Belanda masih belum mau meminta maaf, masih sebatas menyesal.

 

Pada peringatan di Monumen Rawagede tanggal 9 Desember 2011, setelah vonis di pengadilan sipil di Belanda yang menyatakan pemerintah Belanda bersalah atas tindak kekerasan di Rawagede tahun 1947, Duta Besar Belanda, Tjeerd de Zwaan menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian. Permintaan maaf ini masih terbatas pada keluarga korban pembantaian di Rawagede, belum permintaan maaf secara menyeluruh.

 

Dari kiri: Kol. TNI Haryono, Dubes Belanda Tjeerd de Zwaan.

Ketua KUKB Batara Hutagalung.

 

Kemudian ketika memberi kompensasi kepada beberapa orang janda korban Westerling di Makassar, Duta Besar Belanda menyampaikan permintaan maaf, di mana digaris-bawahi, bahwa permintaan maaf ini hanya sebatas pada keluarga korban pembantaian Westerling, dan tidak untuk seluruh korban di Indonesia. Namun sudah ada peningkatan dari rasa menyesal ke permintaan maaf, walaupun masih terbatas. Dengan demikian Belanda masih belum mau meminta maaf atas seluruh kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia.

 

Pada bulan Januari 2009, Menlu Belanda Maxime Verhagen dan Dirjen Politik Kemlu Belanda, Pieter de Goeijer ke Jakarta. Pada 14 Januari, bertempat di Kedutaan Besar Belanda, Ketua KUKB Batara Hutagalung selama sekitar satu jam bertemu dengan Pieter de Goeijer. Batara Hutagalung menyampaikan a.l. kejanggala “hubungan diplomatik” antara Indonesia dengan Belanda, karena pemerintah Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945.

 

Dirjen Politik Kemlu Belanda Pieter de Goeijer dan Ketua KUKB Batara Hutagalung

 

Kemudian Batara Hutagaklung diundang untuk bertemu dengan Menlu Maxime Verhagen. Dalam pertemuan ini, Batara Hutagalung menyampaikan, bahwa negara yang diakui oleh Pemerintah Belanda, yaitu Republik Indonesia Serikat (United States of Reublic Indonesia) telah dibubarkan pada 16  Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya ke,mbali Negara Kesatuan Republik Indonesia (Unitarian Republic of Indonesia). dan sekarang Kerajaan Belanda berhubungan dengan NKRI. Maxime verhagen tidak memberi komentar apapun.

 

Menlu Belanda Maxime Verhagen dan Ketua KUKB Batara Hutagalung

 

Sebagai catatan: Republik Indonesia menjadi anggota perserikatan Bangsa-Bangsa pada 27 September 1950, sebagai anggota ke 60.  Jadi yang terdaftar di PBB adalah NKRI, bukan RIS yang diakui oleh Belanda hingga saat ini.

 

Pada 9 Oktober 2013, Ketua KUKB Batara Hutagalung, didampingi oleh Wakil Ketua KUKB, Dipl. Ing. Deddy Toekan (alm.) serta beberapa pendukung KUKB di Belanda, untuk keempat kalinya ke parlemen Belanda. kali ini delegasi KUKB diterima oleh Harry van Bommel dan Angelien Eijsink, yang merpakan kenalan-kenalan lama.

 

Dalam pertemuan ini, Batara Hutagalung, menyampaikan, bahwa masalah pengakuan de jure dari pemerintah Belanda atas kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 harus dibahas tuntas. Selain itu, Batara Hutagalung menyampaikan undangan kepada kedua anggota parlemen Belanda tersebut untuk menghadiri peringatan peristiwa pembantaian di desa Galung Lombok pada 1 Februari 2014. Pada 1 Februari 1947, di desa Galung Lombok, kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat, anak buah Westerling dari pasukan elit Depot Speciaale Troepen (DST), membantai sekitar 700 penduduk desa. Dalam penembakan yang dilakukan secara membabi-buta dengan senapan mesin, juga ikut terbunuh seorang perempuan hamil dan anak-anak. Harry van Bommel dan Angelien Eijsink menyampaikan, tidak dapat hadir pada tanggal tersebut, karena mereka telah memiliki agenda lain.

 

Pada bulan Maret 2020 Raja Belanda Willem Alexander berkunjung ke Indonesia. Pada 13 Maret 2020 dalam sambutannya di hadapan Presiden Joko Widodo, Willem Alexander mengatakan a.l.:

 

 menyampaikan permintaan maaf atas tindak kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

 

 

Dilema Belanda

 

Hingga sekarang, saat artikel ini ditulis pada 20 Februari 2022,, pemerintah Kerajaan Belanda tetap tidak mau mengakui de Jure kemedekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

 

Untuk pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “memindahkan” kedaulatan (transfer of souvereignty) dari pemerintah Nederlands Indie (India Belanda) ke pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

 

RIS terdiri dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom. Republik Indonesia merupakan satu dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom tersebut.  Tidak lama setelah berdirinya RIS, satu-persatu 15 Negara Bagian dan Daerah Otonom tersebut membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia.

 

Pada 16 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Republik Indonesia terdaftar sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan September 1950 sebagai Republik Indonesia (RI), bukan sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) yang sudah dibubarkan pada 16 Agustus 1950.

 

Sebagaiman telah ditulis di atas, pada 16 Agustus 2005 Menlu Belanda di Jakarta menyampaikan secara lisan, nahwa mulai saat itu (16.8.2005) pewmerintah Belanda menerima de facto proklamasi 17.8.1945, bukan de jure.

 

 Memang untuk pemerintah Belanda masalah ini sangat dilematis. Apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka dengan demikian, pemerintah Belanda terpaksa mengakui, bahwa yang dinamakan “aksi polisional” tahun 1947 dan 1948 adalah agresi militer terhadap negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Akibatnya sangat fatal untuk Belanda, yaitu:

1.    Pemerintah Belanda harus membayar pampasan perang (war reparation), seperrti yang telah dilakukan oleh pemerintah Jepang kepada Republik Indonesia.

2.    Tentara Belanda menjadi penjahat perang (war criminals). Oleh karena itu yang paling gigih menentang pengakuan de jure adalah para veteran Belanda yang pernah ikut dalam agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949.

 

Naum di lain pihak, dengan tidak mengakui de jura Republik Indonesia, pemerintah Belanda telah melanggar etika dan norma internasional, yaitu apabila dua negara menjalin hubungan diplomatik, keduanya harus saling mengakui dan menghargai. Dengan sikap ini, pemerintah Belanda merendahkan negara Republik Indonesia yang dianggap tidak setara, juga melecehkan martabat bangsa Indonesia.

 

Alasan pemerintah Belanda melancarkan “aksi polisional” adalah untuk membasmi perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Dengan tetap tidak mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, berarti untuk pemerintah Bellanda, para pejuang Indonesia yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.

 

Sampai saat ini, kalangan konservatif dan sebagian veteran Belanda masih menyimpan dendam terhadap Republik Indonesia. Dengan pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, hilang sumber kekayaan Belanda yang selama ratusan tahun menikmati kekayaan hasil penjajahan dan perampokan kekayaan Nusantara.

 

Perang secara militer pertama, yaitu perang Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda berakhir dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB), 23 Agustus – 2 November 1949. Perang secara militer kedua, yatiu dalam merebut Irian Barat berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, di mana Irian Barat diserahkan ke Republik Indonesia. Perjanjian ini berlaku mulai tanggal 1 Mei 1963, dan dikukuhkan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969.

 

Namun perang non militer antara Republik Indonesia melawan Belanda belum berakhir. Banyak kalangan di Belanda yang masih menyimpan dendam karena sumber kekayaan Belanda selama ratusan tahun telah menjadi negara merdeka dan berdaulat. Mereka masih terus berusaha memecah-belah NKRI melalui dukungan terhadap gerakan-gerakan separatis di Indonesia, selalu memojokkan Indonesia di dunia internasional dengan isu pelanggaran HAM, melakukan metode lama, yaitu divide et impera, dll., dengan tujuan yang sama sejak tahun 1945, yaitu menghancurkan Negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945.

 

 

Jakarta, 21 Februari 2022

 

 

********

No comments: