Friday, December 16, 2011

RAWAGEDE: Surat Terbuka kepada Menlu RI. Pernyataan Menlu yang Menyesatkan.

RAWAGEDE:

 

Surat Terbuka kepada Menlu RI.

Pernyataan Menlu yang Menyesatkan

Jakarta, 17 Desember 2011

Kepada Yth.
Dr. RM Marty Natalegawa
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Di
Jakarta


Dengan hormat.
Pada peringatan peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 2011, Dubes Belanda Tjeerd de Zwaan  secara resmi atas nama pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947. (Lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/rawagede-akhirnya-pemerintah-belanda.html)

Sehubungan dengan hal ini, sebagaiman dikutip oleh TEMPO.CO, Anda mengatakan: “peristiwa penting ini juga menjadi pengakuan pemerintah Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia berlangsung pada 1945. Belanda selama ini mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Interpretasi Anda terhadap langkah pemerintah Belanda ini tidak tepat, dan bahkan sangat menyesatkan,

Pertama, langkah pemerintah Belanda ini adalah sebagai pelaksanaan putusan pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, yang memutuskan bahwa pemerintah Belanda bersalah atas pembantaian 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dan mengharuskan memberi kompensasi kepada 8 janda korban dan satu orang korban selamat terakhir. Dengan demikian, ini bukan tindakan sukarela dari pemerintah Belanda.

Namun dalam putusan itu, pada butir dua, sebagai “FAKTA-FAKTA” (bahasa belanda: feiten)  tertera:
2.      De feiten
2.1.            Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden.
(Terjemahannya: 2. Fakta-fakta. 2.1. Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)
(Teks lengkap putusan pengadilan Belanda, lihat:

Dengan demikian, juga bagi pengadilan di Belanda, Republik Indonesia baru ada pada 27 Desmber 1949. Oleh karena itu yang harus dibaca dari putusan ini adalah:
1. Tentara Belanda tahun 1947 telah membunuh WARGANYA SENDIRI, bukan warga Indonesia.
2. Meminta maaf kepada MANTAN WARGANYA.

Pengadilan Belanda, walaupun mengabulkan sebagian tuntutan warga Rawagede, namun masih sejalan dengan sikap pemerintah Belanda, yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945.

Kedua, dari berbagai pernyataan pemerintah Belanda sampai sekarang, tidak pernah menyatakan MENGAKUI DE JURE (De JURE ACKNOWLEDGEMENT/ RECOGNITION), melainkan MENERIMA (ACCEPT).
Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, dalam acara peringatan pembebasan para interniran yang ditahan oleh Jepang di Indonesia antara tahun 1942 – 1945 Ben Bot mengatakan dengan jelas, akan menerima 17.8.1945 sebagai de facto awal kemerdekaan Republik Indonesia. (Lihat:

Sehari kemudian, pada 16.8.2005 di Gedung Kemlu RI di Jl. Pejambon, Ben Bor mengatakan: “…Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence…” (Lihat:

Kemudian pada 18.8.2005 dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta ketyika ditanya mengapa dia hanya mengatakan ACCEPTANCE (menerima), dan bukan ACKNOWLEGDEMENT (Pengakuan) terhadap proklamasi 17.8.1945, dia mengatakan, bahwa pengakuan HANYA DIBERIKAN SATU KALI, YAITU TAHUN 1949. (Saya memiliki rekaman wawancara tersebut).

Demikian juga jawabannya di parlemen Belanda pada 28 Juni 2006 terhadap petisi dari KUKB yang dikirim tanggal 20 Mei 2005. (Lihat:
Tuntutan KUKB disampaikan oleh Bert Koender ke sidang pleno parlemen Belanda, sesuai janjinya ketika menerima pimpinan KUKB di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005. (Lihat:

Pernyataan Ben Bot ini seharusnya sangat mengejutkan bagi bangsa Indonesia, dan sekaligus merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap HARKAT dan MARTABAT sebagai Negara merdeka yang berdaulat, karena ini berarti bagi pemerintah Belanda, sampai 16 Agustus 2005, Republik Indonesia secara yuridis tidak eksis sama sekali, dan baru sejak tanggal 16 Agustus 2005 diterima keberadaannya, namun tidak diakui legalitasnya. Dengan kata lain, bagi pemerintah Belanda, Republik Indonesia adalah ANAK HARAM!

Memang tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui bahwa pemerintah Belanda sampai detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika “penyerahan wewenang” (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah federal Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia hanya satu negara dari 16 Negara Bagian RIS. Oleh karena RIS dianggap sebagai kelanjutan dari Nederlands-Indië (India Belanda), maka RIS harus membayar utang pemerintah India Belanda kepada induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (setara dengan 1,2 milyar US $).

Sejarah mencatat, Presiden RIS Sukarno pada 16 Agustus 1950 menyatakan dibubarkannya RIS, dan pada 17 Agustus 1950, Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945. Proklamasi kerdekaan ini dipandang dari sudut manapun sah, baik dari hukum internasional (Konvensi Montevideo), maupun dari segi hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (Lihat 18 butir konsep perdamaian dari Presiden Woodrow Wilson, Januari 1918, (lihat:
dan Atlantic Charter/Piagam Atlantik yang dicetuskan oleh Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churchill pada 14 Agustus 1941 (Lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/atlantic-charter.html), yang juga tercantum dalam Preambel PBB tahun 1945.
(Mengenai Keabsahan Proklamasi 17.8.1945, lihat

Proklamasi 17.8.1945 bukan merupakan suatu revolusi, atau pemberontakan, dan periode antara tahun 1945 – 1950 juga bukan perang kemerdekaan. (Lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/bukan-revolusi-bukan-pemberontakan.html)

Memang kita ketahui dilemma yang dihadapi oleh pemerintah Belanda apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Hal ini kami ketahui dari anggota parlemen Belanda Angelien Eisjink yang membidangi masalah veteran Belanda, ketika kami bertemu di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005, kemudian dari Ad van Liempt, jurnalis senior di Hilversum. Mereka mengatakan, apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka akibatnya adalah:


1. Yang Belanda namakan “aksi polisional” tak lain adalah AGRESI MILITER TERHADAP SATU NEGARA MERDEKA DAN BERDAULAT.
2. Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda a.l. di Rawagede, Sulawesi Selatan, Kranggan, dll., bukanlah pembunuhan terhadap warganya sendiri, seperti putusan pengadilan di Den Haag pada 14 September 2011, melainkan adalah KEJAHATAN PERANG dan KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN.
3. Republik Indonesia berhak menuntut PAMPASAN PERANG, seperti yang dilakukan terhadap agresi militer Jepang.
4. Indonesia dapat menuntut pengembalian uang sebesar sekitar 1 milyar US $, yang telah dibayar kepada pemerintah Belanda dari tahun 1950 – 1956, sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Waktu itu Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India Belanda (Nederlands-Indië) diharuskan membayar utang pemerintah Nederlands-Indië kepada pemerintah induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda yang dilancarkan tahun 1947 dan tahun 1948 terhadap Republik Indonesia. Hal ini memang sangat aneh, karena untuk kemerdekaannya RIS harus membayar kepada Belanda, dan bukan sebaliknya. (Lihat ‘De Indonesische Injectie’: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/de-indonesische-injectie.html).  Ketika Suriname merdeka dari Belanda, Suriname memperoleh kompensasi sebesar 2 milyar US $! Sampai tahun 1956 telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, dan kemudian RI membatalkan secara sepihak persetujuan KMB.
Sangat disayangkan, bahwa walaupun mengetahui bahwa pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945, namun pemerintah Indonesia membiarkan sikap ini.

Dalam kesempatan ini, kami meminta Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, untuk menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengenai masalah ini, yaitu mengapa pemerintah Indonesia tetap MEMBIARKAN pemerintah Belanda dengan sikapnya ini.

Kami sangat menghargai upaya pemerintah Indonesia memperjuangkan hak-hak Palestina untuk diakui sebagai Negara, namun sangatlah aneh apabila pemerintah Indonesia mengabaikan untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia terhadap Negara yang pernah menjajah Bumi Nusantara, yang di beberapa daerah berlangsung selama lebih dari tiga ratus tahun. Juga tidak membantu memperjuangkan hak-hak korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Kami juga masih menantikan jawaban surat kami tertanggal 28 Oktober 2011 yang ditujukan kepada Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, mengenai permohonan untuk bertemu. Surat tersebut kami sampaikan langsung kepada Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Abdurrahman M. Fachir pada 28 Oktober 2011.

Atas perhatian yang diberikan, kami sampaikan terima kasih.

Hormat kami,

Ttd.

Batara R. Hutagalung
Ketua Umum KNPMBI/ Ketua KUKB




2 comments:

Anonymous said...

Yth. Bapak Hutagalung,

Surat terbuka Bapak yang ditujukan kepada Menlu Marty Natalegawa didasarkan atas isi pemberitaan oleh Tempo edisi online tanggal 9 Desember 2011 yang berjudul ““Marty Sambut Kedatangan De Zwaan di Rawagede” (http://www.tempo.co/read/news/2011/12/09/078370782/Marty-Sambut-Kedatangan-De-Zwaan-di-Rawagede),khususnya paragraph ke-dua yang menyebutkan “Marty menambahkan, peristiwa penting ini juga menjadi pengakuan pemerintah Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia berlangsung pada 1945. Belanda selama ini mengakui kedaulatan Indonesia pada 27Desember
1949.”

Isi paragraph tersebut tidak akurat, karena tidak sesuai dengan isi pernyataan yang sesungguhnya dinyatakan oleh Menlu Marty Natatelagawa.

Verbatim transkrip dari rekaman audio doorstop interview Menlu Marty Natalegawa tanggal 9 Desember 2011 yang terkait dengan kasus Rawa Gede adalah sbb:

“[Wartawan]: Hari ini ada permintaan maaf dari Dubes Belanda terkait insiden …?

Menlu RI: Saya kira ini perkembangan yang penting. Karena satu hal yang perlu dipahami, tentu ini adalah proses internal dari negara Belanda berdasarkan keputusan pengadilan di Belanda mengenai masalah ini. Dan bahwasanya sekarang pemerintah Belanda memilih atau menindaklanjuti keputusan itu dengan langkah yang sekarang ini saya kira perkembangan yang penting. Harapan kita adalah masalah ini bisa cepat diselesaikan sehingga bagi ahli waris terkait bisa merasakan adanya penyelesaian atas masalah-masalah ini.

[Wartawan]: Kalau dikaitkan dengan pengakuan Belanda, Indonesia merdeka… dilematis?

Menlu RI: Justru itu kami tidak menggunakan istilah yang lebih dari itu, hanya menyatakan perkembangan yang penting. Tapi bagi kita tidak merubah sesuatu yang sudah diakui sendiri oleh ... pemerintah Belanda pun sekarang sudah mengakui mengenai masalah kemerdekaan Indonesia tahun 45 itu.”

Koreksi terhadap isi pemberitaan Tempo edisi online tersebut juga sudah kami lakukan kepada redaksi Tempo.

Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Agustinus Sumartono
Direktur Informasi dan Media
Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik
Kementerian Luar Negeri
Jakarta

batarahutagalung said...

Sehubungan dengan surat Terbuka dari Ketua Umum KNPMBI/Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung kepada Menlu RI Dr. Marty Natalegawa, Agustinus Sumartono, Direktur Informasi dan Media, Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik
Kementerian Luar Negeri, memberi keterangan mengenai kalimat pernyataan Menlu RI. Dalam keterangan tersebut ditulis a.l.: " ...pemerintah Belanda pun sekarang sudah mengakui mengenai masalah kemerdekaan Indonesia tahun 45 itu..."
Hal inilah yang perlu ditegaskan, apakah ini PENGAKUAN DE JURE, atau hanya MENERIMA SECARA MORAL DAN POLITIS, yaitu HANYA DE FACTO, seperti pernyataan Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot, di Jakarta pada 16 Agustus 2005.

Yang dituntut oleh KNPMBI/KUKB kepada pemerintah Belanda adalah:
1. PENGAKUAN DE JURE KEMERDEKAAN RI 17.8.1945, dan
2. MEMINTA MAAF KEPADA SELRUH RAKYAT INDONESIA.
Batara R. Hutagalung

Catatan: Keterangan ini diberikan sebagai komentar di weblog ini, dengan pengirim ANONYMOUS. Jadi saya tidak menjamin kebenaran identitas pengirim.