Saturday, March 17, 2012

Dua Muka Jan Pieterszoon Coen

"Bapak" Penjajahan di Asia Tenggara/Nusantara

Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Selama lebih dari seratus tahun, sejak tahun 1893, Jan Pieterszoon Coen, mantan Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)  “berdiri” dengan megah dan tenang di kota kelahirannya, Hoorn, di Belanda bagian utara. Namun sejak enam bulan belakangan, terutama dua minggu terakhir ini, “ketenangannya” sangat terusik.

Terusiknya ketenangan tersebut diawali dengan robohnya secara misterius patung JP Coen nan megah tersebut dari beton penyangganya pada 16 Agustus 2011, sehari sebelum bangsa Indonesia memperingati proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2011. Dan kurang dari satu bulan sebelum putusan pengadilan sipil di Den Haag, pada 14 September 2011, yang memenangkan gugatan 9 janda dan satu korban selamat peristiwa pembantaian penduduk sipil di Rawagede, terhadap pemerintah Belanda. Pengadilan sipil di Belanda menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan bertanggungjawab atas pembantaian 431 penduduk desa Rawagede pada 9 Desember 1947, serta menghukum pemerintah Belanda untuk meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian, dan memberi kompensasi kepada para penggugat. (Mengenai putusan pengadilan sipil di Den Haag ini, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/rawagede-putusan-pengadilan-belanda-14.html)

(Lihat juga: Rawagede. Akhirnya Pemerintah Belanda Meminta Maaf

Jan Pieterszoon Coen, nama ini menyimbolkan dua zaman berbeda, untuk kurun waktu yang bersamaan.

Hingga beberapa waktu yang lalu, untuk sebagian besar warga Belanda, JP Coen menyimbolkan awal dari zaman keemasan –de gouden eeuw- bagi Belanda. Ketika menjadi Gubernur Jenderal VOC (masa jabatan pertama 1619 – 1623, masa jabatan kedua 1627 – 1629), pada 30 Mei 1619 dia menyerang kota Jayakarta. Setelah menghancurkan dan membumihanguskan kota tersebut, dia mengganti nama kota tersebut menjadi Batavia, sesuai kehendak de Heeren Seventien, atau 17 orang penguasa kongsi dagang VOC di Belanda, yang waktu itu disebut sebagai Staaten Generaal. Dia menjalankan dengan keras dan kejam system perdagangan dengan kekuatan militer. VOC, suatu kongsi dagang yang mendapat hak (Oktrooi – piagam) dari Staaten Generaal di Belanda untuk memiliki pasukan sendiri, mencetak mata uang dan menyatakan perang terhadap suatu Negara. Dengan demikian VOC memiliki status seperti layaknya suatu Negara. Di zaman penjajahan Belanda, VOC dikenal sebagai “kumpeni.” (Lihat tulisan mengenai VOC di:

Namun untuk penduduk di bumi Nusantara, nama Jan Pieterszoon Coen identik dengan kekejaman dan awal dari sejarah panjang penjajahan Belanda di bumi Nusantara, yang di beberapa daerah, terutama Batavia dan Maluku, berlangsung lebih dari 300 tahun…sampai tanggal 9 Maret 1942, yaitu tanggal menyerahnya pemerintah India-Belanda kepada Jepang. (Lihat: 9 Maret 2012, 70 tahun berakhirnya Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara. http://batarahutagalung.blogspot.com/2012/03/9-maret-2012-70-tahun-berakhir.html)

Pada waktu itu, Belanda belum menjadi penguasa tunggal di Asia Tenggara. Pesaing kuatnya adalah Inggris, Spanyol dan Portugal. Namun dengan kekuatan militernya, perlahan-lahan Belanda berhasil mengalahkan para pesaingnya di wilayah, yang kemudian dinamakan sebagai Netherlands Indiƫ (India Belanda).
System “perdagangan” yang dilakukan VOC a.l.:
Apabila ada raja atau sultan yang menolak untuk berdagang dengan syarat yang ditentukan oleh VOC, maka raja atau sultan tersebut ditangkap dan dibuang ke daerah lain atau ke negara lain. Kemudian VOC mengangkat raja atau sultan yang mau berdagang dengan syarat yang ditentukan oleh VOC.

Kepulauan Banda, penghasil tunggal pala, pada waktu itu masih berdagang dengan Inggris, dan hal ini sangat tidak disenangi oleh Coen. Pada bulan Mei 1621 JP Coen mengerahkan armada dan kekuatan militernya yang terbesar untuk menyerang Banda. Ribuan penduduk Banda dibunuh, dan sisanya sebanyak 883 orang dibawa ke Batavia untuk dijual sebagai budak. JP Coen bukan hanya mengawali penjajahan di bumi Nusantara, melainkan juga mengawali perdagangan budak, yang secara resmi berlangsung hingga tahun 1863, namun pada kenyataannya, praktek-praktek perbudakan di beberapa daerah di Nusantara masih berlangsung hingga akhir abad 19.

Boleh dikatakan Coen “mengganti total” penduduk Banda dengan pendatang dan budak dari daerah lain untuk mengerjakan perkebunan dan perdagangan pala. Seorang kenalan saya yang berasal dari Maluku, setelah mendengar penjelasan dari saya mengatakan, bahwa selama ini dia heran, mengapa penduduk Banda kelihatan lebih putih, tidak seperti penduduk di sekitar Banda. Kini dia mengetahui, mengapa penduduk Banda sangat berbeda dengan penduduk pada umumnya di Maluku.

Di puncak masa perdagangan budak pada pertengahan abad 18, populasi budak di beberapa kota seperti Batavia dan Makassar mencapai lebih dari 50 (!) % dari seluruh jumlah penduduk..

Akhir tahun 1799 VOC yang hancur karena korupsi –pelesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie- dibubarkan, seluruh wilayah yang dikuasai oleh VOC kini diambilalih oleh pemerintah Be;landa, yang membentuk Netherlands IndiĆ« (India Belanda), yang juga diperintah oleh seorang Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal VOC yang terakhir juga merupakan Gubernur Jernderal India Belanda pertama. (Mengenai VOC lihat:

Setelah JC Coen tahun 1629 mati karena penyakit, kelihatannya para Gubernur Jenderal penerusnya bersaing dalam kekejaman. Sejarah mencatat antara lain Sistim Tanam Paksa; Hongi Tochten, yaitu ekspedisi pelayaran di Maluku untuk memusnahkan pohon-pohon cengkeh guna menjaga agar harga tetap tinggi; pengasingan/pembuangan raja/sultan/tokoh yang menentang Belanda.

Beberapa yang sangat menonjol antara lain Gubernur Jenderal Adriaen Valckenier (1737 – 1741). Di masa pemerintahannya pada bulan Oktober 1740 terjadi genosida terhadap etnis Tionghoa di Batavia, di mana diperkirakan sekitar 10.000 orang Tionghoa –termasuk lansia,wanita dan anak-anak- tewas dibantai.
Kemudian ketika Joannes Benedictus van Heutsz menjadi Gubernur Militer dan Sipil di Aceh (1898 – 1904) kemudian menjadi Gubernur Jenderal di India Belanda (1904 – 1909), Aceh menjadi ladang pembantaian tentara Belanda.


Jan Pieterszoon Coen berdiri dengan megah



Jan Pieterszoon Coen roboh pada 16.8.2011

Di kota kelahirannya, tahun 1893 masyarakat Hoorn mendirikan patung JP Coen yang sangat megah, dengan tulisan di bawah patungnya yang merupakan glorifikasi “prestasi’ nya selama menjadi Gubernur Jenderal. Patung itu berdiri tegak dengan megah …sampai 16 Agustus 2011.

Tanggal 20 maret 2002, pada puncak acara perayaan 400 tahun berdirinya VOC  Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) melakukan demonstrasi di kedutaan Belanda, memrotes perayaan besar-besaran tersebut. KNPMBI menyatakan, bahwa zaman VOC adalah awal dari penjajahan, perbudakan pembantaian ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan penduduk Nusantara, nenek moyang bangsa Indonesia, serta perampokan kekayaan Nusantara. Oleh karena itu, KNPMBI menuntut agar pemerintah Belanda meminta maaf kepada bangsa Indonesia, dan mengembalikan kekayaan Nusantara yang telah dirampok oleh Belanda selama ratusan tahun.

KNPMBI menerima usul Duta Besar Belanda, Baron Schelto van Heemstra untuk menyelenggarakan seminar mengenai dua sisi VOC. Seminar diselenggarakan pada 3 dan 4 September 2002, dengan menghadirkan 6 sejarawan Indonesia, dan 4 sejarawan dari Belanda.

Tuntutan KNPMBI berjalan terus. Pada 5 Mei 2005, aktifis KNPMBI mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), dan menuntut pemerintah Belanda untuk:
  1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
  2. meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, berbagai pelanggaran HAM berat, kejahatan atas kemanusiaan,
Pada 15 Desember 2005, ketua KUKB bersama Ketua Dewan Penasihat KUKB membawa kasus pembantaian di Rawagede ke parlemen Belanda, juga disampaikan, bahwa hingga saat ini pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bagi pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan” kewenangan (soeveriniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Sejak tahun 2002 hingga tahun 2008, hampir setiap tahun KNPMBI dan kemudian KUKB mengadakan demonstrasi di kedutaan Belanda di Jakarta, dan hamper setiap tahun menyelenggarakan seminar dan diskusi seputar penjajahan Belanda di bumi Nusantara, terutama mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede.

Pada 16 Agustus 2005, Menteri Luar Negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot, di Jakarta menyampaikan, bahwa kini (sejak 16.8.2005), pemerintah Belanda MENERIMA proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. Sehari sebelumnya,  di Den Haag, dia menegaskan, bahwa pemerintah Belanda mulai saat itu, menerima de facto kemerdekaan RI 17.8.1945. Artinya, sampai 16.8.2005, ternyata Republik Indonesia untuk pemerintah Belanda, tidak ada samasekali, dan tanggal 16.8.2005 naik tingkat menjadi “anak haram”, yaitu hanya diterima keberadaannya, tetapi tidak diakui legalitasnya!

Pimpinan KUKB ke parlemen Belanda pada Desember 2005, Oktober 2007 dan April 2008. pada Desember 2005, dibentuk KUKB Cabang Belanda, yang pada Februari 2007 menjadi Yayasan KUKB.

KUKB berhasil melobi sejumlah pihak di Belanda, termasuk di parlemen Belanda (Tweede Kamer) untuk mendukung kegiatan dan gugatan KUKB kepada pemerintah Belanda. (Mengenai perjuangan KNPMBI dan KUKB lihat:

Sejak beberapa tahun belakangan, masyarakat Belanda, terutama generasi mudanya, mulai sangat kritis menilai masa lalu Belanda di Indonesia. Menurut beberapa kalangan, termasuk kalangan Belanda, kegiatan KNPMBI dan KUKB yang konsisten sejak 10 tahun (2001 – 2012), merupakan penyebab dibahasnya secara meluas peran Belanda di masa lalu di Indonesia. Di kalangan generasi muda Belanda, VOC kini mendapat penilaian yang negatif. Dalam suatu kesempatan, Harry van Bommel, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis, mencap Perdana Menteri Belanda Balkenende memiliki mental VOC, dan ini dalam pengertian negatif.

Penilaian terhadap beberapa mantan Gubernur Jenderal-pun berubah. Patung Gubernur Jenderal Joannes Benedictus Heutsz pernah dirusak orang tak dikenal.

Sejak beberapa waktu yang lalu, timbul perdebatan mengenai keberadaan patung JP Coen. Adalah Eric van de Beek, seorang jurnalis, yang mengambil inisiatif untuk menentang keberadaan patung JP Coen, sebagaimana diberitakan di Noordholland Dagblad, 10 Maret 2012.

Dewan Kota Hoorn memutuskan, untuk tetap memasang kembali patung JP Coen di tempatnya semula. Anggota Partai Sosialis Hoorn pada 11 Maret 2012 di malam hari menempuh langkah untuk menempelkan plakat keterangan mengenai JP Coen dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris dan Indonesia (!). Namun pejabat pemerintah kota Hoorn mengajak masyarakat Hoorn untuk pada 17 Maret 2012 bersama-sama menghancurkan plakat yang ditempelkan oleh anggota Partai Sosialis, yang dianggap illegal.

Teks dalam bahasa Indonesia di plakat tersebut sebagai berikut:

… JAN PIETERSZOON COEN (HOORN, 1587 - BATAVIA, 1629)
Pedagang, direktur jendral dan gubernur jendral di Persatuan Perusahaan
Hindia Timur (VOC).
Dipuji sebagai pendiri kekaisaran bisnis yang paling sukses di VOC dan Batavia,
yang saat ini dikenal sebagai jakarta. Dikritik karena kebijakannya yang agresif
dalam memperoleh monopoli di VOC.
Coen membasmi penduduk kepulauan Banda pada 1621, setelah para penduduknya memasok pala untuk orang-orang Inggris, yang dilarang oleh Verenigde Oost-Indische Compagnie. Ribuan warga Banda dibunuh. Ratusan dideportasi sebagai budak ke Batavia, di mana mereka akhirnya dikalahkan atau dibunuh.
Karena pembantaian ini Coen mendapat julukan “Jagal dari Banda”.
Patungnya, dibuat oleh Ferdinand Leenhoff pada 1893, tidak lagi dianggap sebagai tanda penghormatan oleh warga kota Hoorn…

Erich van de Beek, pemrakarsa kegiatan ini, mengirim beberapa informasi yang sangat penting kepada saya pada 16 Maret 2012, termasuk teks bahasa Inggris dan Indonesia tulisan di plakat yang ditempelkan oleh anggota Partai Sosialis di Patung JP Coen.

Kelihatannya JP Coen belum juga dapat “beristirahat” dengan tenang. Pro dan kontra patungnya ini sedang berlangsung dengan sengit sejak beberapa hari, di mana saya ikut terlibat. Lihat:

Demikian juga masalah Indonesia dengan Belanda tidak akan selesai, apabila pemerintah Belanda tetap bersikukuh tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945, dan tetap menganggap Indonesia sebagai “anak haram.”

Melihat sikap pemerintah Belanda seperti ini, generasi angkatan ’45 tentu masih ingat berbagai penghinaan yang dilakukan oleh Belanda terhadap pribumi sampai 9 Maret 1942. Di berbagai tempat, seperti kolam renang, tempat-tempat hiburan elit, dll., terpampang plakat dengan tulisan, yang dalam bahasa Indonesia artinya “TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI". Dalam bahasa Belanda tulisannya adalah:

VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDERS

Jakarta, 17 Maret 2012


       *******


3 comments:

Waroeng Kita said...

MASA LALU MARTABAT BANGSA DIINJAK2...MASA SEKARANG MARTABAT BANGSA DIGADAIKAN....KAPAN RAKYAT MENIKMATI KEMERDEKAAN....DULU BANGSA MENJADI BUDAK ASING...SEKARANG BANGSA MENJADI BUDAKNYA BUDAK ASING....

Anonymous said...

THE DUTCH GOVERNMENT ARE FORCED NOT ABLE I RECOGNIZE THE INDONESIAN INDEPENDENCE PROCLAMATION OF AUGUST 17,1945.BECAUSE IT WILL RESULTED TO MANY CONSEQUENCES INCLUDING FINANCIAL. AS THE POLICIONELE ACTIE I/II WOULD BE REGARDED AS AN ATTACK TO AND INDEPENDENT COUNTRY.

Anonymous said...

I was born in the Netherlands.
I never knew anything about the cruelties of colonialism. I was
like a German civilian who first learned of the holocaust. "Wir haben es nicht gewuszt". I take the view that each human individual is responsible for his/her own deeds. May the laws of Karma cause retribution to the evil ones.