Saturday, January 14, 2012

PEMBANTAIAN DI RAWAGEDE: 1947, WILAYAH BELANDA ATAU REPUBLIK INDONESIA?


Sehubungan dengan peristiwa pembantaian di Rawagede, walaupun pemerintah Belanda telah secara resmi meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada para janda yang menuntut di pengadilan di Belanda, ternyata belum selesai dibahas di Belanda. Dalam berita di Radio Nederland siaran Indonesia (Ranesi) Kamis, 12.01.2012, dimajukan beberapa pertanyaan: 
“Ada satu hal penting yang tidak terlalu diperhatikan dalam kasus Rawagede. Apa status wilayah ini? Banjir darah itu terjadi di Rawagede tapi diperkarakan di pengadilan Den Haag, Belanda. Jadi hukum mana yang berlaku?”

Mengenai masalah yuridiksi, apakah Rawagede pada saat terjadi pembantaian oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947, adalah wilayah Republik Indonesia atau masih wilayah Netherlands Indië, saya sampaikan sebagai berikut:

Memang pers dan masyarakat di Indonesia sebagian terbesar, tidak memperhatikan hal ini. Sebagian besar tentu karena tidak membaca putusan (vonis) pengadilan di Den Haag, yang memenangkan sebagian tuntutan para janda dan korban selamat terakhir, Sa’ih. Salinan putusan itu telah saya muat di weblog saya. Dalam bahasa Belanda di http://indonesiadutch.blogspot.com), dan sebagian terjemahan dalam bahasa Indonesianya di http://batarahutagalung.blogspot.com

Saya sangat memperhatikan putusan pengadilan sipil di Den Haag pada 14 September 2011, dan menyoroti dasar pertimbangan hakim, yaitu sebagai fakta-fakta (feiten), bahwa sampai tahun 1949, Indonesia dengan nama Netherlands Indië adalah bagian dari Kerajaan Belanda. Ini memang klaim dari pemerintah Belanda hingga detik ini.

Saya sendiri tidak akan mempermasalahkan, bahwa hal ini dipakai sebagai dasar putusan pengadilan di Den Haag, karena walau bagaimanapun, pengadilan di seluruh dunia termasuk di Belanda, harus mengikuti kebijakan politik pemerintahnya.

Oleh karena itu, yang dituntut oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), adalah pemerintah Belanda, agar mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945. Mengenai pemberian pengakuan de jure kepada negara lain, memang wewenang pemerintah, karena ini masalah politik, dan bukan masalah hukum. (Lihat petisi online KNPMBI tertanggal 22.4.2005: http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html). Setelah aktifis KNPMBI pada 5 Mei 2005 di Jakarta mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), maka tuntutan ini dilanjutkan oleh KUKB.

Mengenai putusan pengadilan di Den Haag ini telah saya tulis sebagai pengantar dalam informasi mengenai perjuangan KNPMBI dan KUKB. (Lihat:

Dasar putusan pengadilan di Den Haag ini juga saya kemukakan dalam surat terbuka saya kepada Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa pada 17 Desember 2011. (Lihat:

Mengenai masalah apakah Rawagede tahun 1947 adalah wilayah Republik Indonesia atau wilayah Belanda, bagi bangsa Indonesia bukan suatu pertanyaan lagi, melainkan suatu pernyataan yang tegas: Tentara Belanda telah melakukan agresi militer terhadap satu Negara yang merdeka dan berdaulat. Mengenai keabsahan proklamasi 17.8.1945, lihat tulisan: http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/12/keabsahan-proklamasi-17-agustus-1945.html. Laporan pemerintah Belanda tahun 1969, yang diterbitkan dengan judul: “De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, yang disingkat menjadi De Excessennota, menyebut, “ekses” yang dilakukan oleh MI;LITER BELANDA DI INDONESIA TAHUN 1945 – 1950. Di sini tidak disebutkan “Netherlands Indië”, melainkan INDONESIA Pakar-pakar hukum di Belanda sendiri mengatakan, bahwa yang dengan lunak disebut sebagai ekses, tidak lain adalah kejahatan perang (oorlogsmisdaden).

Sehubungan dengan masalah yuridiksi untuk suatu perkara pembunuhan terhadap penduduk sipil di masa perang, Jerman telah menunjukkan, bahwa Tempat Kejadian Perkara (TKP) tidak menjadi hambatan di pengadilan di Jerman, seperti pada sidang pengadilan seorang bekas perwira Jerman, Heinrich Boere, 88 tahun, yang pada bulan Oktober 2009 dimajukan ke pengadilan di Aachen, Jerman. Pada bulan Februari 2010 oleh pengadilan di Jerman dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena terbukti bersalah, tahun 1944 (!) –berarti 66 tahun sebelumnya- membunuh tiga (!) penduduk sipil di Belanda. (Lihat: 

Dari putusan pengadilan di Den Haag 14 September 2011, dan pengadilan di Jerman tahun 2010, yang harus dibaca adalah:
1. Untuk kasus pembunuhan seperti ini, setelah lebih dari 60 (!) tahun, tetap masih bisa dibuka, dan tidak mengenal azas kadaluarsa (statute of limitation). Ini sesuai dengan statuta Roma yang berlaku di International Criminal Court yang berkedudukan di Den Haag, bahwa untuk genosida (pembantaian etnis), kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi, tidak mengenal azas kadaluarsa.
2. Pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, memutuskan pemerintah Belanda BERTANGGUNGJAWAB atas pembantaian yang terjadi di Rawagede.

Putusan ini membuka pintu selebar-lebarnya untuk dimajukannya puluhan ribu (!) kasus-kasus serupa yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia selama agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950

Kemungkinan akan terjadi perkembangan seperti ini telah saya kemukakan kepada Duta Besar Belanda (waktu itu) Baron Schelto van Heemstra, pada 3 April 2002, ketika pimpinan KNPMBI bertemu dengan dia dan menyampaikan tuntutan KNPMBI. Saya katakan, ada kata-kata bijak dalam bahasa Jerman yang berbunyi: “Lieber Ein Ende mit Schrecken, als ein Schrecken ohne Ende”, yang terjemahannya adalah: “Lebih baik suatu akhir yang dramatis, daripada suatu drama tanpa akhir.” Kalimat ini saya ulangi kepada Duta Besar Nikolaos van Dam, dalam acara peringatan ke 61 peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 2008, dan terakhir kepada Duta Besar Tjeerd de Zwaan, pada 9 Desember 2011, dalam sambutan saya di acara peringatan ke 64 di Rawagede. (Lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/no-statute-of-limitations-on-dutch-past.html)

Sekarang tergantung pada pemerintah Belanda, apakah akan menutup lembaran hitam yang penuh darah sejarah agresi militer Belanda di Indonesia secara dramatis, artinya memenuhi semua tuntutan KNPMBI/KUKB, atau akan membiarkan drama ini berkelanjutan dan tidak diketahui kapan berakhirnya, karena kami akan menuntut terus!

KUKB telah menawarkan untuk dilakukannya suatu rekonsiliasi yang bermartabat antara bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda. Bermartabat di sini artinya antara dua bangsa dari dua Negara merdeka, yang saling menghargai dan mengakui. Apabila Negara yang satu tidak mau mengakui negara yang lain secara yuridis, atau setara, tidak mungkin dapat dilakukan rekonsiliasi yang bermartabat. Sehubungan dengan ini terungkap, bahwa hubungan “diplomatik” antara Republik Indonesia dengan Belanda sangat aneh. Dengan demikian, Belanda berhubungan de jure dengan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang telah dibubarkan pada 16.8.1950, dan dengan NKRI hanya hubungan de facto! Sangat aneh!

Batara R. Hutagalung, Ketua KNPMBI/KUKB

Tanggapan ini juga dimuat di Rakyat Merdeka-Online:


Catatan:
Perundingan Linggajati antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang difasilitasi oleh Inggris, telah menghasilkan persetujuan mengenai status Republik Indonesia dan rencana pembentukan Republik Indonesia Serikat serta pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947 antara lain: Belanda MENGAKUI DE FACTO REPUBLIK INDONESIA ATAS SUMATERA, JAWA DAN MADURA.


Jadi ketika peristiwa pembantaian di Rawagede, Jawa Barat, pada 9 Desember 1947, sebelum disetujuinya perjanjian Renville, Rawagede de facto adalah wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, Belanda telah melanggar persetujuan Linggajati.