Jepang dan Jerman sejak beberapa tahun belakangan menunjukkan ambisi besar untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Security Council), suatu organ PBB yang sangat bergengsi. Dua negara yang melancarkan agresi militer terhadap negara-negara tetangganya, yang mengakibatkan tewasnya lebih dari 100 (!) juta orang.
Di Pontianak, Kalimantan Barat, terjadi pembantaian atas kaum intelektual serta tokoh-tokoh masyarakat, yang dianggap menentang kebijakan tentara pendudukan Jepang. Diperkirakan lebih dari 1.000 orang yang tewas dibunuh oleh tentara Jepang sehubungan dengan hal ini. Tanggal 22 Januari 1942, balatentara Dai Nippon mendarat di Pemangkat, muara sungai Kapuas, Singkawang dan Ketapang, dan kemudian merebut Pontianak tanggal 2 Februari 1942. Tanpa mendapat perlawanan dari tentara Belanda yang segera melarikan diri, dalam waktu singkat tentara Jepang dapat menguasai seluruh Kalimantan Barat. Pemerintahan di Kalimantan Barat awalnya dipegang oleh Rykugun (Angkatan Darat Jepang), kemudian sejak 15 Juli 1942, di bawah Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Penangkapan pimpinan Indonesia yang dianggap menentang kebijakan Jepang dimulai tanggal 14 April 1943, sedangkan penangkapan besar-besaran dilakukan tanggal 24 Mei 1944, dan eksekusi dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 1944.
Yang menjadi korban keganasan tentara Jepang adalah jajaran tinggi di masyarakat Kalimantan Barat. Sultan Pontianak, Syarif Muhammad Alkadrie beserta seluruh kerabat di lingkungan Istana yang berjumlah 60 orang serta sejumlah orang di luar lingkungan Istana, ditangkap dan dibawa dengan truk yang ditutupi kain terpal. Diperkirakan mereka dibawa ke tempat yang kemudian dikenal sebagai salah satu ladang pembantaian (killing field) di Kalimantan Barat, yaitu di suatu kamp konsentrasi yang didirikan oleh tentara Jepang di kawasan hutan pinus dekat desa Kopyang, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, sekitar 88 kilometer dari Pontianak. Nampaknya Jepang meniru langkah Jerman di Eropa, yang mendirikan kamp konsentrasi di Auschwitz (bahasa Polandia: Oświęcim), di Polandia, sebagai tempat penampungan orang Yahudi yang ditangkap dari seluruh Eropa, untuk kemudian dibunuh di sana. Tahanan yang dibawa oleh tentara Jepang bukan saja dari Kalimantan, melainkan juga dari berbagai daerah di Indonesia, terutama dari Jawa.
Tak satu pun keluarga Sultan yang kembali, sehingga dengan demikian diperkirakan mereka semua telah tewas dibantai oleh tentara Jepang. Selain keluarga Sultan Pontianak, tercatat juga antara lain Panembahan Muhammad Thaufiek Akkamuddin, Raja Mempawah; Panembahan Gusti Abdulhamid Azis, Raja Landak Ngabang; Panembahan Gusti Muhammad Saunan, Raja Sukadana; Ade Mohammad Arief, Panembahan Kerajaan Sanggau Kapuas; Syarief Saleh Alidrus, Panembahan Kerajaan Kubu. Mereka termasuk 10 Panembahan dan dua Sultan yang tewas dibantai Jepang, yang sebagian besar dilakukan di Killing Field di Kecamatan Mandor tersebut.
Tentara Jepang tidak hanya menangkap dan membunuh raja-raja penentang mereka, namun juga para intelektual serta tokoh masyarakat yang dinilai tidak mendukung pendudukan Jepang, seperti halnya suami-isteri dr. Rubini, Kepala Rumah Sakit Umum Pontianak; dr. Sunaryo Martowardoyo, Kepala Rumah Sakit Jiwa Pontianak; dr. Ismael, Kepala Rumah Sakit Umum Singkawang; dr. R.M. Achmad Diponegoro, dokter Rumah Sakit Umum Pontianak; dr. Luhema, dokter Rumah Sakit Sambas; drh. Bagindo Nazaruddin, Pontianak; R. Mohammad Jusuf Prabukusuma, Ketua Parindra Sambas; R.M. Sutopo Singgih Kolopaking, wakil kepala kantor PU Landak-Ngabang; suami-isteri Panangian Harahap. Para gurupun tak luput dari penangkapan dan pembunuhan, seperti halnya dengan Ya’ Abdullah, yang diciduk tentara Jepang dari ruang kelas ketika sedang mengajar.
Tidak dapat dipastikan berapa jumlah kaum intelektual, penguasa setempat (Sultan serta Panembahan), pengusaha, politisi dll. yang menjadi korban keganasan tentara Jepang antara tanggal 23 April 1943 – 24 Mei 1944. Angkanya bervariasi antara 1534 orang sampai 1.838 orang. Namun penduduk Kalimantan Barat yang tewas selama masa pendudukan Jepang dari tahun 1942 – 1945 diperkirakan berjumlah 21.037 jiwa. Keterangan mengenai hal ini diberikan oleh Kyotoda Takahashi, salah seorang mantan tentara pendudukan Jepang yang pernah bertugas di Pontianak, pada tanggal 22 Maret 1977, ketika bersama rombongan mantan tentara Jepang berkunjung ke Pontianak. Menurut Takahashi, yang didampingi oleh Tsunesuke Masco, Sadao Hiraga dan Otonihisa Asuka, data tersebut ada di dokumen perang yang tersimpan di Perpustakaan Tokyo University dan Kyoto University.
Ternyata, yang dibunuh di Mandorbukan hanya tokoh-tokoh masyarakat setempat yang menentang pendudukan Jepang, melainkan juga dari seluruh Indonesia. Jepang membuat Mandor menjadi seperti Auschwitz di Eropa, di mana Jerman mengumpulkan orang-orang Yahudi dan para penentang rezim Hitler, kemudian dibawa ke Auschwitz untuk dibunuh secara massal.
Sangat disayangkan, higga saaat ini sangat kurang penelitian mengenai jumlah korban yang dibawa dari seluruh Indonesia ke Mandor.
Ketika disidangkan di Mahkamah Militer tentara Sekutu pada bulan Oktober-November 1945, Yamamoto, Komandan Kempetai di Pontianak mengakui, bahwa target jumlah pimpinan masyarakat setempat dan dari seluruh Indonesia yang akan dibunuh adalah 50.000 orang.
Kekejaman yang dilakukan tentara pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun, tidak kalah dibandingkan kekejaman yang dilakukan Belanda selama masa penjajahan, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, dan Belanda berusaha untuk kembali berkuasa di Indonesia. Berbagai kesengsaraan diderita oleh rakyat Indonesia akibat penindasan tentara pendudukan Jepang.
Di samping kerja paksa (romusha) yang sangat tidak manusiawi, serta perlakuan yang sangat merendahkan martabat wanita, yaitu memaksa gadis-gadis Indonesia menjadi wanita penghibur (Jugun yanfu) untuk memuaskan nafsu tentara Jepang, pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan oleh tentara Jepang adalah pembantaian ribuan kaum intelektual serta tokoh masyarakat Indonesia yang dilakukan di killing field di Kecamatan Mandor, Kalimantan Barat dan pembunuhan orang-orang Papua yang kemudian daging mereka dimakan, karena tentara Jepang yang diinternir oleh Sekutu di Papua Barat kekurangan makanan.
Hal-hal tersebut belum pernah diungkap dan dibahas secara tuntas. Pengungkapan peristiwa-peristiwa tersebut bukan saja penting untuk meluruskan penulisan sejarah, melainkan juga untuk memberi rasa keadilan bagi para korban serta keluarga yang ditinggalkan.Korban invasi Jepang ke Asia diperkirakan mencapai hampir 50 juta jiwa, di mana korban tewas terbesar di Cina, sekitar 30 juta, di Korea 9 juta, di Indonesia 4 juta, di Vietnam 2 juta, di India 1,5 juta dan ratusan ribu lainnya di negara-negara Asia lain, seperti Malaysia, Myanmar (Birma) dan Thailand.
Demikianlah sekilas mengenai keganasan balatentara pendudukan Dai Nippon di Kalimantan Barat.
********
Monday, February 20, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
L.S.;
A contact of mine(a keturunan Sultan Sambas;Uray Nicolaas) made a booklett in English and Indonesian about the killing on the kings and intelligentia and many important people and many royalty of Kalbar.
You can contact me about it at pusaka.tick@tiscali.nl .
Thank you.
Hormat saya:
D.P. Tick gRMK
secretary Pusat Dokumentasi Kerajaan2 di Indonesia "Pusaka"
Vlaardingen/Holland
www.royaltimor.com
permisi, izin copy ya utk tugas...
Post a Comment