Belanda Akan Mengakui Kemerdekaan RI:
HARUSKAH Presiden RI ke Belanda Untuk Menerima Pernyataan Belanda?
Catatan
Batara R. Hutagalung
Ketua
Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Pemerintah Belanda
dikabarkan akan mengundang Ir. Joko Widodo ke Belanda. Namun, tidak jelas
status Ir. Joko Widodo dalam kunjungan ini sebagai apa. Pasalnya, sampai hari ini, 7 Desember 2015, Belanda
tetap tidak mau mengakui de jure (secara yuridis) kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Untuk Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah
27 Desember 1949, yaitu ketika Belanda “melimpahkan kewenangan” (transfer of
sovereignty/soevereniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia
Serikat (RIS), sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).
Dari sudut pandang Belanda, pelimpahan kewenangan pada 27 Desember 1949 ini adalah “hadiah
kemerdekaan” dari penjajah. Untuk mendapat “pelimpahan kewenangan” tersebut,
RIS yang dipandang sebagai kelanjutan pemerintah Nederlands Indië (India
belanda), harus menanggung utang pemerintah nederlands Indië kepada pemerintah belanda sebesar 4,5 milyar gulden, waktu itu
setara dengan 1,1 milyar US $. Di dalamnya termasuk biaya untuk agresi militer
belanda terhadap Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Sampai tahun 1956
telah dicicil sebesar 4 milyar gulden. Tahun 1956 pemerintah RI membatalkan
secara sepihak hasil KMB, karena dinilai sangat merugikan Indonesia dan
menghentikan sisa cicilan selanjutnya.
Antara tahun 1945 –
1950, di masa agresi militer Belanda yang dibantu tentara sekutunya, tiga
divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia, diperkirakan sekitar
SATU JUTA rakyat Indonesia tewas dibantai tanpa proses hukum apapun. Dengan
kata lain, Indonesia membayar kepada pemerintah belanda, biaya untuk agresi
militer belanda terhadap Indonesia, dan membunuh satu juta rakyat Indonesia!
Sukarno diangkat menjadi
Presiden RIS. RIS terdiri dari 16 Negara Bagian, yaitu Republik Indonesia dan
15 negara boneka bentukan belanda. Ibukota Republik Indonesia adalah Yogyakarta
dan Pejabat Presiden RI adalah Mr. Asaat Datuk Mudo. Kemudian satu-persatu 15
negara bentukan belanda dibubarkan dan bergabung ke Republik Indonesia. Pada 17
Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI. Pada bulan September 1950,
Republik Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 60. Jadi
yang terdaftar di PBB adalah RI, bukan RIS!
Pada bulan Oktober
2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rencananya akan ke Belanda, memenuhi
undangan dari Ratu Belanda. Namun pada menit-menit terakhir, Presiden Yudhoyono
beserta rombongan telah berada di Bandara Halim Perdanakusumah, kunjungan
tersebut dibatalkan, karena adanya tuntutan dari kelompok separatis RMS (Republik
Maluku Selatan) ke pengadilan di Belanda, agar mengeluarkan perintah untuk menangkap
Presiden RI setibanya di belanda, atas tuduhan pelanggaran HAM terhadap warga
Maluku di Ambon.
Kemudian pada akhir
Maret 2014, Presiden Yudhoyono dikabarkan akan ke Belanda untuk menghadiri
Konferensi Internasional mengenai Nuklir. Kali ini juga batal, dan presiden diwakili
oleh Wakil Presiden Budiono.
Sampai akhir masa
jabatannya sebagai Presiden, Dr. S.B. Yudhoyono tidak pernah mengunjungi
Belanda, sehingga tanpa disadari, telah terhindar dari masalah besar yang
menyangkut kedaulatan NKRI dan martabat
bangsa Indonesia.
Seandainya seorang Presiden
Republik Indonesia ke Belanda sebelum pemerintah Belanda mengakui de
jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 akan memunculkan tiga
masalah:
Masalah pertama adalah, Pemerintah Belanda hingga saat ini tetap tidak
mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Bahkan
hingga 16 Agustus 2005, pemerintah Belanda juga tidak mau mengakui de
facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. (Lihat tulisan: Mengapa Belanda
tak mau akui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945? Mengapa Pemerintah RI
Membiarkannya? Dapat dibaca di: http://batarahutagalung.blogspot.com/2013/08/mengapa-belanda-tak-mau-akui-de-jure_11.html)
Hal ini terungkap
dengan pernyataan Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot, yang pada 16 Agustus 2005
di gedung Kemlu di Jl. Pejambon, Jakarta mengatakan, bahwa kini (2005)
pemerintah Belanda menerima proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis.
(Lihat lampiran, bahasa Inggris)).
Namun dalam pidatonya
pada 15.8.2005 di Den Haag, Ben Bot mengatakan dengan lebih jelas, bahwa kini
(2005) pemerintah Belanda menerima de facto kemerdekaan RI 17.8.1945. (Lihat
lampiran, bahasa belanda).
Juga dalam wawancara
dengan satu stasiun TV di Jakarta yang disiarkan pada 18.8.2005, dia
menggaris-bawahi, bahwa pengakuan secara yuridis telah diberikan akhir 1949.
Berarti yang dimaksud adalah kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat
(RIS).
Ketika memberikan
kuliah umum di UI pada 20 Agustus 2015, Dr. Yudhoyono membenarkan hal ini. Dia
mengatakan:
"Menlu
Belanda saat itu hadir ke saya, sebenarnya secara de facto persepsi saya,
sebenarnya Belanda mengakui kita proklamasikan kemerdekaan secara simbolik meaning
pada 10 years ago. Itu diakui," jelas SBY saat menyampaikan kuliah umum di
Balai Sidang UI bertema 'Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah
Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah', Depok, Kamis (20/8/2015).
Seharusnya pernyataan
menlu belanda pada 16 Agustus 2005 membuat marah seluruh rakyat dan para petinggi
Negara Republik Indonesia, karena dengan ucapan Ben Bot terungkap, bahwa hingga
16 Agustus 2005, untuk pemerintah belanda, REPUBLIK INDONESIA TIDAK EKSIS SAMA
SEKALI, dan baru pada 16.8.2005, berarti 60 tahun setelah proklamasi
kemerdekaan RI, mantan penjajah di Nusantara, setelah “pertimbangan yang
matang”, baru secara lisan menyampaikan, bahwa belanda MENERIMA DE FACTO
proklamasi kemerdekaan Indonesia 17.8.1945. Dan setelah 65 tahun, baru akan
memberikan pernyataan tertulis, yang ternyata batal terlaksana.
Sebenarnya sesuai Konvensi Montevideo yang dicetuskan
tanggal 26 Desember 1933, apabila telah memenuhi persyaratan untuk berdirinya suatu
Negara, yaitu:
1.
Adanya
wilayah tertentu,
2.
Adanya
penduduk permanen,
3.
Adanya
pemerintahan,
maka Negara baru
tersebut TIDAK MEMERLUKAN PENGAKUAN DARI NEGARA LAIN!
Juga adalah hak satu
Negara untuk mengakui atau tidak mengakui Negara lain. Tetapi hal harus ini
berlaku timbal-balik (resiprokal).RRC yang puluhan tahun tidak mau diakui oleh
Amerika Serikat dan sekutunya, tidak mengalami kesulitan apapun. Demikian juga
halnya sekarang dengan Taiwan, yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan
banyak Negara, termasuk dengan Indonesia. Namun tidak ada masalah dalam
berbagai hubungan bilateral antara Indonesia dengan Taiwan. Investasi Taiwan di
Indonesia menempati urutang ke 9, Wisatawan dari Taiwan tahun 2002 menempati
urutan 4, dan saat ini terdapat lebih dari 150.000 TKI di Taiwan.
Yang menjadi masalah
antara Republik Indonesia dengan kerajaan belanda adalah, Indonesia MENGAKUI
belanda, namun belanda TIDAK MAU MENGAKUI Indonesia. Dan sikap belanda ini
telah melanggar tata-krama hubungan antar Negara dan melanggar HAK ASASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA.
Hak Asasi Negara
adalah:
1.
Kedaulatan,
2. KESETARAAN,
3.
Mempertahankan
diri.
Kemudian mengenai
batas wilayah Negara, apabila mengacu kepada hukum internasional: UTI POSSIDETIS IURIS, maka wilayah
Negara Republik Indonesia adalah seluruh bekas wilayah Nederlands Indië (India Belanda).
Pernyataan
kemerdekaan Indonesia juga sejalan dengan semangat yang dituangkan oleh
Presiden AS Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris, Winston
Churchill di dalam Atlantic Charter
(Piagam Atlantik), mengenai Hak bangsa-Bangsa Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri
(Rights for selfdetermination of people).
Atlantic Charter ini juga didukung
oleh Ratu Belanda Wilhelmina, sebagaimana disampaikannya dalam pidato Radio di
London, Inggris, pada 7 Desember 1942.
Pada 30.9.2010 staf
Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah mengatakan,
bahwa (pada waktu itu) Presiden SBY akan mencatat sejarah hubungan
Indonesia-Belanda dengan melakukan kunjungan kenegaraan. Ini merupakan
kunjungan kenegaraan yang pertama dari seorang Kepala Negara RI ke Kerajaan
Belanda. Faizasyah mengatakan: “Waktu
Pak Harto, Gusdur dan Bu Mega dahulu bukan kunjungan kenegaraan.”
(lihat lampiran)
Oleh karena itu,
kalau pemerintah Belanda TIDAK
mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, dan RIS yang diakui
secara yuridis oleh pemerintah Belanda sudah dibubarkan, timbul pertanyaan: DR Susilo Bambang Yudhoyono (atau kemudian
Ir. Joko Widodo) datang ke Belanda sebagai apa?
Jadi Dr. Susilo
Bambang Yudhoyono datang ke belanda bukan
sebagai Presiden Republik Indonesia, karena belanda tidak mengakui de jure
kemerdekaan RI 17.8.1945. Juga bukan
sebagai Presiden RIS, sebagaimana mungkin dalam pandangan belanda, karena
RIS sudah dibubarkan pada 16 Agustus 1950.
Masalah kedua adalah, dikabarkan
bahwa dalam kunjungan (yang batal) tersebut akan disampaikan naskah resmi
pengakuan pemerintah Belanda terhadap kemerdekaan RI, karena pada 16.8.2005 di
Jakarta, Ben Bot sebagai Menlu Belanda (waktu itu) hanya menyampaikan secara
lisan.
Janggal
kedengarannya, bahwa untuk pengakuan dari suatu Negara, kepala Negara dari
Negara yang akan diberi pengakuan, harus datang ke Negara yang akan memberi
pengakuan. Mungkin hal ini pernah terjadi di antara Negara yang masih berstatus
jajahan, yang datang ke tuan penjajahnya untuk menerima “hadiah kemerdekaannya.”
Namun belum pernah
ada suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, bahkan yang sudah eksis sejak 65
tahun (tahun 1945 - 2010), terdaftar sebagai anggota PBB dan diakui oleh dunia
internasional, Kepala Negaranya harus menghadap ke kepala Negara/pemerintah
yang akan memberi pengakuan, apalagi mantan penjajah! Juga peristiwa ini akan
mengukuhkan “versi Belanda”, bahwa Indonesia belum merdeka pada 17.8.1945.
Oleh karena itu,
apabila hal ini terjadi, yaitu dalam kunjungan ini, Kepala Negara Republik
Indonesia, baru menerima pernyataan tertulis pengakuan dari Kerajaan Belanda, hal
ini merupakan pelecehan terhadap KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA dan
penghinaan terhadap MARTABAT BANGSA INDONESIA!
Masalah ketiga adalah, pengakuan apa yang akan diberikan oleh
pemerintah Belanda kepada Kepala Negara Republik Indonesia? Apakah PENGAKUAN DE
JURE, atau PENERIMAAN (ACCEPTANCE)
DE
FACTO? Yaitu hanya mengukuhkan secara tertulis pernyataan lisan Menlu
belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus 2005?
Apabila yang akan
diberikan adalah PENERIMAAN DE FACTO,
maka ini hanyalah suatu pengulangan yang aneh, karena dalam Persetujaun
Linggajati tahun 1946, pemerintah Belanda telah resmi menerima de facto Republik Indonesia, walaupun
wilayah Republik Indonesia yang pada waktu diakui oleh Inggris dan belanda
hanya meliputi Sumatera, Jawa dan Madura, KARENA BERKAT BANTUAN DUA DIVISI
TENTARA Australia, belanda berhasil menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur,
dari Kalimantan, Sulawesi, Bali dst.
Peristiwa
penggabungan satu Negara ke Negara lain mirip dengan kasus Jerman Barat
(Republik Federal Jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokratik Jerman). Tahun
1990. Jerman Timur dinyatakan bubar, dan bergabung dengan Republik Federal
Jerman (Jerman Barat). Dalam hal ini, wilayah Jerman Barat yang menjadi makin
luas. Demikian juga dengan Republik Indonesia, setelah bubarnya RIS,
Negara-negara bagian bekas RIS bergabung dengan Republik Indonesia.
Apabila dalam
kunjungan Presiden Republik Indonesia ke Belanda, di mana hal-hal tersebut di
atas belum jelas, maka penyerahan pernyataan pengakuan terhadap Republik
Indonesia oleh Belanda kepada Kepala Negara RI, sangat merendahkan MARTABAT
BANGSA INDONESIA. Bahkan yang paling fatal adalah, apabila yang diserahkan,
ternyata hanya PENERIMAAN DE FACTO KEMERDEKAAN RI 17.8.1945.
Pemerintah Belanda
hingga saat ini TAKUT mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17
Agustus 1945, karena pemerintah Belanda sadar akan konsekuensinya, yaitu, apabila
pemerintah belanda mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, maka
apa yang dinamakan oleh pemerintah Belanda tahun 1947 dan 1948 sebagai “aksi
polisional”, adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan
berdaulat. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda harus membayar WAR
REPARATION (pampasan perang), dan yang lebih fatal untuk veteran
Belanda yang ikut dalam agresi militer tersebut menjadi WAR CRIMINALS (penjahat
perang).
Apalagi sejak
diberlakukannya Statuta Roma, yang menjadi dasar dari International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang
berkedudukan di Den Haag, Belanda, semua kejahatan perang yang dilakukan oleh
tentara Belanda dapat dituntut. Hal ini pernah diusulkan oleh seorang Dosen
Fakultas Hukum Universitas Erasmus, Rotterdam, Manuel Kneepkens. Tahun 1993 dia
mengusulkan agar dibentuk tribunal internasional untuk mengadili penjahat perang
Belanda, terutama kejahatan Westerling.
Dalam Statuta Roma,
untuk empat jenis kejahatan dinyatakan tidak diterapkan azas kadaluarsa, yaitu
untuk:
1.
Genocide (pembersihan etnis),
2.
Crime against
humanity
(kejahatan atas kemanusiaan),
3.
War crimes (kejahatan perang),
dan
4.
Crime of aggression (kejahatan agresi).
Empat jenis kejahatan
tersebut telah dilakukan oleh tentara Belanda dan sekutunya di Indonesia antara
tahun 1945 – 1950.
Tahun 1969, atas
desakan dari parlemen Belanda, pemerintah Belanda melakukan penyelidikan
terhadap tindakan-tindakan militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950,
yang kemudian diterbitkan dengan judul De Excessennota (Catatan ekses), di
mana tercantum sekitar 100-an tindakan yang dilakukan oleh militer Belanda,
yang oleh pemerintah Belanda dinilai sebagai “ekses.”
Namun banyak pakar hukum
di Belanda sendiri menyatakan, bahwa yang telah dilakukan adalah kejahatan
perang. Beberapa peristiwa pembantaian terhadap penduduk sipil, seperti di
Sulawesi Selatan, di desa Galung Lombok, Sulawesi Barat, Rawagede, dll., juga
dicantumkan, walaupun jumlah korbannya disebutkan jauh lebih kecil dibandingkan
kenyataannya.
Pada 14 September
2011, pengadilan sipil di Den Haag Belanda, atas gugatan 8 orang janda dan satu
korban selamat dari pembantaian di desa Rawagede, telah menjatuhkan vonis,
bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggungjawab. Pada 9 Desember
1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dekat
Karawang, Jawa Barat. Tuntutan bahkan tidak perlu dimajukan ke Mahkamah
Kejahatan Internasional, cukup di pengadilan sipil di Belanda.
Pembantaian di desa
Galung Lombok, dekat Majene, Sulawesi Barat (sebelum pemekaran, dahulu termasuk
Provinsi Sulawesi Selatan), termasuk peristiwa pembantaian terhadap penduduk
sipil yang paling kejam dan biadab. Di tengah kerumunan massa yang berjumlah ribuan orang, Letnan
Vermeulen, anak buah Westerling, memerintahkan untuk menembak secara
membabi-buta.
Akibatnya, dalam
waktu hanya beberapa jam, pembantaian yang dilakukan tiga tahap, lebih dari 730
orang tewas, termasuk seorang wanita hamil dan anak-anak, yang sebenarnya
diangkut oleh belanda guna menyaksikan eksekusi “para pemberontak, pembunuh dan
pengacau keamanan.” Tidak terhitung yang luka-luka.
Kemudian para
penduduk yang masih hidup diperintahkan untuk segera mengubur mayat-mayat
tersebut dengan ancaman, apabila tentara belanda kembali sore hari dan
mayat-mayat tersbut belum dikuburkan, maka semua akan ditembak mati. Kalau
kebetulan yang menguburkan adalah kenalan atau kerabat, mereka masih dapat
mengingat siapa-siapa saja yang dikuburkan di dalam satu lubang.
Seperti di desa
Rawagede, hanya dengan kayu-kayu yang ada di sekitar tempat pembantaian, digali
lubang-lubang untuk menguburkan mayat-mayat tersebut. Di dalam satu lubang
dikuburkan sampai 10 orang. Beruntung waktu itu musim hujan, sehingga tanahnya
tidak terlalu keras.
Fotos pembantaian penduduk sipil di Sumatera Selatan |
Foto pembantaian terhadap pendudk sipil (tempat ...?) |
Monumen di Desa Galung Lombok, Majene |
Kuburan massal korban anak buah Westerling |
Aminah, putri seorang korban |
Menunjukkan makam ayahnya |
Bersama Ketua Umum KUKB |
Ali Hatta, putra seoarng korban, di muka makam ayahnya |
Baya Langi (93 tahun), isteri seorang korban, bersama dua saksi mata |
Korban pembantaian tentara belanda
Oleh karena itu
sangat diragukan, bahwa pemerintah Belanda akan memberikan pernyataan tertulis
untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, karena berarti pemerintah
Belanda sendiri yang membuka pintu lebar-lebar untuk gugatan terhadap agresi
militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Sedangkan penerimaan
(ACCEPTANCE) de facto PROKLAMASI
17.8.1945, tidak dapat diterima oleh bangsa Indonesia, karena merupakan
pelanggaran terhadap kedaulatan NKRI dan melecehkan MARTABAT BANGSA.
Penting kiranya
hal-hal tersebut di atas menjadi pertimbangan, seandainya Ir. Joko Widodo akan
memenuhi undangan (panggilan) ke belanda untuk menerima “pengakuan tertulis” (de
jure atau hanya de facto lagi?) kemerdekaan Indonesia 17. Agustus 1945 .
Masalah-masalah tersebut di atas berlaku untuk semua Presiden
Republik Indonesia, selama pemerintah Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
17 Agustus 1945!
Sikap Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) tegas:
Tanggal
10 Agustus 2015, KUKB telah menyampaikan PETISI kepada Presiden Republik
Indonesia yang isinya:
Demi mempertahankan Kedaulatan NKRI
dan menjunjung tinggi martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat sesuai
dengan yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), mendesak pemerintah
Republik Indonesia, agar segera:
MEMUTUS “HUBUNGAN DIPLOMATIK” ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN
KERAJAAN BELANDA!
Namun hingga hari
ini, 7 Desember 2015, Petisi KUKB juga belum ditanggapi oleh Presiden Joko
Widodo.
Sehubungan dengan
rencana pemerintah belanda mengundang Ir. Joko Widodo ke belanda untuk menerima
PERNYATAAN TERTULIS, apapun bentuknya, apakah PENERIMAAN DE FACTO, atau
PENGAKUAN DE JURE, kami, Komite Utang Kehormatan Belanda DENGAN TEGAS
MENYATAKAN MENOLAK KUNJUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KE BELANDA.
Juga, demi
mempertahankan KEDAULATAN NEGARA dan menjunjung tinggi MARTABAT BANGSA,
mendesak agar para pejabat Negara RI TIDAK MENGUNJUNGI BELANDA, SELAMA BELANDA
TIDAK MAU MENGAKUI PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI 17 AGUSTUS 1945, YANG BERARTI
BELANDA TIDAK MENGAKUI KEDAULATAN NKRI!!!
PERTANYAAN
KEPADA RAKYAT INDONESIA:
APAKAH
ANDA SETUJU, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KE BALANDA UNTUK MENERIMA PERNYATAAN
TERTULIS PENGAKUAN BELANDA (MUNGKIN
HANYA PENERIMAAN DE FACTO) ATAS KEMERDEKAAN RI 17 AGUSTUS 1945.
KALAU BELANDA
MEMBERIKAN PENGAKUAN DE JURE, INDONESIA DAPAT SEGERA MENUNTUT BELANDA KE
MAHKAMAH KEJAHATAN INTERNASIONAL DI DEN HAAG, BELANDA, ATAS AGRESI TERHADAP
REPUBLIK INDONESIA YANG MERDEKA DAN BERDAULAT SERTA ATAS KEJAHATAN PERANG.
Catatan:
Seperti yang telah terjadi kami menuntut pemerintah belanda, ANTEK-ANTEK
belanda di Indonesia segera menyerukan, bahwa hal-hal ini adalah peristiwa masa
lalu … lupakan, kemudian menyerang balik dengan berbagai isu pelanggaran HAM
yang terjadi di Indonesia antara tahun 1950 sampai sekarang, yang sebenarnya
didalangi oleh Belanda dan ANTEK-ANTEKNYA di Indonesia.
********
LAMPIRAN-LAMPIRAN
SOLOPOS.COM > News >
Belanda akan serahkan surat pengakuan Kemerdekaan RI ke SBY
Kamis, 30 September 2010 19:44 WIB | |
Jakarta–Kunjungan
kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda pekan depan punya
makna sejarah. Dalam kesempatan itu akan disampaikan naskah resmi pengakuan
pemerintah Belanda terhadap kedaulatan dan kemerdekaan RI.
Demikian papar Staf Khusus
Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, tentang agenda
Presiden SBY di Belanda. Dia ditemui di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta
Pusat, Kamis (30/9).
“Suratnya sudah diinisiasi
sejak 2009 oleh pemerintah Belanda,” kata Faiz.
Menurut jadwal, pada tanggal
6-8 Oktober mendatang Presiden SBY berada di Belanda dengan agenda utama
kunjungan kenegaraan. Ini kali pertama Presiden RI adakan kunjungan kenegaraan
resmi ke Belanda semenjak proklamasi kemerdekaan RI pada 65 tahun silam.
“Waktu Pak Harto, Gus Dur dan
Bu Mega duhulu itu bukan kunjungan kenegaraan,” jelas Faiz.
Sementara kunjungan kenegaraan
Presiden SBY nanti, berlangsung atas undangan Ratu Beatrix. Surat undangan
resmi dari Kerajaan Belanda itu sudah disampaikan sejak 4 tahun lalu.
“Kegiatan formal di sana nanti
bertemu dengan Ratu Belanda, PM Belanda dan menandatangani satu perjanjian
kemitraan komprehensif,” papar Faiz.
Agenda lain Presiden SBY selama
di Belanda adalah bussiness meeting dengan para pengusaha besar dan berpidato
di salah satu perguruan tinggi. Tak ketinggalan Presiden SBY dialog dengan WNI
dan mahasiswa Indonesia yang berada di Belanda.
Menyinggung pernyataan Dubes JE
Habibie yang jadi kontroversi di Belanda, menurut Faiz sudah tak lagi jadi
masalah. Semua salah paham sudah dijelaskan dan tak lagi yang menjadi ganjalan
bagi pemerintah Belanda.“Kita maklumi ada salah kutip. Pemerintah di sana juga
tidak mempermasalahkan apa yang disampaikan Pak Habibie. Kita anggap sudah
selesai,” paparnya.
dtc/nad
Belanda Akui Kemerdekaan RI secara Tertulis
Selama ini, Belanda hanya memberikan penyerahan kedaulatan, bukan pengakuan.
Ita Lismawati F. Malau, Nur
Farida Ahniar | Kamis, 30
September 2010, 17:48 WIB
VIVAnews
- Setelah 65 tahun
Indonesia merdeka, Belanda akhirnya akan memberikan pengakuan tertulis. Selama
ini Belanda hanya memberikan penyerahan kedaulatan, bukan pengakuan kedaulatan.
Pernyataan tertulis ini akan diserahkan pada kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, 5-8 Oktober mendatang. Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan pengakuan itu akan ditandatangani oleh pemerintah Belanda. Dengan kunjungan ini diharapkan, kedua negara bisa lebih melihat ke depan, dan tidak terseret oleh beban sejarah. "Ini juga menunjukkan kedewasaan hubungan kedua negara," kata Faizasyah di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Kamis 30 September 2010. Meski belum memberikan pengakuan secara tertulis, namun secara de facto, Menteri Luar Negeri Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dengan menghadiri peringatan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2005. Dalam lawatannya itu, Yudhoyono akan bertemu dengan Ratu Belanda Beatrix dan Perdana Menteri Belanda. Indonesia-Belanda juga akan menandatangani perjanjian kemitraan komprehensif. Kunjungan kenegaraan itu juga mengagendakan pertemuan bisnis dengan pengusaha besar Belanda. Yudhoyono juga akan berbicara di salah satu Perguruan Tinggi di Belanda. Menurut Faizasyah, kunjungan Presiden ini merupakan kunjungan yang tertunda selama 4 tahun. Ratu Belanda telah memberikan undangan sejak 4 tahun lalu.(ywn)
© VIVA.co.id
********
Pidato Ben Bot 15.8.2005 di Den
Haag:
“Kini pemerintah Belanda menerima
de facto proklamasi 17.8.1945!”
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Toespraak door
dr. Bernard Bot, minister van Buitenlandse Zaken van het Koninkrijk der
Nederlanden, ter
gelegenheid van de 15 augustus herdenking bij het Indië-monument
Den Haag, 15 augustus 2005
Geachte aanwezigen, dames en heren,
De Stichting Herdenking 15 augustus 1945 ben ik dankbaar
voor de mogelijkheid vandaag de herdenkingstoespraak te houden. Dat is voor
mij, als minister van buitenlandse zaken en vertegenwoordiger van de regering,
een eervolle taak. Maar ik sta hier ook, net als velen van u, als een kind van
Indië. Net als bij u roept deze herdenking bij mij gevoelens en emoties op,
komen op deze dag zowel positieve als negatieve herinneringen boven aan
Indonesië, 5 tijdzones en 14.000 kilometer van deze plek verwijderd, maar
gevoelsmatig toch zo nabij. Het zijn herinneringen die je de rest van je leven
meedraagt, maar een optimistische en toekomstgerichte levenshouding niet in de
weg hoeven te staan. Immers, herdenken is, naast herinneren, ook vooruitzien.
Eerst het verleden: met de capitulatie van Japan, precies
60 jaar geleden, kwam ook een einde aan de Japanse bezetting van Nederlands
Indië, een bezetting die zovelen van ons leed had berokkend. Wij gedenken de
familieleden en vrienden die tijdens de Japanse bezetting het leven lieten of
hebben geleden. Wij gedenken ook de talloze Indonesische dwangarbeiders, de
Romusha’s, die vaak naamloos stierven.
Na de capitulatie was het leed, in tegenstelling tot wat
toen vurig werd gehoopt, nog niet geleden. Meteen na de capitulatie ontstond
een machtsvacuüm dat slechts geleidelijk kon worden opgevuld door de Britten. Tijdens deze zogeheten Bersiap-periode
verloren vele duizenden onschuldige Nederlands-Indische en Indonesische
burgers, veelal vrouwen en kinderen, het leven.
In de jaren daarna volgde een pijnlijke, langdurige en
gewelddadige scheiding der wegen tussen Indonesië en Nederland. Voor wat
betreft grote delen van de Nederlands-Indische gemeenschap spreken wij dus over
vele jaren van fysiek en psychisch leed.
Zelf kijk ik met gemengde gevoelens terug op mijn
kamptijd in Tjideng. Als kind word je misschien iets minder snel geraakt door
het leed en de ontbering om je heen, vat je de dingen wat makkelijker op. Maar
je wordt ook sneller volwassen. Een verblijf in het weeshuis, toen mijn moeder
in het ziekenhuis werd opgenomen, maakte mij, zoals dat heet, vroeg
“streetwise”.
Waarschijnlijk daarom staat die periode scherp in mijn
geheugen geetst. Ik herinner me nog levendig de internering, het vertrek van
mijn vader naar Birma, de koempoelans ‘s-morgens en ‘s-avonds, het urenlange
wachten en daarna buigen voor kampcommandant Soni. Ook weet ik dat je duizend
angsten uitstond als je wegens ziekte niet bij de koempoelan aanwezig kon zijn,
omdat de Japanners je zouden kunnen betrappen bij een controle. De herinnering
aan de honger is iets dat, denk ik, bij mijn generatie sterk voortleeft in de
zin dat je niet snel iets weggooit wat nog enigszins eetbaar is.
Een kleine anekdote. Wij werden verplicht een soort
volkstuintjes aan te leggen zogenaamd om wat groente te verbouwen. Ik was
aangewezen mee te werken aan een tomatenbed. Groot was mijn teleurstelling toen
op een kwade ochtend bleek dat alle zo goed als rijpe tomaten waren verdwenen.
Ik verdacht mijn buurjongen van deze euvele daad en
besloot tot retaliatie. Alleen, bij hem waren de tomaten nog onrijp en groen.
Ik heb ze toch verorberd en heb dat moeten berouwen. Niet lang daarna voelde ik
me doodziek worden en moest mijn moeder opbiechten wat ik had gedaan. “Jongen”,
zei ze, “zo komt boontje altijd om zijn loontje”.
Er wordt weer veel geschreven over de Japanse
capitulatie. Natuurlijk is het verschrikkelijk wat er in Hiroshima en Nagasaki
is gebeurd. Maar ik weet ook dat de oorlog niet veel langer had moeten duren of
wij hadden dat kamp niet overleefd. En mijn vader zou zeker niet zijn
teruggekeerd uit Birma en Siam. 15 Augustus is daarom een dag die voor mij een
speciale betekenis heeft.
De bevrijding, de terugkeer van mijn vader die ik
uiteraard bij die eerste ontmoeting niet kende, de terugkeer in Nederland zijn
evenzovele onuitwisbare herinneringen die ik graag met U hier vandaag deel. De
ontvangst in Nederland kwam enigszins als een koude douche. En ik zeg dat niet
vanwege het koude klimaat waarin ik terecht kwam. Het was moeilijk uit te
leggen wat wij hadden ondergaan. Steevast kwam er als reactie dat bij ons in
Indie in ieder geval het zonnetje had geschenen, terwijl zij in de hongerwinter
kou hadden geleden. Kortom, al snel werd duidelijk dat niemand in Nederland zat
te wachten op die uit Indië afkomstige groep Nederlanders. Je leerde dus al
snel niet te veel te praten over wat je had meegemaakt, en juist wel met sympathie
te luisteren naar de verhalen over de oorlog in Nederland, de Duitsers en de
vernietigingskampen.
Misschien is dat ook wel de reden waarom wij zo goed en
snel in de Nederlandse samenleving wisten te integreren. Misschien daarom
hebben we snel pleisters geplakt op al die wonden en gewoon de draad van ons
leven weer opgepakt. En natuurlijk was er ook aanleiding om dankbaar te zijn.
We hadden het immers overleefd en in ieder geval een nieuw thuis gevonden.
Persoonlijk ben ik dus dankbaar dat ik hier voor u mag staan, dat ik zoals zo
velen van u die periode goed heb doorstaan en heb laten zien dat je ook
gesterkt uit zo’n beproeving te voorschijn kunt komen.
(Levende geschiedenis)
Zestig jaar, dames en heren. De afstand in tijd tussen
het heden en de gebeurtenissen van toen wordt steeds groter. En brengt dit niet
het risico van vergetelheid met zich mee, zoals de heer Boekholt dat twee jaar
geleden bij deze gelegenheid schetste? Ik hoop en vertrouw erop dat dit niet
zo zal zijn. Ik denk dat ook toekomstige generaties zich zullen blijven
interesseren in het gemeenschappelijke verleden van Nederland en Indonesië. Ik
denk dat onze jeugd die geschiedenis graag wil adopteren, zoals de scholieren
van het Vrijzinnig Christelijk Lyceum het Indië-monument hebben geadopteerd en
zoals vele andere scholen bijvoorbeeld militaire begraafplaatsen verzorgen.
Maar om de geschiedenis met overtuiging te koesteren, moet in de ogen van onze
jeugd het verleden en de kennis van dat verleden ook voor het heden en de
toekomst relevant zijn.
Winston Churchill zei het eens als volgt: hoe verder men
terug kan kijken hoe verder men vooruit weet te zien. Inderdaad: historische
kennis is geen overbodige luxe, maar een voorwaarde voor een heldere blik op de
toekomst. En dat geldt zeker voor de relatie tussen Nederland en Indonesië.
Wanneer Nederlanders op welke wijze dan ook in contact zullen komen met
Indonesië en Indonesiërs, dan zullen zij iets moeten weten van de geschiedenis
van dat land, en dus ook van eeuwen van gedeelde Indonesisch-Nederlandse
geschiedenis. Nederlanders die zonder enige kennis van de geschiedenis in
Indonesië succesvol zaken denken te kunnen doen, of diplomatie te bedrijven,
komen meestal van een koude kermis thuis.
Wanneer een samenleving de toekomst met optimisme en strijdbaarheid
tegemoet wil treden moet zij wel bereid zijn ook over de minder fraaie kanten
van de eigen geschiedenis eerlijk te zijn. Zeker in een tijd waarin wij in
Nederland - op de werkvloer, in de sportkantine en op school - bruggen
willen slaan tussen de diverse etnische en geloofsgemeenschappen in ons land.
In de context van deze herdenking betekent dat dan dat wij durven toegeven dat
ook na invoering van de zogeheten ethische politiek de belangen van de
Indonesische bevolking voor de meeste Nederlanders op zijn best op de tweede
plaats kwamen.
Werken aan een gemeenschappelijke toekomst. Dat moet niet
alleen binnen onze samenleving het adagium zijn, maar ook in de relatie tussen
Nederland en Indonesië. De uitdagingen die wij gezamenlijk ter hand moeten
nemen zijn legio, zoals de strijd tegen intolerantie, extremisme en terrorisme.
Indonesië is belangrijk. Het is een drijvende kracht
achter regionale samenwerking in Zuid-Oost Azië. Indonesië herbergt als
seculiere staat meer moslims dan welk land ook ter wereld, maar is tevens
hoeder van eeuwenoude, boeddhistische, hindoeïstische en christelijke
tradities. Als zodanig heeft Indonesië recht van spreken in de dialoog der
culturen. Tijdens het Nederlandse voorzitterschap van de Europese Unie vorig
jaar, hebben wij dan ook veel aandacht besteed aan intensivering van de
betrekkingen met Indonesië.
(Boodschap aan
Jakarta)
Dames en heren,
Om de relatie tussen Indonesië en Nederland verder te
intensiveren is het behulpzaam om wat er nog resteert aan oud zeer weg te
nemen, althans voor zover wij dat als Nederlanders in onze macht hebben. Daarom
zal ik als vertegenwoordiger van ons land en als vertegenwoordiger van de
generatie die de pijn van de scheiding heeft ondervonden, nog vandaag het
vliegtuig nemen, die vijf tijdzones doorkruisen en 28000 kilometer afleggen. Op
17 augustus zal ik dan ons land vertegenwoordigen bij de Indonesische
herdenking van de op 17 augustus 1945 uitgeroepen onafhankelijkheid. Ik zal aan
het Indonesische volk uitleggen dat mijn aanwezigheid mag worden gezien als een
politieke en morele aanvaarding van
die datum.
Maar waar het nu in de eerste plaats om gaat is dat wij
de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken. Al decennialang zijn Nederlandse
vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de Indonesische
onafhankelijkheid. Ik zal met steun van het Kabinet aan de mensen in
Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de
onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij –
zestig jaar na dato - dit feit in politieke en morele zin ruimhartig
aanvaarden.
Aanvaarding in morele zin betekent ook dat ik mij zal
aansluiten bij eerdere spijtbetuigingen over de pijnlijke en gewelddadige
scheiding der wegen van Indonesië en Nederland. Bijna zesduizend Nederlandse
militairen lieten in die strijd het leven, velen verloren ledematen, of werden
slachtoffer van psychische trauma’s, waarvoor, opnieuw, in Nederland maar
weinig aandacht bestond.
Door de grootschalige inzet van militaire middelen kwam
ons land als het ware aan de verkeerde kant van de geschiedenis te staan. Dit
is buitengewoon wrang voor alle betrokkenen: voor de Nederlands-Indische
gemeenschap, voor de Nederlandse militairen, maar in de eerste plaats voor de
Indonesische bevolking zelf.
Dames en heren,
Pas wanneer men op de top van de berg staat kan men zien
wat de eenvoudigste en kortste weg naar boven zou zijn geweest. Zoiets geldt
ook voor diegenen die betrokken waren bij de besluiten die in de jaren veertig
werden genomen.
Pas achteraf is te zien dat de scheiding tussen Indonesië
en Nederland langer heeft geduurd en met meer militair geweld gepaard is gegaan
dan nodig was geweest.
Dit is de boodschap die ik mee zal nemen naar Jakarta.
Daarbij hoop ik vurig op het begrip en de steun van de Indische gemeenschap, de
Molukse gemeenschap in Nederland en van de veteranen van de politionele acties.
Immers, om ons gemeenschappelijke verleden levend te
houden, hebben wij ook een gemeenschappelijke perspectief op de toekomst nodig.
Samen werken aan een gezonde en veilige toekomst van onze samenleving, en aan
goede betrekkingen met Indonesië, zal ons helpen ook de meest pijnlijke
aspecten van ons verleden dragelijk te maken.
Ik dank u voor uw aandacht.
********
Pidato
Ben Bot di Jakarta, 16.8.2005:
Belanda
KINI MENERIMA PROKLAMASI 17.8.1945
SECARA
POLITIS DAN MORAL
-----------------------------------------------------------------------------------------
Speech by Minister Bot On the 60th anniversary of the
Republic of Indonesia’s independence declaration
Address by Dr. Bernard Bot
Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands Jakarta, 16 August 2005 On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration
Colleagues, ... Honoured guests, Ladies and gentlemen, 1. SAYA MERASA MENDAPAT KEHORMATAN BERADA DI SINI BERSAMA BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU PADA MALAM INI. (Translation: Ladies and gentlemen - it is an honour for me to be here this evening with you all.) 2. I am here today in my capacity as a Dutch minister to pay my respects to the Indonesian people, a people with whom we Dutch have had strong bonds for hundreds of years. 3. Tomorrow, your country will be celebrating the 60th anniversary of your declaration of independence, the Proklamasi. It is an historic moment on which I would like to congratulate Indonesia on behalf of the entire Dutch government. Allow me also to congratulate our trusted partner, the Indonesian Ministry of Foreign Affairs, on its 60th anniversary on 19 August. Ladies and gentlemen, 4. This is the first time since Indonesia declared its independence that a member of the Dutch government will attend the celebrations. Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence. Only when someone is standing on the summit of the mountain can he see what would have been the simplest and shortest way up. This applies equally to the people on the Dutch side who were involved in the decisions taken from 1945 onwards. Only in hindsight does it become clear that the separation between Indonesia and the Netherlands was marked by more violence and lasted longer than was necessary. Ladies and gentlemen, 5. If a society wants to face the future with its eyes open, it must also have the courage to confront its own history. This applies to every country, including the Netherlands and the Republic of Indonesia. Within the context of 17 August, this means that we Dutch must admit to ourselves, and to you the Indonesians, that during the colonial period and especially its final phase harm was done to the interests and dignity of the Indonesian people – even if the intentions of individual Dutch people may not always have been bad. 6. The end of the Japanese occupation of Indonesia did not bring an end to the suffering of the Indonesian people nor to that of the Dutch community in Indonesia. The Japanese occupation and the period directly after the Proklamasi were followed by an extremely painful, violent parting of the ways between our countries and communities. 7. In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my profound regret for all that suffering. 8. Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation. The Indonesian and Dutch veterans who fought one another at that time have been setting a good example for many years by commemorating victims of both sides together. Ali Boediardjo, the former Secretary of the Republic’s negotiating delegation, was speaking about reconciliation in 1990 when he said: “We have one basic principle in common, that is humanism, which means that one can understand his fellow-man and can forgive the evil he has done.” 9. This is also an important moment for me personally. The country where I was born, Indonesia, and the Netherlands, my motherland, are reaching out to one another and opening a new chapter in their relations. Let us apply ourselves to deepening our friendship with dedication and in harmony. And may our friendship serve the interests of the common challenges all of us will have to meet in the twenty-first century. Let us work together for peace, justice and prosperity. 10. Reconciliation will also be high on the agenda in Aceh. The Indonesian government and the GAM signed a peace agreement yesterday in Helsinki. On behalf of the Dutch government, I would like to congratulate both parties on the results achieved and hope that this will mean lasting peace for the people of Aceh. Because even more than all the aid from the international community, this peace agreement will be decisive for the prosperous development of the province. The role of the EU and ASEAN in monitoring the peace agreement is an important new step in the growing relationship between the EU and ASEAN. Ladies and gentlemen, 11. The Republic of Indonesia is an important partner for the Netherlands. Your country is a driving force behind regional integration in Southeast Asia and dialogue with the European Union. And your country is assuming a prominent position in the dialogue of cultures. The secular Republic of Indonesia not only has more Muslims than any other country in the world, it is also a faithful guardian of centuries-old Buddhist, Hindu and Christian traditions. Dutch society too is rich in traditions, cultures and religions. So let us carry the Indonesian motto bhinekka tunggal ika - “unity in diversity”, which is also the motto of the European Union, in our hearts, as a permanent goal to strive for. Let Indonesia and the Netherlands, each from in its own unique position and drawing on our historical ties, make a positive contribution to understanding and respect between countries and peoples.
12. I look forward to tomorrow’s celebrations of 60
years of the Proklamasi.
PERSAHABATAN TIDAK MENGENAL BATAS NEGARA
(Translation: Friendship knows no borders.) Knowing that you have friends on the other side of the world inspires confidence – like-minded friends to whom you feel connected and with whom you can journey on the path to the future. MARI KITA MENYONGSONG MASA DEPAN BERSAMA-SAMA DENGAN PENUH KEYAKINAN. (Translation: Let us embark upon the future together in trust). TERIMA KASIH BANYAK (Thank you very much)
Source:
********
Wawancara
Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf (Ben) Bot di Metro Tv Jakarta, 18
Agustus 2005 (Bahasa Inggris):
SBY Klaim Belanda
Sudah Akui Kemerdekaan RI
Marieska Harya Virdhani
Kamis,
20 Agustus 2015 − 18:39 WIB
DEPOK - Presiden RI periode 2004-2014 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan Belanda telah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pengakuan itu telah dilakukan Belanda saat SBY masih menjabat sebagai Presiden RI pada 17 Agustus 2005. "Menlu Belanda saat itu hadir ke saya, sebenarnya secara de facto persepsi saya, sebenarnya Belanda mengakui kita proklamasikan kemerdekaan secara simbolik meaning pada 10 years ago. Itu diakui," jelas SBY saat menyampaikan kuliah umum di Balai Sidang UI bertema 'Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah', Depok, Kamis (20/8/2015). SBY juga mengatakan, sebenarnya Belanda juga telah mengakui kemerdekaan Indonesia pada masa silam. Yakni sejak tahun 1949, saat berakhirnya Konferensi Meja Bundar (KMB). Dalam kuliah umum itu, SBY membuka sejarah perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, sebagai sebuah negara saat baru merdeka, banyak terjadi pemberontakan dan separatisme di Indonesia. Banyak daerah belum percaya kepada pemerintah, belum lagi adanya konflik komunal. "Peristiwa Poso, Maluku Utara, NII DI/TII. PKI ancaman ganti dasar negara Pancasila, radikalisme terorisme, serta gerakan ekstrem yang menyebar paham ideologi. Hingga kita pernah diterpa krisis pada 1966 dan 1998," tandasnya.
Oleh
karena itu, SBY meminta seluruh generasi muda untuk mengedepankan semangat
kemerdekaan, makna kemerdekan RI ke-70.
"Seiring berjalannya waktu, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pemaaf dan tak simpan dendam seperti luka pada negara Tiongkok dan Jepang. Ada semacam metamorfosa, sekarang ini elemen di negara kita antiglobalisasi," katanya.
Sumber: http://nasional.sindonews.com/read/1035194/15/sby-klaim-belanda-sudah-akui-kemerdekaan-ri-1440070740
********
|
No comments:
Post a Comment