PERBUDAKAN DI MASA KOLONIALISME BELANDA
Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)
Perbudakan dimulai oleh VOC
Di masa VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie), berdasarkan Bataviasche Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudakan diresmikan dengan Undang-Undang Perbudakan.
Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal
dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda,
seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam
perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.
Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun
lalu, terutama di zaman Romawi.Yang diperdagangkan di pasar budak adalah
rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah
perang dan kemudian dijual sebagai budak.
Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara
Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika
dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua
Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan
pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai
sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun
warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka
memperoleh hak memilih dan dipilih.
Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George
d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree,
Senegal.Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka
beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab
bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di
pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan
kemudian menjual mereka sebagai budak.
Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan
kemudian dijual sebagai budak.Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara
tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal
–termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar
matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut
mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri,
namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai
40-50%.
Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di dinas
ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang
dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang
dibeli dari Afrika.
Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli
budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda untuk
dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja
Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak
untuk 12 tahun atau lebih.
Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan), mereka
masuk kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam
(zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan
iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga bagi
Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda. Namun dari
gaji yang diterima, mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang
orang Belanda tidak mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi
Belanda dalam mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda.Sebagian besar
dari mereka ditempatkan di Purworejo.Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga
Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka “repatriasi.”
Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda,
perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun
ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum).Perang
koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda.
Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India
Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford
Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian
di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima
kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga
Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.
Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).
Perdagangan budak tidak hanya
dilakukan oleh VOC saja, melainkan juga langsung oleh pemerintah Belanda.
Perdagangan budak yang lebih besar lagi dilakukan oleh Belanda ke Benua
Amerika, di mana para budak dibawa dari Afrika,
Di jajahan Belanda di Asia Tenggara pada waktu itu, jumlah budak yang
dimiliki seseorang adalah ukuran kekayaanya. Budak laki-laki dipekerjakan
sebagai kuli tanpa bayaran, dan budak perempuan dijadikan gundik oleh para
majikan atau sekadar pemuas nafsu majikan laki-laki. Bahkan ada pemilik
budak perempun menjadikan budaknya sebagai pelacur, dan mengantongi hasilnya.
Penjualan/pelelangan budak-budak dilakukan oleh orang-orang Cina.
Di bawah ini beberapa tulisan mengenai perbudakan oleh belanda di wilayah jajahan belanda.
1. TOKO MERAH SLAVES ON SALES:
http://jakarta-corners.blogspot.co.id/2010/08/toko-merah-slaves-on-sales.html
2. INDONESIA: SLAVE TRADE A SCAR ON BATAVIA'S
HISTORY.
By Ida Indawati Khouw
http://www.friends-partners.org/partners/stop-traffic/1999/1472.html
3. Two centuries of slavery on Indonesian soil
http://www.thejakartapost.com/news/2015/10/05/two-centuries-slavery-indonesian-soil.html
Para pendiri Republik Indonesia yang lahir sebelum abad 20 masih mendengar penuturan kakek mereka, bagaimana kerjasama bangsa Belanda dengan bangsa Cina dalam memperjual-belikan pribumi di negeri sendiri.
Pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1862.Namun ini tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877. Praktek-praktek perbudakan masih berlangsung sampai awal abad 20. Di Sumbawa perbudakan masih berlangsung sampai tahun 1910 dan di pulau Samosir, Sumatra Utara, perbudakan masih berlangsung sampai tahun 1914.
Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863. Pada
bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban, Afrika Selatan,
baru beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas
perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi
kompensasi. Belanda tidak termasuk negara-negara
Eropa yang meminta maaf atas perbudakan di masa kolonialisme Belanda, baik di
Asia Selatan dan Asia tenggara maupun di Amerika Tengah dan di Amerika Selatan.
Genosida (Pembantaian Etnis) oleh Belanda di Kepulauan Banda
Tidak lama setelah kedatangan mereka di Maluku, para pedagang Belanda melakukan
cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang sangat banyak memberi
kenguntung bagi mereka, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada tahun 1621 (lihat: Willard A. Hanna,
“Indonesian Banda”, Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands,
Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991, Reprint).
Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal
pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655
orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang
dari garnisun di Banda.Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda
pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi
keberhasilannya.286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal.Selain itu terdapat 80
– 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang
kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala.Ini merupakan kerjasama
pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.
Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh tentara
Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang
tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai
sehingga tewas.
Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi
hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap
pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis
antara lain:
“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya
(pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti
domba.Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu
dan dijaga ketat.Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan
telah melanggar perjanjian perdamaian.
Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam.Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat.Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat.Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda:
“Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.
Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu.Kepala dan
bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung
bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui
siapa yang benar.
Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan
melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera
dengan hal ini ..”.
Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der
Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-, Land-,
en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173. Laporan
ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan Belanda yang
terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang perwira dari
Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.
Para pengikut tokoh-tokoh Banda yang masih hidup beserta seluruh keluarga
mereka dibawa dengan kapal ke Batavia, untuk kemudian dijual sebagai budak.
Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari
287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam
perjalanan.Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan
atau penyakit.
Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi
Nusantara.
Catatan:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari tulisan:
VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie)
Berdiri dan Bangkrutnya Perusahaan Terkaya di Dunia
Sepanjang Masa
Selengkapnya
mengenai VOC (Vereenigde OostIndische
Compagnie)
silakan klik:
https://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/voc-verenigde-oost-indische-compagnie.html
********
No comments:
Post a Comment