28 Oktober 1945
Pertempuran Heroik di Surabaya
Catatan Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Pendahuluan
Ada
satu peristiwa heroik yang hingga kini belum memndapat perhatian dari bangsa Indonesia, yaitu pertempuran
dahsyat yang terjadi pada 28-30 Oktober 1945 di Surabaya, di mana para pemuda dari
hampir seluruh daerah di Indonesia bertempur melawan tentara Inggris, untuk
mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang baru diproklamasikan pada 17
Agustus 1945.
Pada 28 Oktober 1945 di Surabaya, rakyat
Indonesia di Surabaya berhasil mengalahkan tentara Inggris, yang adalah salah
satu pemenang Perang Dunia II. Pada waktu itu Indonesia belum memiliki Tentara
Nasional, yang ada hanyalah Badan Keamanan Rakyat/Tentara Keamanan Rakyat
(BKR/TKR) dan berbagai laskar serta pasukan pemuda/pelajar.
Pertempuran-pertempuran
melawan tentara Sekutu/Inggris yang lebih dikenal sebagai Pertempuran Surabaya (Oktober/November
1945), Pertempuran “Medan Area” (Desember 1945), Palagan Ambarawa (12 – 15 Desember
1945) dan Bandung Lautan Api (Maret 1946), merupakan perjuangan rakyat
Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus
1945. Serangkaian perlawanan dahsyat rakyat Indonesia di berbagai daerah, telah
merubah jalannya sejarah, karena pertempuran-pertempuran yang dahsyat tersebut
telah merubah pandangan tentara Inggris, bahwa Republik Indonesia tidak dapat
ditaklukkan dengan kekuatan bersenjata. Inggris kemudian memaksa Belanda ke
meja perundingan.
Sebenarnya, Tentara Sekutu
-tiga British Indian Divisions- di
bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia
Command, telah menyalahgunakan tugasnya dan berusaha membantu Belanda
memperoleh kembali jajahannya. Tiga Divisi Inggris tersebut dibantu oleh dua
Divisi tentara Australia di bawah Letnan Jenderal Lesley "Ming the
Merciless" Morsehead. Sesuai dengan perjanjian antara Inggris dan
Belanda di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945, tiga divisi tentara
Inggris dan dua divisi tentara Australia “membersihkan” kekuatan bersenjata
pendukung Republik Indonesia, dan setelah “dibersihkan”, diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration
(NICA).
28
Oktober 1945. Pertempuran Heroik di Surabaya
Setelah proklamaasi
kemerdekaan Republik Indonesia dicetuskan pada 17 Agustus 1945, Presiden
Sukarno menyerukan agar di daerah-daerah, selain membentuk Komite Nasional Indonesia
Daerah, juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Di Surabaya dan sekitarnya
pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dipelopori antara lain oleh K.R.M.H.
Yonosewoyo, Sungkono, Surachman, Abdul Wahab, dr. Wiliater Hutagalung, R. Kadim
Prawirodirjo, drg. Mustopo, dan lain-lain. Selain BKR, juga didirikan berbagai
laskar dan pasukan pemuda, seperti TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar).
Perebutan senjata dari
tentara Jepang di Surabaya dimulai sejak pertengahan September 1945. Melihat
bahwa Jepang sangat mengalah kepada Belanda dan bahkan memberikan berbagai
fasilitas serta pengawalan bagi pimpinan Belanda yang baru dilepaskan dari
interniran, membuat kemarahan rakyat terhadap tentara Jepang makin berkobar.
Kalangan pejuang Republik di Surabaya semakin kuat berprasangka, bahwa Jepang
telah bekerjasama dengan Sekutu untuk memberikan peluang kepada Belanda kembali
menjajah Indonesia.
Di Don Bosco, Sawahan,
terdapat salah satu arsenal tentara Jepang terbesar di Asia Tenggara.
Pertempuran untuk merebut senjata yang menimbulkan korban besar di kedua belah
pihak, berakhir dengan menyerahnya tentara Jepang kepada pasukan Indonesia yang
menyerbu. Jumlah senjata yang dapat direbut dari tentara Jepang demikian
banyaknya, sehingga untuk membantu perjuangan di Jakarta dan Yogyakarta,
pimpinan Indonesia di Surabaya dapat mengirim 4 gerbong senjata (sekitar 1000
pucuk senapan) ke Jakarta, dan dua gerbong senjata ke Yogyakarta.
Penyerbuan dan perebutan
senjata yang sangat dramatis di Surabaya dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Oktober
terhadap markas Kempeitai (Polisi Militer) dan markas Kaigun (Angkatan
Laut) Jepang. Kempeitai dianggap sebagai simbol kekejaman tentara Jepang
selama masa pendudukan. Mereka sangat ditakuti rakyat karena kekejamannya,
sehingga pembalasan dendam terutama terhadap anggota Kempeitai juga
tidak kalah kejamnya. Tentara Jepang yang tewas dalam perebutan senjata selama
dua hari tersebut berjumlah 16 orang dan luka-luka 26 orang, serta beberapa
tentara Jepang dilaporkan sebagai hilang. Di pihak Indonesia jatuh korban lebih
banyak, yaitu 26 orang gugur, 50 orang luka-luka. Jumlah yang tewas dan
luka-luka di kedua belah pihak menunjukkan betapa sengitnya pertempuran dua
hari tersebut guna merebut senjata dari tentara Jepang.
Seluruh korban di pihak
Jepang dalam perebutan senjata di Surabaya dan sekitarnya tercatat: 240 tewas,
18 orang hilang dan 36 orang luka-luka. Korban di pihak Indonesia sangat besar.
Kurang diketahui dengan pasti jumlah korban tewas dan luka-luka. Beberapa
sumber menyebutkan, diperkirakan sekitar 500 orang Indonesia tewas dalam
perebutan senjata di Surabaya dan sekitarnya.
Penguasaan rakyat Indonesia
atas persenjataan di pos-pos pertahanan Jepang di Surabaya sangat bervariasi.
Selain perebutan, ada juga yang sukarela diserahkan oleh komandan tentara
Jepang, dan ada juga ditemukan sejumlah besar senjata, amunisi, pakaian,
obat-obatan, gula, beras, dll. yang rupanya ditimbun oleh tentara Jepang;
mungkin dimaksudkan sebagai persediaan rahasia.
Dalam waktu kurang dari dua
bulan, di Surabaya dan sekitarnya telah terbentuk lebih dari 60 satuan BKR dan
Laskar, di mana jumlah rakyat bersenjata diperkirakan mencapai 30.000 orang.
Hal tersebut dimungkinan, karena sebagian terbesar adalah mantan anggota Peta,
Heiho, Gyugun, Keibodan, Seinendan, Hizbullah, yang memperoleh pendidikan dan
pelatihan militer atau semi militer dari Jepang, yang semula dirancang untuk
membantu Jepang dalam pertahanan dan keamanan di India Belanda. Jenis
persenjataan yang dimiliki dari mulai senjata ringan, senjata setenagh berat
sampai senjata berat, tank dan meriam kaliber besar.
Pada 1 September 1945, van
Mook bersama van der Plas menemui Admiral Lord Louis Mountbatten di Kandy,
Ceylon (Sri Lanka), untuk melaksanakan persetujuan Civil Affairs Agreement
(CAA) antara Belanda dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi
Yalta dan Deklarasi Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas
berhasil, karena setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah
tertanggal 2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan
Divisi 5 (Divisi 5 ikut dalam pertempuran di El Alamein, Afrika Utara pada
Juni–Juli 1942 dan kemudian 23 Oktober – 6 November 1942 di mana akhirnya
tentara Inggris di bawah Jenderal Bernard Law Montgommery berhasil memukul
mundur pasukan Jerman di bawah pimpinan perwira legendaris Marsekal Erwin
Rommel ke Libya), yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama
di Surabaya:
Headquarters, S.E. Asia
Command 2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander
S.E.Asia
To : G.O.C. Imperial
Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to
proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the
surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied
prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the
provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and
return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services.
The main landing will be
by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most
reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports
indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a
deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt
aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain
the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and
a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“...In keeping with the
provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and
return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services...”
dan kalimat berikutnya:
“…the local natives have
declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed
before the Japanese Invasion...”
menyatakan secara jelas dan
gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni
(Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status
quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Secara resmi, tugas pokok
yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. Melucuti tentara Jepang
serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of
the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan
serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation
of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan
ketertiban (Establishment of law and order).
Namun ternyata ada hidden
agenda (agenda rahasia) yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan
mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada
Belanda, sebagaimana tertera secara gamblang dalam surat perintah Mountbatten
tertanggal 2 September 1945 kepada komandan-komandan Divisi, sehari setelah
kunjungan van Mook di markas Besar Tentara Sekutu di Kandy, Sri Lanka.
Jumlah tentara Jepang yang
harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua
Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga
akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat sekitar 100.000
tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan
juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten
memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas
tersebut, namun kenyataannya, mereka hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun
dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh
dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik
Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi
di Surabaya.
Untuk pelaksanaan tugas
tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies
(AFNEI) –Tentara Sekutu di India Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula
dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh
Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara 15 Inggris, yang juga
seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30
September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions,
adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur,
Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan
Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk
Sumatera.
Mountbatten mendapat bantuan
dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Lesley "Ming the
Merciless" Morsehead. Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk
menduduki kota-kota penting di Kalimantan dan Indonesia Timur lainnya. Pasukan
Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil
Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu
gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka
relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula
guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda.
Dengan demikian, Australia
sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut,
karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang
terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum
mampu untuk bertempur. Kemudian, atas desakan pihak Belanda, Inggris
menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta kepulauan lain di bagian timur
Indonesia -kecuali Bali dan Lombok- kepada tentara Australia.
Setelah “membersihkan”
wilayah Indonesia Timur dari kekuatan bersenjatan pendukung Republik Indonesia,
pada 13 Juli 1946 Australia secara resmi “menyerahkan” seluruh wilayah
Indonesia Timur kepada Belanda. Belanda tidak membuang waktu, dan tanggal 15 –
22 Juli digelar “Konferensi Malino”, dekat Makassar, yang menjadi cikal bakal
pembentukan Negara Indonesia Timur.
Pada 25 Oktober 1945,
Brigade 49 dari Divisi 23 yang berkekuatan sekitar 5.000 tentara, mendarat di
Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Mereka segera masuk ke dalam kota dan mendirikan pos pertahanan di 8 tempat.
Awalnya, mereka ingin segera melucuti semua persenjataan yang telah dikuasai
rakyat, namun karena mendapat tentangan yang sangat keras dari pimpinan
Indonesia di Surabaya, akhirnya mereka mengalah. Tanggal 26 Oktober 1945
dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan komandan Brigade 49,
Brigadir Mallaby, yang isinya a.l.:
1. Yang dilucuti
senjata-senjatanya hanya tentara Jepang. (The disarmament shall be carried
out only in the Japanese Forces).
2. Tentara Inggris selaku
wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan dan
perdamaian. (The Allied Forces will assist in the maintenace of law, order
and peace).
3. Setelah semua tentara
Jepang dilucuti, maka mereka akan diangkut melalui laut. (The Japanese
Forces after being disarmed, shall be transported by sea).
Pada 27 Oktober pukul 11.00
pagi, sebuah pesawat Dakota langsung dari Jakarta, atas perintah Mayjen
Hawthorn menyebarkan pamflet yang isinya adalah perintah, agar dalam waktu 2 x
24 jam, seluruh senjata yang dimiliki oleh rakyat Indonesia diserahkan kepada
tentara Sekutu, dan barangsiapa setelah batas waktu tersebut, terlihat membawa
senjata, akan ditembak di tempat. Ini jelas bertentangan dengan kesepakatan sehari
sebelumnya, yang telah disetujui oleh komandan tertinggi tentara Inggris di
Surabaya, Brigadir Jenderal Mallaby. Walaupun dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri
terkejut dengan adanya pamflet terserbut, namun dia mematuhi perintah
pimpinannya di Jakarta dan segera memerintahkan pasukannya untuk mulai melucuti
persenjataan yang dimiliki rakyat Indonesia di Surabaya.
Karena rakyat Indonesia di
Surabaya menilai bahwa pihak Inggris telah melanggar perjanjian yang
ditandatangani sehari sebelumnya; maka pimpinan militer Indonesia di Surabaya
memberikan perintah untuk menyerbu seluruh pos pertahanan Inggris.
Serangan total dilakukan
tanggal 28 Oktober 1945, pukul 4.30 pagi. Delapan pos pertahanan Inggris
diserbu oleh sekitar 30.000 rakyat bersenjata, dan masih ditambah sekitar
100.000 bonek -artinya benar-benar bermodal nekad- hanya dengan bersenjata
bambu runcing, clurit, pedang, golok dsb.
Tercatat sekitar 60
pasukan/laskar yang ikut dalam penyerbuan terhadap tentara Inggris pada 28
Oktober 1945 tersebut. Hampir seluruh sukubangsa yang ada di Indonesia
terwakili oleh para pemuda yang tergabung dalam berbagai pasukan/laskar, antara
lainPasukan Pemuda Sulawesi (KRIS – Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi),
Pasukan Pemuda Kalimantan, Pasukan Sadeli Bandung, Pasukan Magenda Bondowoso,
TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Sriwijaya (sebagian besar berasal dari Aceh
dan Batak), Pasukan Sawunggaling, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, Pasukan
TKR Laut, Pasukan BKR/TKR Morokrembangan, Pasukan BKR Kereta Api, Pemuda Ponorogo,
Pasukan Jarot Subiantoro Pemuda Banten, Corps Pegadaian, Corps PTT, Pasukan
Pelajar (TRIP), Pasukan Narapidana Kalisosok (penjara), dan bahkan banyak
pemuda-pemuda dari Papua, Maluku dan Pulau Rote.
Dengan demikian, bersatunya
para pemuda Indonesia dalam perlawanan terhadap tentara Sekutu pada 28 Oktober
1945 merupakan perwujudan dari semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Peristiwa heroik ini terjadi tepat 17 tahun kemudian. Suatu kebetulan? Atau
suatu predestinasi?
Setelah digempur total
selama sehari-semalam, tentara Inggris yang tidak dipersiapkan untuk suatu
pertempuran, mengibarkan bendera putih, minta berunding. Pada tahun 1975,
seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith, dalam suratnya kepada J.G.A. Parrot
menuliskan, bahwa Brigjen Mallaby menyadari, apabila pertempuran dilanjutkan,
mereka akan disapu bersih (wiped out). Bahkan Kolonel A.J.F. Doulton, dalam
bukunya menulis:
“The heroic resistance of
the British troop could only end in the extermination of the 49th Brigade,
unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in
Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.”
(Perlawanan heroik dari
tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada
seorang yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tak ada tokoh seperti
itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).
Menyadari bahwa apabila
pertempuran dilanjutkan hanya akan mengakibatkan kehancuran total Brigade 49,
malam itu juga, tanggal 28 Oktober 1945, mereka menghubungi pimpinan Republik
di Jakarta. Inggris tidak dapat segera mendatangkan bantuan pasukan, baik dari
Brigade Bethell di Jawa Tengah –yang juga sedang menghadapi perlawanan rakyat
Indonesia-, apalagi dari Malaya, yang akan memerlukan waktu beberapa hari,
sedangkan keadaan Brigade 49 di Surabaya sudah sangat kritis. Tak ada jalan
lain, selain meminta bantuan pimpinan Republik di Jakarta, untuk menyelamatkan
nyawa ribuan tentara Inggris yang sudah terkepung di pos-pos pertahanan mereka
di dalam kota Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya
sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang
tidur, didesak agar segera dibangunkan.
Pada 29 Oktober sore hari,
Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir
Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang
disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan
Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic
Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between
President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded
on the 29th October 1945.”
Di sini pertama kali Inggris
menyebut Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia!
Perundingan dilanjutkan
keesokan harinya dengan atasan Mallaby, Mayjen Hawthorn, yang datang ke
Surabaya tanggal 30 Oktober. Dalam perundingan pada hari itu, dicapai
kesepakatan antara Bung Karno dengan Panglima Divisi 23, Mayjen Hawthorn, yang
isinya a.l.: mencabut perintah dalam pamflet tertanggal 27 Oktober, dan
pengakuan terhadap keberadaan TKR dan polisi Indonesia.
Pada pertempuran yang
berlangsung di Surabaya tanggal 28 dan 29 Oktober 1945, Inggris mencatat: 18
perwira dan 374 serdadu yang tewas, luka-luka dan hilang. Sedangkan di pihak
Indonesia diperkirakan sekitar 6.000 orang yang tewas, luka-luka dan hilang.
Pada 30 Oktober 1945 dicapai
kesepakatan antara Presiden Sukarno dengan Mayjen Hawthorn untuk diadakan
gencatan senjata dan pengakuan Inggris terhadap TKR di Surabaya. Ketika
dilakukan penyebarluasan hasil kesepakatan tersebut, di depan Gedung Internatio
di Jembatan Merah terjadi tembak-menembak yang dimulai oleh tentara Inggris, di
mana Brigadir Jenderal Mallaby tewas.
Pihak Inggris menyalahkan
Indonesia atas terjadinya tembak-menembak, dan menuduh orang Indonesia membunuh
Mallaby. Kedua tuduhan tersebut ternyata tidak benar, namun tentara Inggris
tetap melaksanakan penghancuran kota Surabaya yang dimulai dengan pemboman
besar-besaran tanggal 10 November 1945.
Inggris mengerahkan lebih
dari 30.000 tentaranya yang dilengkapi dengan persenjataan mutakhir yang
dimiliki tentara Inggris. Akibat agresi militer Inggris terbesar setelah Perang
Dunia II usai, yang berlangsung selama sekitar 3 minggu, diperkirakan lebih
dari 20.000 penduduk Surabaya tewas, termasuk perempuan dan anak-anak, serta
hancurnya hampir separuh kota Surabaya.
Setelah pertempuran Surabaya
Oktober/November 1945, pertempuran 'Medan Area' di Medan Oktober - Desember
1945, 'Palagan Ambarawa' Desember 1945 dan 'Bandung Lautan Api', Maret/April
1946, serta insiden-insiden bersenjata lain di Jawa dan Sumatera, Inggris
menyadari bahwa Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan dengan kekuatan
bersenjata. Oleh karena itu, Inggris mengakui de facto Republik
Indonesia atas Sumatera, Jawa dan Madura. Inggris kemudian memaksa Belanda
untuk melakukan perundingan dengan pimpinan Republik Indonesia, yang terlaksana
di Linggajati. Setelah itu, Inggris menarik seluruh pasukannya dari Indonesia,
namun meninggalkan seluruh persenjataan mereka kepada tentara Belanda!
Pada 10 November 1999, Komite Pembela Hak Asasi
Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945, melakukan unjukrasa di Kedutaan
Besar Inggris di Jk. M.H. Thamrin, Jakarta, menuntut pemerintah Inggris meminta
maaf atas pemboman Surabaya Novemver 1945. Mengenai tuntutan ini, lihat:
Dalam Seminar di LEMHANNAS
tanggal 27 Oktober 2000 yang diselenggarakan oleh Komite Pembela Hak Asasi
Rakyat Surabaya Korban Pemboman November ’45 bersama LEMHANNAS, Richard Gozney,
Duta Besar Inggris, atas nama Pemerintah dan Rakyat Inggris menyampaikan
penyesalan atas pemboman yang dilakukan tentara Inggris di Surabaya, dan
mengakui terus terang, bahwa pada waktu itu memang Inggris membantu Belanda
untuk menguasai Indonesia kembali sebagai jajahan.
Pernyataan Duta besar
Inggris Richard Gozney dalam seminar tersebut, lihat:
Disadur dari
Batara R. Hutagalung, “10
November 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”
Millenium Publisher,
Jakarta, Oktober 2001, edisi pertama, xiv + 472 halaman.
Teks lengkap buku ini dapat
dibaca di weblog:
====================================================
The Jakarta PostSunday,
December 30, 2001Book Review"10 November '45, Mengapa Inggris Membom
Surabaya?" ("10 November '45, Why Did Britain Bomb Surabaya?");
By Batara R. Hutagalung; Millenium Publisher, Jakarta;
(Oct. 2001), first edition,
xiv + 472 pp; Rp 59,900,
This book analyzes the
simultaneous sea, land and air campaign by British forces against the defenders
of the East Java capital of Surabaya in November 1945.
To this day, it remains a
bitter memory for older Indonesians.In the author's opinion, there are two main
reasons why Britain, which did not hold colonial authority over Indonesia,
launched the invasion.
First, there were
psychological and emotional reasons at play, since Britain was victorious in
World War II. Second, the British were bound by a treaty with the Dutch
stemming from the conference at Yalta on Feb. 11, 1945, and the Postdam
Declaration, which took place on July 26, 1945.
The objectives of the treaty
were "to reestablish civilian rule, and return the colony to Dutch
administration," as well as "to maintain the status quo which existed
before the Japanese invasion".
They can be found in a
letter dated Sept. 2, 1945 by the Allied Forces' Supreme Commander South East
Asia Vice Admiral Lord Louis Mountbatten.
British assistance was also
in line with the Civil Affairs Agreement between the Dutch and Britain in
Chequers, Britain, on Aug. 24, 1945.
The author also outlines the
violations committed by British troops. They include infringements upon the
sovereignty of the fledgling nation of Indonesia, human rights abuses --
including crimes against humanity and forced displacement -- and war crimes.
Apart from its thorough
dissection of this bloody chapter of Indonesian history, this book carries
something else of equally important historical significance: an official
apology from the British government.
It was expressed by British
Ambassador to Indonesia Richard Gozney in the name of the British government
during a seminar on the Battle of Surabaya in Jakarta in October 2000.It was a
sympathetic act -- one which has yet to be offered by the Dutch who, as a
colonial power, ruled Indonesia for centuries.-- Darul Aqsha
18 comments:
Izin copy yaa..buat bahan tugas:)
SilakanAnda copy yang Anda inginkan. Semoga bermanfaat. Maaf agak lambat menjawab. Salam, Batara R. Hutagalung
Boleh saya copy ya? Saya sedang mencoba menelusuri perjuangan ayah sy yang terlibat langsung pada pertempuran di Surabaya tersebut. Terima kasih banyak sebelumnya.
Mohon ijin untuk meng copynya. Saya sedang menelusuri perjuangan ayah saya yang terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Terima kasih sebelumnya.
Wass
Bambang Setiawan
Mohon ijin utk meng copy nya. Saya sedang menelusuri perjuangan alm ayah saya yang terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut. Terima ksih sebelumnya.
Wass
Bambang Setiawan
Saudara Bambang Setiawan,
Maaf baru sekarang memberi jawaban, karena kesibukan di kantor.
Silakan mengutip/copy semua tulisan yang anda butuhkan.
Mengenai pemboman Inggris diSurabaya, tulisan lengkap dapat dilihat di:
http://10november1945.blogspot.com
Salam,
Batara R. Hutagalung
yth pak batara
mohon ijin utk dishare di www.formatnews.com tks
efendy naibaho
pemimpin redaksi
0812 6419 1119
yth pak batara
mohon ijin utk dishare di www.formatnews.com tks
efendy naibaho
pemimpin redaksi
0812 6419 1119
Sdr. Efendy,
terima kasih atas perhatian anda.
Silakan dicopy tulisan tersebut.
Juga seandainya berminat dengan tulisan-tulisan lain, silakan dicopy.
Salam,
Batara RH
mohon izin copas untuk bahan penulisan sejarah ya bang.. tulisan yang penting dan sarat akan pengetahuan sejarah..
izin copy ya bang.. untuk bahan penulisan sejarah.. sungguh artikel yang sarat akan pengetahuan sejarah..!!
bagus ^^
@ ferdee soulhood.
Maaf baru jawab.
Silakan copy tulisan yang anda perlukan.
Salam,
Batara RH
ijin copas and share gan
mohon ijin copy and share
artikelnya saya ijin ngopy ya
artikelnya saya ijin ngopy
Silakan copy.
Salam
Post a Comment