Beberapa tahun belakangan, Belanda terlihat sangat berambisi menjadi pusat hukum dan HAM internasional. Bila meneliti sejarah selama beberapa ratus belakangan, akan terlihat, bahwa Belanda, yang tangannya penuh berlumuran darah dari berbagai tindak kejahatan internasional terbesar, sangatlah tidak pantas menyandang predikat “Pusat Keadilan dan HAM Dunia.”
Selama ratusan tahun, diawali dengan pembantaian penduduk Pulau Banda tahun 1621, Belanda telah melakukan pelanggaran HAM berat yang tak terhitung jumlahnya, bukan hanya di Bumi Nusantara, melainkan di wilayah jajahan lainnya di Afrika dan Asia. Tidak ada jenis pelanggaran HAM berat yang tidak dilakukan oleh Belanda, dari mulai perbudakan, pembantaian etnis, pembantaian massal dan sebagainya.
Pada 1 Januari 2003, International Criminal Court (ICC) secara resmi berdiri dengan kedudukan di Den Haag. Pemerintah Belanda membebaskan ICC dari beban untuk menyewa tempat untuk 10 tahun, dan juga menanggung biaya 100 unit kerja untuk tahun pertama. Sebelum ini, pada tahun 1913 di Den Haag telah didirikan Istana Perdamaian (Palace of Peace) sebagai tempat kedudukan Permanent Court of Arbitration sehubungan dengan pengembangan International Law, dan pada tahun 1922, gedung ini juga menampung Permanent Court of International Justice. Setelah Perang Dunia II, Permanent Court of International Justice digantikan oleh International Court of Justice (Pengadilan Internasional), satu organ dari PBB.
Mengapa Belanda begitu menggebu-gebu menarik berbagai lembaga peradilan dan kriminal internasional ke negaranya?
Mungkin ini suatu upaya untuk menutupi masa lampau Belanda yang sangat hitam, sehubungan dengan sejumlah besar pelanggaran HAM berat yang telah mereka lakukan di masa lampau.
Menurut ketetapan International Criminal Court, jenis pelanggaran tertinggi adalah Genocide (pembantaian etnis). Pelanggaran HAM berat ini dilakukan oleh Belanda terhadap etnis Tionghoa di Jakarta (dahulu Batavia) bulan Oktober 1740, di mana diperkirakan antara 10.000 sampai 24.000 etnis Tionghoa dibantai –termasuk anak-anak dan bahkan pasien di rumah sakit- atas instruksi Gubernur Jenderal Valckenier. Tak ada seorangpun yang diadili atas pembunuhan.
Setelah Genocide, jenis pelanggaran HAM tertinggi kedua adalah Crimes against humanity (kejahatan atas kemanusiaan). Mengenai kejahatan ini, Belanda memiliki daftar yang sangat panjang, dimulai dari pembantaian di Banda tahun 1621 yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal J.P. Coen, di mana penduduk Banda yang melawan Belanda dibunuh, dan sisanya sekitar 800 orang dibawa ke Pulau Jawa dan dijual sebagai budak. Kejahatan yang terbesar dilakukan oleh Belanda di Indonesia adalah pembantaian dan perkosaan di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan elit Depot Speciaale Troepen di bawah komando Westerling. Diperkirakan penduduk yang tewas dibantai antara 20.000 – 40.000 orang. Tak terhitung yang diperkosa oleh perwira dan serdadu Belanda. Tak seorangpun yang dihukum atas pembunuhan, dan bahkan tidak pernah sama sekali dimajukan ke pengadilan.
Kejahatan terakhir yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia dilakukan pada 23 Januari 1950, setelah penyerahan Kedaulatan dari Belanda kepada RIS, di mana hampir 100 orang anggota TNI di Bandung –dalam keadaan damai- dibantai oleh tentara Belanda di bawah komando Westerling, yang berusaha melakukan kudeta terhadap Pemerintah RIS. Hanya segelintir tentara Belanda yang mendapat hukuman yang sangat ringan, sedangkan Westerling sendiri diselamatkan oleh jajaran tertinggi tentara Belanda di Indonesia. Westerling tertangkap di Singapura, namun pengadilan Inggris di Singapura membebaskannya, demikian juga di pengadilan di Belanda, di mana ia juga dinyatakan bebas dari segala tuntutan pada 17 Desember 1954.
Di Belanda hingga saat ini peristiwa-peristiwa yang terjadi di Eropa antara tahun 1939 – 1945 dan di Asia dari 1942 – 1945, masih aktual terus. Pada bulan Juli 2003 di Belanda diselenggarakan konferensi yang membahas peristiwa tahun 1946 di Indonesia, yang disebut sebagai masa bersiap, di mana orang Belanda menuturkan pengalaman mereka sebagai korban pembalasan dendam rakyat Indonesia. Mereka nampaknya tidak menyadari, mengapa banyak rakyat Indonesia yang menyimpan dendam terhadap Belanda dan pribumi pendukung mereka.
Di Belanda didirikan berbagai organisasi yang menuntut Jerman dan Jepang atas kejahatan perang, masa interniran dan pelanggaran HAM lain yang dilakukan oleh tentara Jerman dan Jepang selama Perang Dunia II.
Pada 4 April 1990 didirikan Yayasan Utang Kehormatan Jepang – Stichting Japanse Ereschulden (The Foundation of Japanese Honorary Debts). Pada acara di Oost Indische Monument di Den Haag tanggal 22 Mei 2000 yayasan ini membagikan kaos yang bertulisan –di depan dan di belakang- “BAYAR UTANG-UTANGMU” dalam bahasa Inggris dan Jepang. Entah apa alasan mereka menggunakan kata “Utang Kehormatan” yang pertama kali dipakai oleh Dr. Conrad Theodore van Deventer, di majalah “De nieuwe Gids” tahun 1899 yang menulis kritik terhadap politik kolonial Belanda dengan judul “Een Eereschuld” (Honorary debts = Utang kehormatan), di mana ia memaparkan kesengsaraan rakyat di India Belanda sebagai akibat sistim tanam paksa, liberalisasi perdagangan dan minimnya perhatian Pemerintah Belanda atas kesejahteraan rakyat jajahannya.
Kemudian pada 26 Juli 2001 berdiri satu yayasan lagi yang dinamakan Stichting Vervolgingsslachtoffers Jappenkamp 1942-1945 (Yayasan untuk Korban Kamp Konsentrasi Jepang 1942-1945) - SVJ, dengan bertujuan antara lain untuk memperjuangkan kompensasi atas kehilangan rumah, harta benda, barang-barang berharga, koleksi seni, modal usaha dll., sebagai akibat pendudukan Jepang di India Belanda.
Ironisnya, SVJ bekerjasama dengan Pemerintah Belanda untuk memaksa bekas India-Belanda (maksudnya Indonesia) agar tidak lagi menunda tugas dan kewajibannya terhadap orang-orang Belanda. Jadi Belanda bukan hanya menuntut Pemerintah Jepang, melainkan juga menuntut Republik Indonesia untuk masa interniran yang mereka alami antara tahun 1942 – 1945. Memang aneh dan lucu!
Kejahatan tertinggi yang ditetapkan oleh International Criminal Court di Den Haag adalah Genocide – pembantaian etnis. Di bawah ini dipaparkan pembantaian etnis yang dilakukan oleh Belanda terhadap etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740, yang selalu ditutup-tutupi oleh Belanda.
********
Monday, February 20, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Pemerintah/politik Belanda tidak mau mengenal dan mengakui kesalahannya sendiri!!
Boleh dan bisa di namakan, mentalitas VOC!! Uang yang paling penting untuk orang yang bersifat
superior!! Kan orang Belanda lebih tinggi dan lebih baik daripada orang lain di Europa....apa lagi
dari pada orang Asia/Indonesia!
"Pusat Keadilan Dunia" kan bagus untuk menyamarkan SIFAT BUSUKNYA!
Post a Comment