Tanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid Partai Buruh), menjadi Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia. Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal. Jabatan Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur Jenderal dihapus. Willem Drees, pernah menjadi Menteri Sosial di kabinet Schermerhorn dan kemudian di kabinet Beel. Drees menjadi Perdana Menteri Belanda dari tahun 1948 – 1958. Pengangkatan Dr. Beel menjadi Wakil Tinggi Mahkota menunjukkan, betapa pentingnya masalah Indonesia bagi Belanda. Dengan demikian setelah Profesor Schermerhorn, Dr. Beel adalah mantan Perdana Menteri Belanda kedua yang dipercayakan untuk menyelesaikan masalah Indonesia.
Berbeda dengan Profesor Schermerhorn yang sosialis, Beel termasuk kelompok garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda, yang tidak ingin memberikan konsesi apa pun kepada pihak Republik. Dengan pengangkatan Dr. Beel, Belanda telah menunjukkan sikap kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang memang ingin menghancurkan TNI, mendapat dukungan politik.
Sementara itu, Belanda konsisten dalam usaha memecah belah bangsa Indonesia dan mengadakan pendekatan kepada orang-orang Indonesia yang bersedia bekerja untuk Belanda. Di Jawa Timur, van der Plas mengganti pejabat-pejabat daerah, terutama para Bupati yang mendukung Republik dan digantikan oleh kakitangan Belanda. Setelah sebelumnya mengadakan “pembersihan” di daerah-daerah sekitar Bondowoso, tanggal 16 November – 3 Desember 1948, van der Plas menggelar Konferensi Dewan Kabupaten se-Jawa Timur di Bondowoso dan sekali lagi “berhasil” mendirikan satu negara boneka baru, yang dinamakan “Negara Jawa Timur” dan mengangkat R.T.P. Achmad Kusumonegoro, Bupati Banyuwangi, sebagai Wali Negara.
Dalam perundingan dengan pihak Republik, Belanda mulai dengan sengaja mengajukan tuntutan-tuntutan ekstrim, yang tentu akan ditolak oleh pihak Republik antara lain adalah pembubaran TNI dan pembentukan Angkatan Perang Negara Indonesia Serikat dengan basis tentara KNIL. Jelas usulan ini ditolak dengan tegas oleh pihak Indonesia. Dengan cara-cara seperti ini, Belanda merekayasa sehingga perundingan antara Belanda dan Indonesia yang berlangsung di Kaliurang, difasilitasi oleh KTN Komisi Tiga Negara), mengalami kebuntuan.
Selain itu, Beel mengumumkan akan segera membentuk pemerintahan interim, yang dinamakannya Pemerintah Peralihan di Indonesia (Bewindvoering Indonesie in Overgangstijd –BIO), dan tanggal 11 Desember, Dr. Beel menyatakan bahwa Belanda tidak bersedia melanjutkan perundingan dan memaksa pimpinan Republik untuk menjadi anggota pemerintahan interim. Namun hal itu jelas mendapat penolakan dari para pemimpin Republik. Pada hari yang sama, pimpinan militer Republik menerima laporan, bahwa tentara Belanda sedang mengadakan konsentrasi besar-besaran di garis demarkasi. Untuk mengantisipasi serangan Belanda, pimpinan TNI merencanakan akan mengadakan latihan perang pada 19 Desember 1948.
Pada 11 Desember 1948 Belanda menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan perundingan dengan pihak Republik, dan pada 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya BIO yang rencananya hanya terdiri dari negara- negara boneka, yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaale Overleg –BFO- (Musyawarah Negara Federal), tanpa ikutsertanya Republik Indonesia.
Dengan ikut dikerahkannya pasukan Siliwangi untuk menumpas “pemberontakan Muso” di Madiun, kekuatan pertahanan Republik Indonesia di Ibukota Yogyakarta dengan sendirinya melemah. Sebagian kekuatan militer di Divisi I (Jawa Timur) dan Divisi II (Jawa Tengah bagian timur) juga dikerahkan untuk menumpas kekuatan bersenjata pendukung Muso yang berpusat di Madiun. Perkiraan, bahwa Belanda akan memanfaatkan situasi tersebut ternyata akan segera terbukti. Namun hal itu tidak mengejutkan pimpinan TNI, karena telah diantisipasi jauh sebelumnya dan telah melakukan persiapan yang sangat matang.
Dalam suatu sidang kabinet, sesuai dengan hasil pembicaraan dalam sidang Dewan Siasat Militer beberapa waktu sebelumnya, diputuskan untuk segera memberangkatkan Presiden Sukarno ke India. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Belanda, alasan yang akan dikemukakan adalah suatu kunjungan resmi kenegaraan. Hal tersebut disampaikan kepada Wakil India di Yogyakarta, Mr. Yunus, yang segera meneruskan kepada Perdana Menteri India. Perdana Menteri Nehru menyetujuinya dan bahkan mengirim pesawat terbang untuk menjemput Presiden Sukarno. Direncanakan, Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 15 Desember 1948 dan akan ditemani antara lain oleh Komodor Udara Suriadarma, namun pesawat yang dikirim oleh Perdana Menteri India, ditahan oleh Belanda di Jakarta dan tidak diizinkan melanjutkan penerbangan ke Yogyakarta. Malam sebelumnya, Presiden Sukarno bahkan telah mengucapkan pidato perpisahan.
Tanggal 17 Desember, melalui Ketua KTN Merle Cochran, yang sejak bulan Oktober 1948 menggantikan Dubois, Wakil Presiden Hatta yang juga ketua delegasi Indonesia, mengirim surat kepada Dr. Beel, yang berisi jawaban pihak Indonesia atas permintaan Belanda mengenai rencana pembentukan BIO.
Karena penyakit paru yang dideritanya, sejak bulan Oktober 1948 Panglima Besar harus dirawat di rumah sakit, sehingga tugas sehari-hari dilaksanakan oleh para Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Namun firasat Sudirman yang kuat, mendorongnya pada 18 Desember 1948 untuk menyatakan, bahwa mulai hari itu, dia mengambil alih kembali komando Angkatan Perang Republik Indonesia. Simatupang mencatat:
Pada tanggal 18 Desember pagi saya mengunjungi Pak Dirman yang sejak tiga bulan tidak dapat lagi bangun dari tempat tidurnya. Pada kesempatan itu saya laporkan kepada Pak Dirman bahwa pada satu pihak kita menganggap keadaan cukup genting, tetapi pada pihak lain menurut anggapan pimpinan politik, secara politis Belanda belum dapat memulai serangan selama surat-menyurat melalui wakil Amerika Serikat dalam KTN belum putus. Penyerangan oleh pihak Belanda dalam keadaan seperti itu merupakan politik gila, demikian pendapat di kalangan-kalangan politik. Walau pun begitu rupanya Pak Dirman telah mempunyai firasat bahwa Belanda akan menyerang juga. Pada hari itu Pak Dirman mengeluarkan pengumuman bahwa beliau telah memegang kembali komando.
Dan ternyata firasat Panglima Besar lebih tepat dibandingkan pertimbangan dan perhitungan beberapa politisi Republik, yang selalu terkecoh oleh taktik Belanda, dan sebelumnya, terkecoh oleh Inggris. Pimpinan pemerintahan Republik melihat, bahwa tanggal 17 Desember, Merle Cochran, Ketua KTN yang ditunjuk oleh Amerika Serikat baru berangkat ke Jakarta membawa surat Wakil Presiden Hatta untuk disampaikan kepada WTM Dr. Beel, sehingga dengan demikian menurut “perhitungan” mereka, apabila Belanda memulai agresi militernya, berarti akan menampar muka Amerika Serikat, sehingga para politisi Republik yakin, Belanda tidak akan melakukan “politik gila” seperti itu. Dan sejarah mencatat, bahwa memang Belanda melakukan “politik gila” yang menjadi suatu tamparan bagi Amerika Serikat, yang kemudian benar menjadi bumerang bagi Belanda sendiri.
Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok pagi Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting.
Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana “pemusnahan” TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan “Operasi Kraai.” Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional.”
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
Serangan terhadap Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota Yogyakarta. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.
Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00:
PERINTAH KILAT
No. I/P.B./D/1948
Kita telah diserang.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan Gencatan Senjata.
Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Dikeluarkan di tempat
Tanggal - 19 Desember 1948
Jam - 08.00
Panglima Besar Angkatan Perang
Republik Indonesia
Letnan Jenderal Sudirman
Setelah itu, Jenderal Sudirman berangkat ke Istana Presiden, di mana kemudian dia didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Sudirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948, Hatta menulis dalam buku Memoir sebagai berikut:
1. Apakah Presiden dan Wakil Presiden akan pergi ke luar kota dan melaksanakan perang gerilya? Pada waktu itu sudah diketahui, bahwa Panglima Besar Sudirman memutuskan akan melakukan perang gerilya. Ia datang ke kepresidenan jam 7 pagi untuk pamitan dengan presiden. Berhubung dengan keadaannya masih sakit, Presiden berusaha membujuk dia, supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak.
Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Ini akan memperkuat perjuangan rakyat dan tentara. Tetapi apabila Presiden dan Wakil Presiden pergi perang gerilya ke luar kota, sekurang-kurangnya satu batalyon tentara harus menjadi pengawal. Dan tentara itu tidak ada, sebab semuanya sudah ke luar kota. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota. Itu tidak merugikan, sebab Presiden dan Wakil Presiden selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai alat United Nations. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.
2. Semua menyetujui, bahwa Wakil Presiden yang merangkap Menteri Pertahanan menganjurkan dengan perantaraan radio supaya tentara dan rakyat melaksanakan perang gerilya melawan tentara Belanda. Wakil Presiden membuat teks pidato yang tidak perlu panjang, cukup beberapa kalimat saja dan teks itu dibacakan oleh seorang penyiar radio.
3. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat.
Dengan demikian Pemerintah Republik Indonesia memutuskan, untuk tetap tinggal di Ibukota Yogyakarta, setelah memperhitungkan, bahwa keamanan akan lebih terjamin, dibandingkan apabila pergi ke luar kota dan ikut bergerilya. Kemungkinan untuk tewas tertembak dalam kemelut serangan tentara Belanda tentunya sangat besar; begitu juga apabila ikut bergerilya, di mana tentara Belanda tentu akan memanfaatkan situasi perang, untuk menembak mati para pimpinan sipil dan militer Republik. Hal ini terbukti dengan tewasnya seorang Menteri Republik, yang ikut bergerilya, yaitu Supeno, Menteri Urusan Pemuda dan Pembangunan.
Presiden Sukarno menyampaikan pidato melalui RRI, yang kemudian disiarkan berulang-ulang oleh Radio Suara Indonesia Merdeka dari stasiun pemancar di daerah gerilya. Isi pidato tersebut sebagai berikut:
Rakyat Indonesia, Bangsaku yang tercinta!
Pada hari ini, Minggu tanggal 19 Desember 1948 pada jam enam pagi, Belanda telah mulai dengan serangan atas Yogyakarta dan sekitarnya. Dengan tindakannya ini nyata bahwa Belanda mulai lagi dengan perang kolonialnya untuk menghancurkan Pemerintah dan Negara RI agar mereka dapat menjajah kembali seluruh tanah air dan bangsa Indonesia. Setelah kita berbulan-bulan berusaha dengan segala kebulatan hati untuk menyelesaikan pertikaian dengan Belanda secara damai, sekonyong-konyong mereka dengan tidak memberitahu lebih dulu mempergunakan alat senjatanya yang asa pada mereka untuk melakukan kehendak mereka itu dengan paksaan. Dengan tidak mengindahkan adanya KTN di Yogyakarta, dengan tidak memperdulikan adanya perjanjian gencatan senjata, mereka telah memutuskan segala kemungkinan untuk mencapai penyelesaian secara damai.
Kami percaya, bahwa seluruh rakyat Indonesia yang berada di daerah Republik atau pun yang berada di daerah yang diduduki Belanda serentak akan berdiri di belakang Pemerintah Republik untuk menentang tindakan yang melanggar perikemanusiaan ini dengan segala alat lahir dan batin yang ada pada kita.
Kami mengetahui bahwa dengan kekuatan senjata, Belanda mungkin akan dapat merebut dan menduduki beberapa tempat yang penting, akan tetapi tidak mungkin mereka dapat mematahkan semangat perjuangan kita, tidak dapat menghilangkan atau mengurangkan kemerdekaan kita, Bangsa Indonesia, yang telah kita insyafkan dan pertahankan selama tiga tahun ini. Kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan telah meresap dalam jiwa kita, mustahil dapat ditindas dengan kekerasan. Marilah Bangsaku, kita pertahankan tanah air dan kemerdekaan kita dengan segala tenaga yang ada pada kita. Teruskan perjuangan kita dan percayalah bahwa kemerdekaan pasti akan ada pada kita, insya Allah.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden Republik Indonesia
(Sukarno)
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Isi Surat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta adalah sebagai berikut:
Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan pada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Presiden Wakil Presiden
Sukarno Mohammad Hatta
Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi yang isinya:
Pro: dr. Sudarsono/Palar/Mr. Maramis. New Delhi.
Jika ikhtiar Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra tidak berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk “Exile Government of the Republic of Indonesia” di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.
Yogyakarta, 19 Desember 1948
Wakil Presiden Menteri Luar Negeri
Mohammad Hatta Agus Salim
Mengenai detik-detik agresi militer Belanda tanggal 19 Desember 1948, yang dialaminya, dalam biografinya Sukarno menuturkan kepada Cindy Adams sebagai berikut:
Dua jam sebelum pendaratan, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman yang masih berumur 30 tahun, membangunkanku. Setelah menyampaikan informasi yang diterimanya terlebih dahulu, dia mendesak, “Saya minta dengan sangat, agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya.” Sambil mengenakan pakaianku cepat-cepat aku berkata:
“Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua. Kemungkinan Belanda mempertaruhkan kepala Bung Karno. Jika Bung Karno tetap tinggal di sini, Belanda mungkin menembak saya. Dalam kedua hal ini saya menghadapi kematian, tapi jangan kuatir. Saya tidak takut. Anak-anak kita menguburkan tentara Belanda yang mati. Kita perang dengan cara yang beradab, akan tetapi …”
Sudirman mengepalkan tinjunya: “…Kami akan peringatkan kepada Belanda, kalau Belanda menyakiti Sukarno, bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran.”
Sudirman melangkah ke luar dan dengan cemas melihat udara. Ia masih belum melihat tanda-tanda, “Apakah ada instruksi terakhir sebelum saya berangkat?” tanyanya.
“Ya, jangan adakan pertempuran di jalanan dalam kota. Kita tidak mungkin menang. Akan tetapi pindahkanlah tentaramu ke luar kota, Dirman, dan berjuanglah sampai mati. Saya perintahkan kepadamu untuk menyebarkan tentara ke desa-desa. Isilah seluruh lurah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya semesta.
Sekali pun kita harus kembali pada cara amputasi tanpa obat bius dan mempergunakan daun pisang sebagai perban, namun jangan biarkan dunia berkata bahwa kemerdekaan kita dihadiahkan dari dalam tas seorang diplomat. Perlihatkan kepada dunia bahwa kita membeli kemerdekaan itu dengan mahal, dengan darah, keringat dan tekad yang tak kunjung padam. Dan jangan ke luar dari lurah dan bukit hingga Presidenmu memerintahkannya. Ingatlah, sekali pun para pemimpin tertangkap, orang yang di bawahnya harus menggantikannya, baik ia militer maupun sipil. Dan Indonesia tidak akan menyerah!”
Demikian perintah yang disampaikan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta, selaku Kepala Pemerintah dan sekaligus Menteri Pertahanan. Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa. Isi surat tersebut adalah:
I. Dipermaklumkan bahwa dalam rapat Dewan Menteri tanggal 16 Desember ybl. Telah diputuskan, bahwa selama P.Y.M. Presiden dan Wakil Presiden berhalangan, pimpinan Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri, yaitu:
1. Menteri Dalam Negeri, 2. Menteri Kehakiman, 3. Menteri Perhubungan.
II. Dari 3 Menteri tersebut tadi pada waktu ini 2 orang yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman berada di suatu tempat di luar daerah Yogyakarta. Selain daripada beliau-beliau itu di tempat tersebut juga berada Menteri Persediaan Makanan dan Menteri Pembangunan dan Pemuda.
III. Berhubung dengan sejak tanggal 19 Desember 1948 hubungan dengan Yogyakarta terputus, maka 2 orang Menteri tersebut di atas juga duduk dalam pimpinan Pemerintahan Pusat, menganggap perlu mengusahakan agar pemerintahan dapat terus berjalan seperti biasa.
IV. Untuk keperluan ini, selama Menteri yang bersangkutan berhalangan mengerjakan tugasnya, diadakan pembagian pekerjaan sebagai berikut:
a. Pekerjaan Kementerian Pertahanan, Kementerian Agama dan Kementerian Perhubungan dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman, yang juga memimpin Kabinet.
b. Pekerjaan Kementerian Keuangan, Kementerian Kemakmuran dan Kementerian Pekerjaan Umum dipimpin oleh Menteri Persediaan Makanan Kasimo.
c. Pekerjaan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Penerangan dipimpin oleh Menteri Pembangunan dan Pemuda Supeno.
d. Pekerjaan Kementerian Perburuhan dan Sosial, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan serta Kementerian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kehakiman Mr. Susanto.
Demikian pembagian kerja yang diputuskan oleh keempat Menteri yang berada di Jawa.
Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan the di selatan kota Payakumbuh.
Di Sumatera Barat, tentara Belanda dapat menduduki Kota Padang Panjang pada 21 Desember 1948, dan sehari kemudian masuk ke Bukittinggi.
Sejumlah tokoh pimpinan Republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. St. M. Rasyid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracaya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat Presiden Sukarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:
1. Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri a.i.
2. Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
3. Mr. St. M. Rasyid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
4. Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
5. Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
6. Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.
Kapten Dartoyo, Kepala Perhubungan MBT Yogyakarta, menuturkan, berita mengenai pemberian mandat tersebut dikirim melalui radiogram melalui pemancar radio AURI di Wonosari, karena pemancar radio MBT telah dibom Belanda pada pagi hari itu. Panglima Besar Jenderal Sudirman mendukung penuh berdirinya PDRI.
Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa. Akhirnya, menanggapi usulan PDRI, Mr. Susanto mengirim kawat kepada Prawiranegara yang isinya:
1. Menarik kawat Y.M. kepada Menteri Kasimo tanggal 14 Maret No. 243, kami sampaikan pendapat kami seperti berikut.
2. Pada umumnya kami setujui rencana susunan Kabinet dan pembagian pekerjaan yang termuat dalam kawat tersebut.
3. Hanya beberapa perobahan kami usulkan ialah:
a. Sebaiknya Kabinet ini menamakan dirinya tidak “Pemerintah Darurat Republik Indonesia”, akan tetapi “Pemerintah Pusat Republik Indonesia”, karena “peraturan” dapat bersifat darurat akan tetapi “pemerintah” yang menamakan dirinya darurat dapt menimbulkan keragu-raguan tentang syahnya pemerintah itu.
b. Berhubung dengan gugurnya sdr. Supeno, kami di samping Kementerian Kehakiman merangkap menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda.
c. Para anggota kabinet di Jawa tidak merupakan Komisariat Pemerintah Pusat, karena kami tidak berkumpul di satu tempat.
d. Tiap-tiap Menteri dalam keadaan yang mendesak berhak mengatur soal yang masuk kekuasaan Menteri lain, dengan bertindak atas namanya, misalnya kami sendiri telah menetapkan peraturan tentang Promesse – Negara dengan menandatangani: Pemerintah Pusat Republik Indonesia, Menteri Keuangan, untuk beliau Menteri Kehakiman.
e. Tentang politik luar negeri, bagian kabinet yang di Sumatera dalam keadaan yang mendesak dapat mengambil keputusan sendiri, akan tetapi sekali-kali tidak boleh melepaskan tuntutannya Pemerintah Republik selengkapnya sebelum terjadi serangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, artinya Presiden, Wakil Presiden, semua Menteri serta pucuk pimpinan tentara, harus dikembalikan dalam kekuasaannya sepenuhnya dengan jaminan immuniteit dari PBB.
f. Demikianlah pendapat kami.
Menteri Kehakiman
Mr. Susanto Tirtoprojo.
Setelah “konsultasi jarak jauh” dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut:
1. Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
2. Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda,
3. Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India).
4. dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
5. Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
6. Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
7. Kyai Haji Masykur, Menteri Agama.
8. Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
9. Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
10. Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
11. Mr. St. Moh. Rasyid, Menteri Perburuhan dan Sosial.
Pejabat di bidang militer:
a. Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
b. Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
c. Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
d. Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
e. Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
f. Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.
Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa
yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:
1. Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
2. Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
3. R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.
Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasiona,l sejak Belanda melakukan Agresi II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia.
Penangkapan terhadap pimpinan pemerintah Indonesia serta serangan terhadap pasukan Indonesia, dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia waktu itu, yaitu di Sumatera, Jawa dan Madura. Seluruh perwira dan prajurit TNI serta laskar-laskar yang belum sempat diintegrasikan ke dalam TNI, segera ke luar kota, demikian juga di Yogyakarta. Masing-masing satuan menuju ke tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perintah yang tertuang dalam Siasat No. 1 dilaksanakan, yaitu sambil mundur ke wilayah pegunungan, bumi hangus segera dilakukan, terutama menghancurkan jembatan-jembatan agar supaya tidak dapat dilalui kendaraan militer Belanda. Perang gerilya dimulai!
Perlawanan bersenjata dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia serta berbagai laskar di Jawa, Sumatera serta beberapa daerah lain. PDRI menyusun perlawanan di Sumatera. Tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk 5 wilayah pemerintahan militer di Sumatera:
1. Aceh, termasuk Langkat dan Tanah Karo.
Gubernur Militer : Teuku M. Daud di Bereu’eh
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Askari
2. Tapanuli dan Sumatera Timur Bagian Selatan.
Gubernur Militer : dr. Ferdinand Lumban Tobing
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang
3. Riau
Gubernur Militer : R.M. Utoyo
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Hasan Basri
3. Sumatera Barat.
Gubernur Militer : Mr. Sutan Mohammad Rasyid
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim
4. Sumatera Bagian Selatan.
Gubernur Militer : dr. Adnan Kapau Gani
Wakil Gubernur Militer : Letnan Kolonel Maludin Simbolon.
Kol. Hidayat Martaatmaja baru dapat menyampaikan pengangkatan secara resmi kepada Dr. Tobing di daerah gerilya -somewhere- di tengah hutan pada tanggal 3 Maret 1949. Pada waktu itu, Kol Hidayat dalam perjalanan menuju Aceh. Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang, Komandan Sub Teritorial VII, selain sebagai Wakil Gubernur Militer untuk Tapanuli dan Sumatra Timur Selatan, juga merangkap menjadi Wakil Gubernur Militer Aceh untuk Tanah Karo.
Mengenai peran PDRI, Nasution mencatat:
“ Umum mengerti dan mengetahui bahwa promotor perjuangan formil adalah PDRI, semenjak Belanda menduduki Yogyakarta, jadi richtpunkt dari perjuangan menjadi kepada PDRI.”
Dengan difasilitasi oleh UNCI, tanggal 14 April 1949 dimulai perundingan antara Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Rum dengan Delegasi Belanda yang dipimpin oleh Dr. Jan H. van Royen. Tanggal 22 April 1949, delegasi BFO, dipimpin oleh Anak agung Gde Agung, menemui Presiden Sukarno di Bangka. Kelihatannya BFO mencoba memperoleh konsesi dari Republik. Tanggal 25 April, Wakil Presiden M. Hatta tiba di Jakarta dari Bangka dan Hamengku Buwono juga tiba di Jakarta dari Yogyakarta.
Tanggal 7 Mei 1949, ditandatangani kesepakatan yang dinamakan Perjanjian Rum-Royen. Dalam perundingan tersebut, Mr. Mohammad Rum menyampaikan sikap Republik sebagai berikut:
Statement Delegasi Republik Indonesia
(Diucapkan oleh Mr. Moh. Rum)
Sebagai Ketua Delegasi Republik, saya diberi kuasa oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menyatakan kesanggupan mereka sendiri (persoonlijk), sesuai dengan Resoludi Dewan Keamanan tertanggal 28 Januari 1949 dan petunjuk-petunjuknya tertanggal 23 Maret 1949 untuk memudahkan tercapainya:
1. pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya;
2. kerjasama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, dan
3. turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di Yogyakarta.
Jadi dalam pernyataan tersebut, Delegasi Republik menyampaikan kesanggupan Sukarno-Hatta sehubungan dengan perintah gencatan senjata, apabila mereka telah kembali ke Yogyakarta. Sehingga dengan demikian, delegasi Republik mengalah dengan memberikan konsesi tersebut. Belanda merasa tidak kehilangan muka. Oleh sebab itu, atas statement Delegasi Indonesia, Delegasi Belanda memberikan jawaban dalam bentuk statement juga yang berbunyi:
Statement Delegasi Pemerintah Belanda
(Dibacakan oleh Dr. van Royen)
1. Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa berhubung dengan kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Rum, ia menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Delegasi Belanda selanjutnya menyetujui pembentukan panitia bersama atau lebih di bawah auspices UNCI (KPBBI) dengan maksud:
a. mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Mempelajari dan memberi nasehat tentang tindakan-tindakan yang akan diambil untuk melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerjasama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
2. Pemerintah Belanda setuju bahwa Pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melaksanakan pekerjaannya yang sepatutnya dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta dan bahwa ini adalah satu langkah yang dilakukan sesuai dengan maksud petunjuk-petunjuk Dewan Keamanan tanggal 23 Maret 1949.
3. Pemerintah Belanda menguatkan sekali lagi kesanggupannya untuk menjamin penghentian segera dari semua gerakan-gerakan militer dab membebaskan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik yang ditangkapnya sejak 17 Desember 1948 dalam Republik Indonesia.
4. Dengan tidak mengurangi hak bagian-bagian bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai yang diakui dalam asas-asas Linggajati dan Renville, Pemerintah Belanda tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara atau daerah-daerah di atas daerah yang dikuasai oleh Republik sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan daerah Republik tersebut.
5. Pemerintah Belanda menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai satu staat yang nanti akan duduk dalam Negara Indonesia Serikat. Apabila suatu Badan Perwakilan Sementara untuk Indonesia dibentuk dan karena itu perlu ditetapkan jumlah perwakilan Republik dalam Badan tersebut, jumlah itu ialah separuh dari jumlah anggota-anggota semua, di luar anggota-anggota Republik.
6. Sesuai dengan maksud dalam petunjuk Dewan Keamanan tanggal 23 Maret 1949 yang mengenai Konferensi Meja Bundar di Den Haag, supaya perundingan-perundingan yang dimaksud oleh Resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 dapat diadakan selekas-lekasnya, maka Pemerintah Belanda akan berusaha sesungguh-sungguhnya supaya konferensi itu segera diadakan sesudahnya Pemrintah Republik kembali ke Yogyakarta. Pada konferensi itu, perundingan-perundingan akan diadakan tentang cara bagaimana mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat sesuai dengan asas-asas Renville.
7. Berhubung dengan keperluan kerjasama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, Pemerintah Belanda setuju bahwa di semua daerah di luar Karesidenan Yogyakarta, di mana pegawai sipil, polisi dan pegawai Pemerintah Indonesia (Pemerintah Belanda di Indonesia) lainnya sekarang tidak bekerja, maka pegawai sipil, polisi dan pegawai Republik lainnya masih terus bekerja, akan tetapi dalam jabatan mereka.
Dengan sendirinya pembesar-pembesar Belanda membantu Pemerintah Republik dalam hal keperluan-keperluan yang dikehendakinya menurut pertimbangan yang pantas untuk perhubungan dan konsultasi dengan segala orang di Indonesia, terhitung juga mereka yang bekerja dalam jabatan sipil dan militer Republik, dan detail-detail tehnik akan diselenggarakan oleh kedua belah pihak di bawah pengawasan UNCI.
Setelah disampaikan janji Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta, yang akan mengeluarkan perintah kepada gerilyawan untuk menghentikan pertempuran, setelah Pemerintah Republik dipulihkan di Yogyakarta, Belanda tidak mempunyai alasan lagi untuk menunda pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 28 Januari tersebut. Dengan dicapainya kesepakatan Rum-Royen, maka pintu menuju perundingan antara Republik dengan Belanda, telah terbuka.
Namun, dalam fase menjelang perundingan dengan Belanda, nampaknya PDRI serta pimpinan tertinggi TNI sama sekali tidak dilibatkan, atau pun ditanyakan pendapatnya. Disadari atau tidak, yaktik Belanda untuk memecah-belah Republik membuahkan hasil. Beberapa kalangan di pihak Republik menilai, bahwa kesediaan untuk dilakukan perundingan dengan Belanda yang menghasilkan Persetujuan Rum-Royen, telah mengingkari kesepakatan antara pimpinan sipil dan militer Republik, yaitu:
"Tidak akan melakukan pembicaraan apapun, sebelum para pemimpin Republik dibebaskan, serta Pemerintah Republik dipulihkan di Yogyakarta"
Selain itu formulasi yang digunakan oleh Mr. M. Rum dalam butir satu dari statement-nya, yaitu:
"pengeluaran perintah kepada pengikut-pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya",
telah menimbulkan kemarahan besar di pihak TNI, yang sangat kecewa, bahwa Mr. M. Rum tidak menggunakan kata Angkatan Perang Republik Indonesia atau Tentara Nasional Indonesia, melainkan hanya menggunakan "pengikut-pengikut Republik yang bersenjata." Ini adalah formulasi yang selalu dipergunakan oleh Belanda -dan juga Inggris- sejak semula, karena Belanda tidak mau mengakui adanya Angkatan Perang Republik Indonesia atau TNI. Sehubungan dengan hal ini, tanggal 22 Juni 1949, Panglima Besar Sudirman mengirim nota protes yang berbunyi:
1. Kami, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, yang telah mengeluarkan komunike Markas Besar Angkatan Perang tanggal 11 Maret '49, di mana dinyatakan, bahwa APRI masih tegak berdiri dengan teratur dan lengkap, baik di Jawa maupun Sumatera, yang sewaktu-waktu dapat dibuktikan oleh siapapun juga, memajukan protes keras terhadap keluarnya statement delegasi Republik di Jakarta tanggal 7 Mei '49 yang mempergunakan pengikut-pengikut Republik yang bersenjata dalam fatsal satu. Karena dengan mempergunakan perkataan tersebut, seolah-olah delegasi kita tidak mengakui lagi adanya APRI, yang sampai saat ini masih tetap meneruskan perjoangan, sehingga dengan tetapnya perjoangan APRI itu, dunia internasional masih tetap mengakui adanya pemerintah dan negara Republik Indonesia pula bersimpati pada perjoangannya.
2. Kami mengusulkan, supaya PDRI dengan segera memberi perintah kepada ketua delegasi, untuk dalam statement fatsal satu dengan perkataan APRI atau perkataan Tentara.
3. Untuk menjamin selamatnya perjoangan kita bersama yang telah memakan banyak korban, maka hendaknya ketua delegasi diperingatkan agar senantiasa berhati-hati dalam tindakannya.
Panglima Besar Angkatan Perang RI
Letnan Jenderal Sudirman
Sejak pembentukan PDRI tanggal 22 Desember 1948, Pemerintah Belanda dan BFO tidak pernah mau mengakuinya. Demikian juga sikap Belanda terhadap TNI, dan selalu menyebutkan TNI hanya sebagai pengikut Republik yang bersenjata. Langkah pimpinan Republik yang dalam fase penting ini mengabaikan PDRI dan pimpinan TNI, tentu sangat gegabah dan menimbulkan tentangan keras, baik dari pimpinan militer di Jawa maupun di Sumatera. Pimpinan sipil menyadari, bahwa apabila TNI tidak mendukung hasil persetujuan Rum-Royen, perundingan selanjutnya tentu tidak dapat dilakukan. Kemarahan Panglima Besar dan TNI tersebut segera dilaporkan kepada Presiden Sukarno di Pangkalpinang, yang segera mengirim surat kepada Panglima Besar Sudirman, yang isinya sebagai berikut:
Pangkalpinang, 23 Mei 1949
Kepada
Yang Mulia Panglima Besar
di
Tempat
Merdeka!
Seperti Yang Mulia telah mengetahui, pada tanggal 7 bulan ini oleh delegasi kita dan delegasi Belanda telah ditandatangani sebuah persetujuan mengenai pemulihan Pemerintah Republik ke Yogyakarta.
Untuk melaksanakan pemulihan itu telah dibentuk dua panitia, antara lain satu panitia yang diketuai oleh YM Dr. Leimena dan yang berkewajiban membicarakan soal-soal tentang pemberhentian permusuhan (gencatan senjata dan sebagainya). Oleh karena pekerjaan ini mengenai banyak fihak militer, maka perlulah panitia ini dapat bantuan dari fihak militer kita. Sebab dari itu kami minta kepada YM supaya selekas-lekasnya membentuk satu Panitia Militer, yang terdiri dari beberapa ahli, misalnya Kolonel Simatupang dan 2 atau 3 orang lagi, yang berkewajiban membantu Panitia Leimena tersebut.
Selain daripada itu, kami mendengar bahwa YM sudah sembuh dan sekarang dapat bekerja dengan giat. Berita ini tentu saja menggembirakan hati kami.
Supaya kami, jika Pemerintah Republik sudah kembali di Yogyakarta, lekas dapat berhubungan sehari-hari dengan YM dan YM dapat lekas masuk ke dalam kota, maka saya harap sudilah YM sekarang mendekati kota Yogyakarta. Juga untuk menjaga kesehatan YM kami kira lebih baik YM lekas kembali ke Yogyakarta, jika Pemerintah Republik sudah ada di dalam kota itu.
Wassalam
Ttd (Sukarno)
Ttd (Mohammad Hatta)
Mr. M. Rum, yang menyadari kesalahannya tersebut, juga mengirim suratkepada HB IX untuk membantu meredakan kemarahan Panglima Besar. Dalam suratnya tanggal 25 Mei kepada Hamengku Buwono IX, Rum meminta agar HB IX segera menghubungi Panglima Besar, guna menunjuk Kolonel Simatupang menjadi penasihat militer dalam delegasi Indonesia. Surat Rum kepada HB IX isinya sebagai berikut:
Jakarta, 25 Mei 1949
Assalamu'alaikum w.w.
YM Saudara Sri Sultan.
Saudara Juanda membawa surat dari Bung Karno untuk Panglima Besar, di mana diusulkan untuk menunjuk Kolonel Simatupang dan satu atau dua lain opsir TNI untuk menjadi penasihat ahli dalam urusan militer dalam perundingan permulaan ini. Kami sendiri merasa tidak senang mengadakan perundingan, sekalipun bersifat meninjau atau orientasi dengan tidak hadirnya penasihat-penasihat militer. Tempo sebelum pemerintah kembali ke Yogya ini memang harus dipergunakan untuk mengadakan discussions tentang hal-hal mengenai cease fire dan Ronde Tafel Conferentie.
Berhubung dengan itu sudilah YM saudara memberi bantuannya supaya Delegasi Republik selekas mungkin mendapat penasihat militer, yaitu Kolonel Simatupang dan lain-lainnya satu atau dua orang yang akan ditunjuk oleh Panglima Besar. Tentang kondisi dari Belanda, selama dalam perjalanan mereka akan memberi faciliteiten, sampai mereka datang di Jakarta, sehingga dapat dirundingkan dengan lanjut. Ini mengenai keberatan Belanda memakai tanda-tanda TNI jika ada di luar meeting, untuk menghindarkan incidenten, selama belum ada cease fire.
Atas bantuan YM saya mengucap banyak terima kasih.
Merdeka
Ttd. Mr. Rum.
Namun kesalahan yang baru belakangan disadari, hanya menambah panjang rangkaian perlakuan buruk para politisi terhadap militer. Baik surat Presiden Sukarno, mau pun dari HB IX, belum dapat meredakan amarah Panglima Besar, yang menolak keikutsertaan militer dalam perundingan selanjutnya. Atas surat Mr. M. Rum tersebut, Panglima Besar menulis surat kepada Simatupang tanggal 6 Juni 1949 (baru diterima oleh Simatupang tanggal 19 Juni):
Markas Besar Angkatan Perang
Republik Indonesia
No. : 29/PB/49
Hal : delegasi/perundingan
Sifat : Sangat rahasia
Lamp. : 1 helai surat.
Kepada Yth.
Pt. Wk. KSAP
Kol. T.B. Simatupang
Di tempat
Merdeka,
Surat-surat pt. (= paduka tuan. Lazim digunakan pada waktu itu -pen.) yang bersifat pandangan dan tinjauan politik/ militer/ ekonomi dsb. Telah saya terima dan telah saya baca dengan penuh perhatian dan saya merasa mendapat bahan pertimbangan yang sangat berharga.
Saya beritakan pada pt. Bahwa baru-baru ini saya menerima surat dari Y.M. Mr. Rum lewat Sri Paduka Sultan, yang maksudnya minta supaya saya pada saat ini (dengan segera mengirimkan wakil-wakil militer ke Jakarta dan di antaranya diminta pt. Sendiri.
Permintaan itu saya tolak karena tidak sesuai lagi dengan ketentuan-ketentuan semula yang tercantum dalam surat-surat resmi dan perslag perundingan voor Conf. Jakarta yang telah lama saya terima.
Untuk jelasnya pt. Dapat membaca surat balasan saya pada Y.M. Mr. Rum lewat Sri Paduka Sultan, yang saya lampirkan.
Hendaknya pt. Juga teguh dalam pendirian seperti dinyatakan dalam surat pt. Sendiri, bahwa segala sesuatu itu dimasak di Yogya, tidak di Jakarta.
Semoga Tuhan melindungi kita bersama sehingga kita dapat segera berjumpa dalam keadaan selamat. Amin.
Di tempat, 6 Juni '49
Panglima Besar APRI
Cap/ttd.
Pada 27 Juni 1949, Simatupang menjawab surat Panglima Besar yang isinya sebagai berikut:
No. 83 (SK) GASP/49 RAHASIA
KEMENTERIAN PERTAHANAN
STAF ANGKATAN PERANG
Dari : Kepala Staf Angkatan Perang
Kepada : YM Panglima Besar APRI
Pokok : Sekitar perundingan
Surat YM No. 29/PB/49, tertanggal 6 Juni 1949, telah saya terima dan saya baca dengan penuh perhatian.
Pada bulan Maret tahun ini saya telah menuju ke Timur untuk menemui YM; waktu saya ada di daerah Lawu, perundingan-perundingan di Dewan Keamanan telah selesai dan telah terang besar kemungkinan perundingan di Jakarta segera akan dimulai.
Berhubung dengan itu terpaksa saya tergesa-gesa menuju ke daerah Yogya agar supaya saya dapat mengikuti perundingan, walaupun dari jarak jauh, dan menyampaikan berita-berita tentang keadaan yang sebenarnya di luar kota-kota yang diduduki oleh Belanda.
Pada tingkat permulaan, maka terutama saya minta dari Delegasi supaya Delegasi hanya bersedia untuk kembali ke Yogyakarta dengan tidak bersyarat dan tidak terikat, dan apabila tuntutan itu tidak dapat diterima oleh Belanda, supaya soal Indonesia dikembalikan saja ke Lake Success (tempat Dewan Keamanan bersidang waktu itu).
Delegasi sendiri pada permulaannya mempunyai pendirian seperti yang tersebut di atas, tetapi rupa-rupanya setelah beberapa waktu PYM Wakil Presiden dan delegasi berpendapat bahwa suatu pendirian yang agak berlainan akan lebih menguntungkan.
Demikianlah lahir persetujuan Rum - van Royen.
Waktu saya menerima teks dari persetujuan itu telah terang bagi saya bahwa persetujuan bahwa persetujuan tsb. Akan menimbulkan kesulitan-kesulitan yang besar, dan bahwa hanya kebijaksanaan yang besar dari semua orang yang bertanggung jawab dapat menghindarkan malapetaka berupa perpecahan.
Dalam surat saya yang pertama kepada delegasi, setelah saya menerima teks persetujuan, telah saya minta, agar delegasi hanya bersedia membicarakan soal-soal penghentian permusuhan setelah pemerintah kembali di Yogyakarta.
Kemudian saya menrima kabar bahwa Panitia yang harus membicarakan soal penghentian permusuhan telah diadakan, dan bahwa pembicaraan hanya bersifat tidak resmi.
Akan tetapi menurut pengalaman, pembicaraan-pembicaraan yang disebut tidak resmi itu pada akhirnya mengikat juga, dan kepada delegasi saya berikan anjuran, di mana Panitia Penghentian permusuhan telah diasakan, supaya pembicaraan di dalamnya diulur-ulur saja sampai persiapan pengembalian Yogyakarta selesai, paling tinggi dibicarakan hanya dasar-dasar politik bagi penghentian permusuhan.
Demikianlah pembicaraan-pembicaraan dalam Panitia penghentian permusuhan maju dengan lambat, sampai rupa-rupanya akhir-akhir ini timbul semacam krisis dalam perundingan oleh karena Belanda mengulur pengembalian Yogyakarta sebagai jawab terhadap penguluran kita dalam pembicaraan penghentian permusuhan.
Berita-berita yang terakhir belum saya terima, tetapi kemarin dulu radio Jakarta menyiarkan bahwa telah ada persetujuan tentang penghentian permusuhan.
Mengingat surat-surat yang terakhir dan dokumen-dokumen yang saya terima dari dr. Leimena, maka ada kemungkinan bahwa rencana-rencana Cochran telah disetujui kedua pihak, mungkin diubah di sana-sini. Menurut surat dr. Leimena dokumen-dokumen itu akan dimajukan nanti kepada kabinet dan pimpinan Angkatan Perang. Kemudian kabinet dan pimpinan angkatan Perang akan menentukan sikapnya.
Pada waktu ini ada berbagai bagai pendirian di kalangan Angkatan Perang. Saya sebut sebagai contoh:
Kolonel Hidayat waktu bertemu dengan PYM Wakil Presiden di Kotaraja, menurut kabar menerangkan akan menjalankan segala putusan, dan hanya akan berhenti apabila telah terbukti bahwa putusan itu tidak dapat dijalankan.
Kolonel Nasution mengusulkan untuk mencari jalan menghindarkan diri dari penghentian permusuhan, karena menurut perhitungannya, apabila pertempuran diteruskan, dalam bulan September yang akan datang Belanda akan demikian lemahnya, sehingga dia akan terpaksa menrima semua tuntutan kita.
Letnan Kolonel Abimanyu berpendirian, penghentian permusuhan hanya mungkin setelah penyelesaian politik, akan tetapi apabila Pemerintah memerintahkan penghentian permusuhan akan dituruti juga. Hanya dia minta supaya Belanda hanya tinggal di kota-kota dan bumi hangus mau diteruskannya.
Letnan Kolonel Yani berpendapat: sanggup menjalankan perjuangan lama, cuma soal peluru dan jaminan keluarga haruslah diurus oleh atasan.
Mayor Sudarsono khawatir, apabila ada penghentian permusuhan, bantuan rakyat akan berkurang, anggota-anggota Angkatan Bersenjata kita tidak mempunyai pekerjaan, sehingga mungkin semangatnya merosot, kesulitan-kesulitan politik di dalam negeri akan bertambah sedangkan sebaliknya Belanda terus akan mendidik kader. Dan memang menurut kabar yang diterima dari negeri Belanda di sana masih dididik kader untuk Indie.
Dari Jawa Timur belum saya dengar reaksi.
Untuk menetapkan satu rencana dan sikap yang tegas bagi seluruh Angkatan Perang, sedapat mungkin sesuai dengan politik pemerintah, saya kira soal-soal ini harus dibicarakan masak-masak dalam Dewan Siasat Militer.
Saya sendiri berpendapat bahwa perundingan tidak akan dapat berlangsung lebih dari 3 a 4 bulan; sesudah itu agaknya akan ada peperangan lagi atau penyelesaian umum.
Soal bagi kita ialah apakah kita selama 3 a 4 bulan itu dapat memperkuat kedudukan pemerintahan ke luar dan menyusun kekuatan dan memelihara persatuan ke dalam.
Dokumen-dokumen yang dikirim dari Jakarta saya anggap dapat dipergunakan demikian, sehingga hal-hal yang di atas tercapai.
Kalau sesudah 3 a 4 bulan peperangan muali lagi, haruslah kita dalam 3 a 4 bulan itu telah memperbaiki perlengkapan, susunan kita, dan lain-lain.
Kalau setelah 3 a 4 bulan itu tercapai persetujuan umum, haruslah persetujuan itu memuaskan bagi golongan-golongan yang terbesar di Indonesia.
Dalam hal itu, tentu kita akan menghadapi banyak soal, antaranya bagi kita yang penting:
(a) bagaimana caranya membentuk Angkatan Perang untuk seluruh Indonesia;
(b) bagaimana caranya mengakhiri akibat-akibat perjuangan dengan cara yang konstruktif untuk negara (soal pelajar-pelajar, dan lain-lain).
Mudah-mudahan saya segera akan dapat menemui YM dalam keadaan sehat wal'afiat untuk menjelaskan hal-hal yang di atas lebih lanjut.
Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang
Cap/ttd.
(T.B. Simatupang, Kolonel)
Tembusan:
1. Inspektur Jenderal AP
2. Panglima Yentara dan Teritorium Jawa
Semula, Syafruddin Prawiranegara enggan datang ke Jakarta, namun M. Natsir berhasil meyakinkan Prawiranegara untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.
Setelah Persetujuan Rum-Royen ditandatangani, pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Rum-Royen. Sebab utama Sukarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika para beliau itu ke luar haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.
Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri.
Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal 14 Juli, Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Rum-Royen, sedangkan KNIP baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal 25 Juli 1949.